Sukses

HEADLINE: Gelombang Serangan Aedes Aegypti, Kapan Indonesia Bebas DBD?

Kasus demam berdarah dengue (DBD) meningkat di awal 2019 ini. Bisakah kita menekan angka DBD ini?

Liputan6.com, Jakarta Eskalasi kasus demam berdarah dengue (DBD) membuat jumlah pasien Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Hasan Sadikin Bandung Jawa Barat menjadi dua-tiga kali lipat dari biasanya. Sampai-sampai, banyak pasien yang harus dirawat di lorong IGD rumah sakit ini.

"Dalam dua bulan terakhir kami mengalami peningkatan volume yang sangat signifikan. Ini kan lagi musim demam berdarah, sehingga banyak pasien yang masuk ke IGD kami dengan diagnosis demam berdarah. Sementara kapasitas ruangan terbatas," kata Kepala IGD RS Hasan Sadikin Bandung Dodi Tavianto pada Senin 4 Februari 2019.

Ternyata tidak saja di RS Hasan Sadikin, beberapa pusat layanan kesehatan di Indonesia juga diisi dengan pasien yang terinfeksi virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegpty. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI dari Januari sampai 3 Februari 2019, totalnya ada 13.692 kasus DBD di seluruh Indonesia dengan jumlah kematian hingga 169 jiwa.

Lima provinsi teratas kasus DBD yakni Jawa Timur 3.074 kasus, Jawa Barat 2.204 kasus, Nusa Tenggara Timur (NTT) 1.364 kasus, Jawa Tengah 1.333 kasus, dan Lampung 1.157 kasus.

Di Jawa Timur, 2 kasus DBD terbanyak ada di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Kediri. Tingginya angka DBD di dua kabupaten tersebut karena masih banyak ditemukan tempat perindukan nyamuk seperti disampaikan Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi.

"Kita lihat angka bebas jentik di Kabupaten Ponorogo maupun Kediri itu hanya 60 persen, sehingga otomatis masih ada tantangan untuk mengendalikan DBD," kata wanita yang akrab disapa Nadia saat dihubungi Senin 4 Februari 2019.

Jumlah juru pemantau jentik (jumantik) yang terbatas di kedua kabupaten itu, ditambah kesadaran masyarakat yang rendah, menjadi dua faktor utama masih tingginya angka DBD di sana.

"Kami menemukan ada banyak tempurung kelapa di bawah rumah, di halaman, yang dibiarkan terbuka sehingga bisa menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti," lanjut Nadia.

Kejadian Luar Biasa

Walau kasus DBD terus meningkat, pemerintah belum menyatakan kondisi ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) nasional apalagi wabah karena angkanya relatif rendah. 

Lebih lanjut, Nadia menjelaskan bahwa KLB ditetapkan secara berjenjang dari daerah, tidak langsung level pusat.

"KLB itu ditetapkan secara bertingkat. Pertama, ditetapkan oleh kabupaten/kota. Dan kabupaten/kota untuk menentukan KLB itu enggak gampang," kata Nadia. 

Untuk menentukan KLB atau tidak, suatu kabupaten atau kota akan melihat dari tiga faktor yakni peningkatan jumlah kasus, penambahan jumlah kasus yang sangat cepat, dan luas wilayah yang masyarakatnya terkena DBD.

"Sementara, kalau wabah itu lebih tinggi lagi dari KLB. Menteri Kesehatan harus mengusulkan ke DPR, kemudian ditetapkan oleh DPR terjadi wabah. Konsekuensi dari penetapan wabah, negara menjadi terisolir, tidak ada orang yang bisa keluar-masuk dari negara kita. Penerbangan pun disetop ketika (negara) dinyatakan (mengalami) wabah," papar Nadia. 

