Liputan6.com, Jakarta Gupta Gautama (33) dan Alid Abdul (30) mengaku cukup sering berburu tiket murah, guna memuaskan hasrat berlibur mereka.
Gupta, misalkan. Pria yang berprofesi sebagai Short Form Content Executive salah satu layanan streaming di Indonesia, bahkan pernah memperoleh tiket dengan harga miring dari situs perusahaan travel terkemuka paling hits saat ini, untuk sebuah perjalanan ke Amsterdam.
Baca Juga
Dia sebenarnya cukup rajin menjajal peruntungan di sejumlah pameran jalan-jalan (travel fair). Hanya saja, dewi fortuna seringnya muncul saat dia mengecek harga-harga tiket melalui situs tersebut. Saat disinggung masalah harga, Gupta, menjawab,"Tidak sampai dapat yang lebih murah."
Advertisement
Â
Â
Begitu pun dengan Alid. Travel blogger dari Jombang ini seringnya berburu tiket murah dari rumah.
"Aku itu tinggalnya di kampung, sih. Kotaku juga kota kecil. Dan sampai sekarang pun aku enggak pernah pergi atau datang ke yang namanya travel fair. Cukup dengan handphone dan laptop," kata Alid saat berbincang dengan Health Liputan6.com belum lama ini.
Â
Kalau Gupta ke Amsterdam, Alid pernah terbang dari Surabaya ke Tokyo hanya dengan membayar Rp2 juta. Di hari biasa harga tiket pesawat untuk rute yang sama bisa mencapai Rp10 juta.
"Aku pernah dapat Surabaya-Macau (PP) Rp750 ribu, kalau aslinya bisa Rp5 juta. Surabaya ke Denpasar, aku pernah dapat cuma Rp100 ribu, PP pula. Lalu pernah juga Surabaya ke Makassar cukup bayar Rp150 ribu, Surabaya ke Kuala Lumpur Rp350 ribu, PP juga," kata Alid.Â
"Jadi, weekend-an ke KL mah sering. Numpang pipis terus pulang," ujar Alid sambil tertawa.
Sensasi Berburu Tiket Murah
Psikolog Efnie Indrianie, menilai, fenomena ini bisa terjadi karena pola pikir yang sudah terbentuk di masyarakat. Kalau bisa dapat yang murah, kenapa harus mencari yang mahal? Toh, sisa uang yang semula dialokasikan buat moda transportasi, bisa dipakai untuk keperluan lain sesampainya di tempat tujuan.
"Terlepas dari (mungkin) terbatasnya kondisi keuangan, yang penting bagi mereka adalah momen besar dan utamanya (liburan) tercapai," kata Efnie.
Senada dengan Efnie, perencana keuangan Ruisa Khoiriyah memiliki pandangan yang kurang lebih sama.
Menurut Ruisa, saat seseorang tidak lagi mementingkan kenyamanan asalkan bisa liburan, selalu ada pertimbangan untuk mencari tiket murah. Otak terus diputar agar bisa mengunjungi tempat yang diincar, menggunakan uang yang terkumpul saat itu.
"Biasanya, ini terjadi pada kelas menengah. Kelas atas biasanya lebih mementingkan kenyaman, sehingga tidak terlalu mementingkan promo," kata Ruisa dihubungi terpisah.
Alid dan Gupta tidak memungkiri bahwa alasan mereka berburu tiket murah karena berhemat. Duit yang ada bisa mereka alokasikan buat kebutuhan lain.
"Kepuasannya lebih ke bisa menghemat pengeluaran saja. Dari yang seharusnya mengeluarkan harga x, jadinya bisa lebih murah," kata GuptaÂ
Â
"Secara aku bukan crazy rich, tapi penginnya jalan-jalan melulu. Dan jalan-jalan itu pasti mahal di transportasi dan penginapan," kata Alid.Â
Penyuka film-film India ini, mengatakan, untuk bisa memenuhi kegemaran yang dia sendiri mengakui mahal, bisa diakalin dengan mencari tiket promo semurah mungkin.Â
"Justru karena keseringan berangkat dengan tiket murah, orang jadi menganggap aku crazy rich. Kalau mereka tahu belinya pakai recehan, pasti engap," ujarnya.
Advertisement
Tiket Murah Kehilangan Banyak Fasilitas
Ruisa, meyakini, orang-orang yang senang berburu promo pasti sudah mengetahui akan risiko kehilangan banyak fasilitas, seperti tidak bisa memilih kursi, tidak dapat makanan ringan, dan rentan kena delay.
Namun, karena di sisi lain mereka sadar bahwa kebutuhan paling mahal saat jalan-jalan (traveling) adalah moda transportasi dan penginapan, otak mereka tak lagi mengenal kata 'risiko'.
"Kita misalnya punya Rp10 juta untuk liburan. Tiket itu kalau kita tidak berburu promo, bisa menghabiskan tiga juta sendiri, taruhlah begitu," kata Ruisa.
