Sukses

Cerita Dokter IDI Naik Turun Gunung Tangani Korban Tsunami Selat Sunda

Dua dokter dari Ikatan Dokter Indonesia menceritakan kesulitan yang mereka hadapi saat menangani korban tsunami Selat Sunda

Liputan6.com, Jakarta Setelah tsunami Selat Sunda, korban berjatuhan. Baik yang meninggal dunia maupun mereka yang luka-luka. Tim penyelamat dan kesehatan segera bergerak dengan cepat untuk menangani mereka. Baik evakuasi korban yang sudah meninggal maupun merawat mereka yang masih hidup.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia Lampung Selatan dr. Wahyu Wibisana adalah salah satu dokter yang bolak balik ke lapangan untuk menemui para pengungsi tsunami Selat Sunda. Dia mengatakan, saat itu tenaga kesehatan dari berbagai rumah sakit diminta membantu para korban.

Ketika bertandang ke kantor Kapanlagi Youniverse, Gondangdia, Jakarta, Wahyu mengatakan saat itu pasien tiba-tiba datang secara sporadis. Dia tidak menyangka akan banyak korban berdatangan. Bahkan dengan cerita-cerita yang dianggapkan memilukan.

"Saya kira kasus ringan, hanya satu dua yang luka lecet, ternyata banyak kasusnya yang luka patah tulang, kepalanya pecah, banyak yang memilukan" kata Wahyu kepada Health Liputan6.com ditulis pada Selasa (8/1/2019).

Wahyu menceritakan, banyak kejadian menyedihkan yang dia alami setelah bencana tsunami Selat Sunda itu. Salah satunya adalah saat dua anak memeluk dirinya karena sang ibu tidak bisa diselamatkan tim medis di depan keduanya.

"Di pelukan saya dua-duanya. Saya juga sebagai seorang dokter di kondisi seperti itu, tapi saya juga manusia juga."

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

2 dari 3 halaman

Medan yang sulit diakses

Wahyu mengatakan, beberapa daerah terdampak sulit diakses. Hal ini membuatnya harus menantang medan yang berat hingga memutar gunung.

"Ada tiga daerah yang dampaknya hebat. Jadi saya ke lokasi hanya dua yang bisa ditempuh karena baru dibuka. Saya berputar arah ke gunung akhirnya tembus. Di situ banyak korban," kata Wahyu. Selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa saat itu mereka sempat kekurangan kantung mayat karena belum ada bantuan yang terkoordinasi.

"Ada juga keluarga yang sudah membawa mayatnya dia bilang 'pak ini saya bawa saja jenazahnya'."

Wahyu juga sempat mengatakan bahwa untuk mencapai tempat-tempat yang sulit diakses, dia menggunakan motor trail.

 

3 dari 3 halaman

Masih deg-degan saat menyeberang

Ketua IDI Lampung dr. Asep Sukohar juga menceritakan, banyak masyarakat di beberapa posko yang takut untuk diminta pindah pengungsian. Terutama mereka yang sulit dijangkau pasokan bantuan karena jaraknya berada di kaki gunung.

"Pengungsi ini mereka tidak mau turun. Takut. Jadi mereka buat tenda di kaki gunung. Ini yang menyulitkan kami, jadi kami harus naik," kata Asep dalam kesempatan yang sama.

Selain, itu mereka juga berada di tempat yang tersebar dan berjauhan. Bahkan, hingga saat ini mereka masih berada di pengungsian yang letaknya sulit dijangkau tersebut.

"Karena dari pemerintah dan dari kami tidak ada jaminan bahwa gunung Krakatau akan berhenti," kata Wahyu menambahkan.

"Kami saja yang lewat menyeberang ke Bakauheni mau ke Jakarta masih deg-degan," Asep mengungkapkan.

Walaupun begitu, para pengungsi yang hidup di posko-posko tersebut terkadang terpaksa harus turun apabila kehabisan bahan makanan.

"Bahkan kemarin ada cerita empat keluarga yang membawa ibu hamil jalan dari bibir pantai, tempat kejadian sampai ke atas gunung. Kira-kira sembilan kilometer," kata Wahyu yang memang sudah berkecimpung di dunia motor cross sejak muda ini.

"Jadi mereka berpikiran, sejauh mungkin, setinggi mungkin harus mengamankan diri," tutur Wahyu.