Liputan6.com, Jakarta Daging merah seperti sapi, babi, dan kambing seringkali dianggap sebagai penyebab penyakit jika dikonsumsi berlebihan. Namun di satu sisi, produk semacam itu juga menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan.
EAT Lancet Commissioner Dr. dr. Rina Agustina, MSc mengatakan, yang merusak lingkungan adalah proses produksi daging merah itu sendiri. Dia mengatakan, produksi limbah dari hewan-hewan yang menjadi sumber daging merah sangatlah banyak.
Baca Juga
"Limbah dari buang airnya terus juga tulang dan yang lainnya. Itu semua foodprint-nya tinggi sekali," ujar Rina di gedung Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta. Ditulis Senin (21/1/2019).
Advertisement
Rina menambahkan, di antara bahan pangan, limbah dari daging merah memang sangat banyak. Jumlahnya hampir 40 kali lipat gas emisi yang dikeluarkan oleh bahan pangan lainnya.Â
Â
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Â
Bukan tidak boleh dikonsumsi
Penggunaan crop land atau lahan pertanian untuk produksi daging merah juga cukup besar. Dari sisi penggunaan air, sekalipun tidak terlalu tinggi, namun paling besar jika dibandingkan dengan produk pangan lainnya.
"Selain itu, penggunaan nitrogen pada bahan hewani ini sangat tinggi. Kalau kita lihat nitrogen baik dari limbah yang mereka keluarkan itu sampai 10 kali lipat daripada komoditi lainnya. Begitu pula dengan fosfor," ujar Rina.
Walaupun begitu, bukan berarti seseorang tidak boleh mengonsumsi daging merah sama sekali. Bahkan, produk ini juga penting untuk asupan sehari-hari selama tidak berlebihan.
"Bukan tidak boleh makan daging merah. Pesannya adalah makanlah bervariasi dengan betul-betul memasukkan sumber-sumber pangan nabati lebih tinggi terutama untuk protein, sayur, dan buah-buahan. Tapi bukan cuma sayur dan buah-buahan," kata peneliti dari Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Advertisement