"Nah, saat berburu tiket murah dapat dengan harga Rp1,5 juta, apalagi kalau itu PP, sisanya yang sudah kita bajetin itu bisa untuk yang lain. Bisa buat cari oleh-oleh atau wisata kuliner di tempat liburan," kata Ruisa menjelaskan.
Alid membenarkan hal tersebut. Blogger yang pernah terpilih menjadi peserta My Selangor Story 2010 di Malaysia ini, mengatakan, memang risiko tak dapat makan dan bagasi terbatas akan dirasakan oleh pemburu tiket promo. Akan tetapi baginya itu bukan masalah besar.
Selama ini, Alid mengakali persoalan tersebut dengan membawa bekal atau makan dulu sebelum terbang. Dan, jika rasa lapar menyerang kala sudah mengudara, tak ada salahnya membeli makanan di pesawat yang harganya cukup bikin pening kepala.
"Untuk bagasi sendiri, kebetulan dari pertama kali naik pesawat sampai sekarang, aku enggak pernah memanfaatkan fasilitas bagasi. Aku sukanya packing light," kata Alid. Apalagi maskapai yang sering dia pakai memang membatasi besaran kabin untuk penumpang hanya 7 kilogram.
Buat sebagain orang, lanjut Alid, mungkin hal tersebut adalah momok. Namun, kondisi tersebut justru memaksa Alid untuk lebih bisa mengatur barang-barang apa saja yang harus dia bawa.
Â
Terbius Bisikan Tiket Murah
Tidak sedikit orang yang 'kecelakaan' ikut berburu tiket murah. Sebenarnya, mereka tak punya bujet khusus untuk liburan. Akan tetapi karena penasaran dan iseng-iseng datang ke travel fair, tahu-tahu tergerak untuk membeli tiket.
Secara psikologis, Efnie mengatakan hal tersebut ada kaitannya dengan psikologi massa. Itu adalah efek sugesti yang terjadi secara massal. Sehingga, ketika ada satu, dua, tiga, sampai lima antrean di satu stan tertentu dengan harga ekonomis, orang yang melihatnya menjadi reaktif.
"Biasanya, itu yang bekerja di bagian limbik otak dan batang otak. Dua otak itu yang bekerja, sehingga, seharusnya yang tadi nalar dan penuh pertimbangan, sama otak depan diabaikan," kata Efnie.
Kondisi semacam ini pernah menimpa Ratih, karyawati swasta di kawasan Bumi Serpong Damai. Suatu hari, saat menemani seorang kawan yang memang getol berburu tiket murah, Ratih tanpa sadar telah melakukan hal serupa. Kawannya dapat tiket ke New Zealand dengan harga miring, Ratih mendapat tiket perjalanan pulang-pergi ke Amerika Serikat.Â
"Ha ha ha... Itu tuh gara-gara harga yang tertera di kertas, yang terpajang di depan stan murah banget. Ke AS enggak sampai Rp20 juta, siapa coba yang tidak tergiur? Kebetulan juga uangnya ada," katanya.
Beruntung, kala itu visa Amerika Serikat Ratih masih berlaku. Masih tersisa tiga tahun lagi. Setidaknya, dia tidak perlu memusingkan biaya dan keribetan dalam mengurus visa Amerika Serikat yang terkenal ribet dan susah.Â
"Di sananya pun ada kakak saudara yang lagi S2. Mungkin kalau itu semua enggak ada, saya yang pusing sendiri," ujarnya.
Sama halnya saat orang-orang melihat diskon (sale). Tanpa mereka sadar, warna merah pada tulisan SALE telah memengaruhi kerja otak mereka.
"Secara psikologi warna, merah itu menginduksi sistem dorongan di dalam individu secara alam bawah sadar," katanya.
Menurut Efnie, pemakaian warna mereka dapat meningkatkan dorongan atau napsu (drive), yang membuat orang akan melakukan atau bertindak dulu, baru berpikir.
"Kalau kondisi demikian, di sebuah perdagangan, yang ditargetkan itu dulu. Sehingga pada sale orang akan rebutan, membeli ini itu, sampai rumah baru sadar bahwa yang mereka beli kayaknya tidak diperlukan," katanya.
Â
Â
Advertisement
Yang Berada pun Berburu Tiket Murah
Satu dekade yang lalu, mereka yang berburu tiket murah kebanyakan mahasiswa yang rela tak makan enak asalkan bisa liburan.
Akan tetapi kalau dilihat akhir-akhir ini, kebiasaan ini justru dilakoni oleh mereka-mereka yang berpendapatan pasti atau lebih dari mahasiswa.
Menanggapi hal tersebut, Afnie menilai karena hal tersebut sudah terbentuk di dalam kepribadiannya.
"Kalau mindset (pola pikir) membentuk habit (kebiasaan). Habit itu membentuk kepribadian . Kalau sudah menjadi kepribadian, susah diubahnya. Fasenya begitu. Mindset, habit, kepribadian. Jadi susahlah diubahnya," kata Efnie.
Menurutnya, yang berada di fase ini, yang memang senang berburu tiket murah sejak dulu. Saat mereka berada di posisi mahasiswa-mahasiswa tak beruang.