 

2 dari 7 halaman

Kasus DBD Meningkat Sejak Akhir 2018

Tren peningkatan kasus DBD 'memanas' sejak akhir 2018. Pada November sampai Desember 2018, laporan peningkatan DBD terjadi di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Di Kabupaten Kapuas terdapat 199 kasus  DBD, menurut data Subdit Surveilans Kementerian Kesehatan. Pada Oktober 2018, ada 46 kasus DBD dengan 45 pasien menjalani rawat inap di RSUD Kabupaten Kapuas.

Sementara, di Kabupaten Manggarai Barat pada 2018 tercatat, 672 kasus DBD. Hingga Januari 2019, kasus kematian akibat DBD di wilayah tersebut dilaporkan ada 8 orang.

Adanya peningkatan kasus DBD di beberapa wilayah membuat pemerintah daerah setempat menetapkan status KLB. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono  mengungkap daerah-daerah yang berstatus KLB.

“Daerah-daerah yang menyatakan KLB meliputi Kabupaten Kapuas, Kota Kupang, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Ponorogo, dan Provinsi Sulawesi Utara. Tapi Kabupaten Kapuas sudah menarik status KLB,” kata Anung kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Senin, 4 Februari 2019.

Jumlah kasus DBD di Provinsi Sulawesi Utara saat ini mencapai 1.114 kasus dengan 15 kasus kematian. Jumlah ini meningkat dari data sebelumnya per 29 Januari 2019, yakni 980 kasus DBD dengan 13 kasus kematian. Sulawesi Utara menjadi satu-satunya provinsi yang menetapkan KLB DBD.

Anung mengatakan, 403 kabupaten/kota dari 34 provinsi melaporkan adanya kasus DBD. Namun, peningkatan kasus DBD hanya dialami oleh 259 kabupaten/kota. 

3 dari 7 halaman

Cuaca dan Peningkatan Kasus DBD

Peningkatan jumlah kasus DBD di Indonesia antara lain dipengaruhi iklim. Curah hujan dan kelembapan yang tinggi membuat nyamuk Aedes aegypti, si pembawa virus DBD mudah berkembang biak. 

Contoh kasus yang terjadi seperti di Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah 813 kasus DBD, tanpa angka kematian (per 3 Februari 2019). Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Widyastuti mengatakan, tiga wilayah di Jakarta (Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat) menduduki jumlah kasus DBD terbanyak.

Selain itu, adanya area lahan kosong seperti di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan menjadi tempat favorit nyamuk Aedes aegypti berkembang biak. Begitu pula dengan genangan-genangan air dalam wadah yang tak terjamah.

Tak hanya faktor iklim saja, jumlah kasus DBD yang bertambah juga disebut-sebut dipengaruhi adanya siklus lima tahunan DBD. Nadia menyebut puncak siklus demam berdarah dengue (DBD) memang terjadi setiap lima tahun sekali, tapi itu terjadi sebelum era tahun 2000-an.

Kondisi cuaca saat ini mengalami perubahan. Tidak seperti tahun 2018 pada bulan yang sama (Januari-Februari), curah hujan tahun 2019 ini sangat tinggi. Pada 2018 justru Indonesia mengalami musim kemarau yang berkepanjangan. Data Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah penderita DBD tahun 2018 sebanyak 53.075 dengan 344 kasus kematian.

"Kalau kita lihat, puncaknya tahun 2012. Lalu tahun 2016 muncul lagi. Kita tidak tahu, apakah 2019 ini merupakan siklus puncak atau hanya peningkatan (jumlah kasus DBD) biasa," jawab Nadia dalam konferensi pers DBD di Kementerian Kesehatan, Jakarta, ditulis 4 Februari 2019.

 

4 dari 7 halaman

Surat Edaran dan Sistem Pantau DBD

Sebelum jumlah kasus DBD meningkat, sebenarnya Menteri Kesehatan RI Nila Farid Moeloek sudah mengirimkan surat kepada semua Gubernur tentang kesiapsiagaan peningkatan kasus demam berdarah dengue. Surat dengan nomor PV.02.01/Menkes/721/2018 22 November 2018.

“Kami juga melakukan komunikasi kepala dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota, kabid P2P dan penanggungjawab program pencegahan dan pemberantasan penyakit dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota,” kata Anung pada Rabu (16/1/2019).

