Liputan6.com, Jakarta Sejak rokok konvensional mulai banyak ditinggalkan, produsen rokok terus meluncurkan produk rokok elektronik atau yang kita kenal dengan vape (vaping).
Namun, setahun terakhir ini, tren rokok Heat-Not-Burn yang terkenal dengan IQOS juga kian diminati perokok.
Baca Juga
Lantas, apakah IQOS ini lebih aman dari rokok konvensional atau vape?
Advertisement
Sebelumnya, New Strait Times melaporkan bahwa saat ini Japan Tobacco menguasai 60 persen pasar rokok alternatif alias IQOS. Perangkat ini disebut memiliki kadar tar dan nikotin yang sangat rendah.
Selain itu, asapnya yang minim disebut bisa menurunkan jumlah perokok pasif. Di sisi lain, pembuat Marlboro, Philip Morris telah menjual perangkat IQOS sejak 2014 di Jepang. Mereka melihat "pasar" di Jepang yang tidak membolehkan adanya cairan nikotin di negaranya karena peraturan farmasi.
Di sisi lain, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika(FDA) bersikeras bahwa perangkat tembakau bagaimanapun tidak bisa disebut mengurangi risiko penyakit dan membandingkannya dengan rokok tradisional.
"IQOS adalah jenis produk tembakau yang bisa dianggap sebagai penengah rokok (tradisional) dan produk vaping," kata William Shadel, Population Health Program at Rand Corp, seperti dikutip Livescience.
Perangkat ini menggunakan "stik" tembakau sekali pakai yang dipanaskan hingga suhu 662 derajat Fahrenheit (350 derajat Celsius) hingga mengeluarkan aerosol (Partikel padat di udara).
Â
Tembakau Rokok
Jika tembakau dalam rokok tradisional terbakar pada suhu sekitar 1.110 derajat Fahrenheit [600 derajat C], menurut Philip Morris, maka produk ini dilengkapi dengan pengisi daya untuk mengisi ulang dudukan elektronik.
Secara khusus, batang tembakau ini mengandung tembakau olahan dengan beberapa komponen lainnya, termasuk air, gliserin dan serat selulosa, menurut Philip Morris.
Philip Morris mengklaim bahwa IQOS tidak membakar tembakau, jadi zat kimia yang dikeluarkan tidak terlalu berbahaya, apalagi jika dibandingkan dengan asap tembakau.
Bagaimana pun, FDA memilih untuk menolak klaim ini, sebab perusahaan itu tidak memberikan cukup bukti yang menunjukkan bahwa produknya bisa menurunkan risiko penyakit dibandingkan dengan rokok konvensional, menurut Reuters.
"Secara teori, produk tidak memiliki cukup bukti yang menujukkan bahwa pengguna akan menanggung risiko lebih sedikit," kata Shadel.
Shadel mencatat bahwa sebagian besar studi tentang IQOS dilakukan oleh Philip Morris, dan lebih banyak penelitian diperlukan oleh para peneliti independen yang tidak terkait dengan perusahaan untuk menentukan keamanan produk.
Selain itu, tidak jelas apakah perokok akan benar-benar beralih ke produk ini untuk mendapatkan manfaat, kata Shadel.
Â
Advertisement