Nadia juga menambahkan, distribusi alat pengendali vektor berupa insektisida, larvasida, Rapid Diagnostic Test (RDT), media Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), dan jumantik juga dilakukan.

Larvasida termasuk insektisida untuk membunuh nyamuk. Larvasida yang umum digunakan saat ini berbahan dasar kimia sintetis, yaitu bubuk abate yang mengandung insektisida temefos.

RDT adalah tes untuk menemukan dan menentukan secara cepat, apakah penyakit memang DBD atau bukan. Tes ini bisa dilakukan di fasilitas kesehatan primer. Ketika terjadi DBD, maka penanganan bisa langsung dilakukan.

Ada juga alat deteksi dini virus DBD buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Deteksi virus DBD bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri, tanpa harus memeriksakan darah ke laboratorium fasilitas kesehatan. Kit diagnostik ini berbentuk mirip test pack

 

Cara menggunakannya cukup dengan meneteskan darah pada kit diagnostik. Lalu partikel protein NS 1 yang ada pada darah akan bereaksi dengan antibodi yang ada. Hasil tes langsung bisa diketahui dalam 2 sampai 10 menit. 

Sedangkan untuk memantau peningkatan kasus DBD, Kementerian Kesehatan menggunakan sistem bernama Public Health Emergency Operation Center (PHEOC). PHEOC mampu memantau kasus DBD di 34 provinsi di Indonesia secara real time.

Berkat adanya PHEOC, tim Kementerian Kesehatan bisa memverifikasi langsung dan melakukan feedback tentang kecenderungan peningkatan kasus DBD yang cukup signifikan. Apakah di lokasi yang terdeteksi memang benar ada laporan kasus DBD atau tidak.

"Saat ini, kami punya posko kewaspadaan demam berdarah, yakni melalui PHEOC. Pantauan dilakukan 24 jam," ungkap Nadia.

Kinerja sistem PHEOC mirip dengan milik Sistem Berbasis Web (daring) Surveilans milik Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Laporan kasus DBD dari puskesmas dan rumah sakit di Jakarta akan tercatat masuk sistem berbasis web. Di dalam sistem ini terekam jumlah kasus dan tempat tinggal pasien yang terjangkit DBD.

“Mengacu pada informasi pasien. Tim kami di lapangan bisa diterjunkan langsung ke lokasi tempat tinggal pasien yang terjangkit DBD. Ini untuk memastikan, lokasi itu apakah ada warga lain, yang punya gejala berisiko DBD, seperti demam. Sekaligus melihat, di lingkungan tempat tinggal, apakah ada jentik-jentik nyamuk,” papar Widyastuti, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta .

5 dari 7 halaman

PSN, Aksi Sederhana Efektif Tekan DBD

Strategi lain yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kasus DBD yang terus meningkat yakni dengan menggiatkan aksi Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Plus serta Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik. 

PSN dilakukan dengan menggunakan larvasida. Di DKI Jakarta, larvasida massal sudah dilakukan di daerah Kecamatan Kalideres dan Cengkareng. PSN menyasar pemukiman warga, sekolah, serta sarana umum. Dalam pelaksanaannya Pemda DKI berkoordinasi juga dengan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

Selain itu, masyarakat juga perlu menerapkan 3M (Menguras, Menutup, Mendaur ulang). Menguras yakni membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampuangan air, misal bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, dan penampungan air lemari es.

Menutup rapat-rapat sejumlah tempat penampuangan air, contohnya drum, kendi, toren air, dan lain-lain dapat mencegah nyamuk Aedes aegypti berkembangbiak. Mengubur dan mendaur ulang barang bekas yang tak terpakai bisa dilakukan.

Upaya menekan angka kasus juga dilakukan dengan fogging (pengasapan). Sasaran fogging adalah nyamuk dewasa. Fogging khusus dilakukan pada daerah-daerah dengan laporan kasus DBD terbanyak.

Namun, ada juga anggapan yang beredar di masyarakat, fogging tidak mempan untuk mencegah penularan virus DBD, bahkan membuat nyamuk menjadi resisten—tahan  terhadap bahan kimia fogging. Menanggapi hal itu, Nadia menekankan, fogging tetap efektif dilakukan, tapi harus didukung dengan PSN dan larvasida.

“Bukan tidak efektif, tapi ya harus didukung juga dengan PSN dan larvasida untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Karena kalau fogging itu hanya membunuh nyamuk dewasa, tidak menyasar ke jentik-jentik nyamuknya. Semuanya harus dilakukan bersamaan,” terang Nadia.

6 dari 7 halaman

Cara Aedes aegypti 'Menyerang'

Aedes aegypti, si nyamuk pembawa virus DBD jenis betina yang menyebarluaskan virus dengue. Dari jurnal "Laporan Akhir Penelitian, Identifikasi Serotipe Virus Dengue pada Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes alpobictus di Kota Salatiga dengan Metode RT-PCR", yang dipublikasikan Litbang Kementerian Kesehatan tahun 2012, virus dengue tersebut termasuk dalam Family Flaviviridae dan genus Flavivirus.

Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-I, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi virus dengue berbeda-beda dialami penderita, tergantung dari serotype virus dengue yang menyerang. Vektor utama penular penyakit DBD adalah nyamuk Ae. aegypti, sedangkan Ae. albopictus sebagai vektor sekunder. Tapi yang paling berperan dalam penularan virus DBD, yakni nyamuk Ae. Aegypti karena perilakunya senang hidup di dalam dan sekitar rumah.

Sementara itu, Ae.albopictus lebih senang beraktivitas di luar rumah, seperti di kebun-kebun sehingga jarang bersentuhan dengan manusia. Kedua jenis nyamuk ini tersebar di seluruh pelosok Indonesia.

“Ciri-ciri nyamuknya berwarna hitam dan belang-belang (loreng) pada seluruh tubuhnya. Mereka suka berkembangbiak di tempat penampungan air dan barang-barang yang memungkinkan air tergenang. Bisa juga berkembangbiak di selokan atau kolam air yang langsung berhubungan dengan tanah,” ungkap Nadia.

Nyamuk loreng-loreng hitam putih ini mampu terbang sejauh 100 meter dan biasanya menggigit (mengisap darah) pada pagi dan sore hari. Tepatnya sekitarpukul 09.00 – 10.00 dan sore pukul 15.00 – 16.00.

 

7 dari 7 halaman

Bisakah Indonesia bebas DBD?

Berbicara mengenai bebas kasus DBD di Indonesia, rasa-rasanya sulit. Ada dua alasan kuat terkait hal itu.

"Kalau bebas agak sulit karena kita (Indonesia) adalah negara tropis dengan dua musim dimana memang ada virus dengue di sini dan ada nyamuk sebagai pembawa vektornya yang ada di sekitar kita. Nyamuk Aedes aegypti ini ada di negara tropis kita" kata Nadia.

Namun, bila seluruh masyarakat mau bersama-sama mengendalikan lingkungan, bukan tidak mungkin angka kasus DBD di Indonesia rendah seperti disampaikan Nadia.

"Nah, dengan menjaga lingkungan, itu kuncinya supaya kita tidak terinfeksi demam berdarah atau jika pun terinfeksi tidak banyaklah," tekan Nadia.

Harapan untuk bebas dari DBD bakal terwujud bila sudah ditemukan vaksin DBD yang manjur. 

"Saat ini sudah ada, tapi untuk usia 9 tahun ke atas dan untuk yang sudah terinfeksi demam berdarah. Vaksinnya sangat efektif pada orang yang sudah terinfeksi demam berdarah," kata Nadia. 

 

 

  • Demam berdarah dengue merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.

    Demam Berdarah Dengue

  • Demam berdarah dengue atau disingkat DBD, atau disebut juga demam dengue/demam berdarah, adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.

    DBD