Sukses

Derita Anak yang Hidup di Tengah Orangtua Doyan Bertengkar

Ada paparan buruk yang terjadi pada anak saat melihat orangtua bertengkar, dari rasa tidak aman sampai gangguan kesehatan.

Liputan6.com, Jakarta “Suami saya dan saya sangat menyadari, perbedaan pendapat bisa membuat kami bertengkar.  Hal ini memengaruhi ketiga anak perempuan kami. Ketiga anak perempuan kami berusia 14, 12, dan 5 tahun. Mereka semua juga cukup berani tentang bagaimana perasaan. Mereka memberi tahu kami bahwa tidak suka ketika orangtuanya bertengkar. Kondisi itu membuat mereka sedih atau punya suasana hati yang buruk.”

Curahan hati Lisa Sadikman yang tinggal di Northern California, Amerika Serikat, mungkin membuat orangtua lain terenyuh. Ia dan suami adalah anak sulung yang berkemauan keras. Terkadang saling berdebat bila ada hal-hal yang tidak disetujui. Pada dasarnya, Lisa dan suami memegang nilai-nilai kehidupan yang sama.

Namun, seluk-beluk kehidupan sehari-hari yang kerap berbeda menempatkan keduanya pada pertengkaran. Sebut saja urusan seperti panik soal masalah keuangan, bernegosiasi soal jadwal sehari-hari, berurusan dengan sepatu yang tidak rapi di lorong, bahkan rambut yang berjatuhan di saluran pembuangan air kamar mandi.

“Saran mereka mengingatkan, kami akan tanggung jawab. Bukan untuk memendam emosi, tetapi untuk memberi contoh, bagaimana bertengkar secara adil, menemukan kesepakatan bersama, lalu berbaikan. Bertengkar di depan anak-anak itu menyebalkan, tetapi membuat mereka percaya, satu-satunya pernikahan yang baik adalah yang bebas konflik juga tidak sehat atau realistis,” ungkap Lisa, yang berprofesi sebagai pengacara untuk perselisihan perkawinan dalam curhatannya di laman Scarry Mommy, Sabtu, 16 Februari 2019.

Salah satu hal terburuk di dunia adalah raut wajah anak saat melihat Lisa dan suami bertengkar. Keduanya dengan ekspresi mata lebar dan mulut sedikit ternganga. Lisa pun melihat wajah anak perempuannya memerah dan hancur ketika melihat dirinya bertengkar.

Lisa menyadari anak-anak berhak mendapatkan rasa aman dan dicintai dengan bebas mengekspresikan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan. Bahkan jika itu berarti bertengkar dan berbeda pendapat. Ia dan suami ingin memberi tahu, orang dewasa yang saling mencintai kadang-kadang bertengkar.

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:

2 dari 4 halaman

Wajar bertengkar bila ada perbedaan pemahaman

Psikolog Anak dan Keluarga, Ajeng Raviando mengungkapkan, pertengkaran orangtua di depan anak termasuk wajar. Dalam situasi adanya perbedaan pemahaman, bertengkar menjadi hal yang wajar. Misal, ada  perbedaan saat hendak menentukan lokasi liburan, papa mau ke sini sementara mama maunya ke sana.

“Anak jadi memahami kalau perbedaan pendapat itu bukan sesuatu hal yang tidak boleh. Berbeda paham enggak apa-apa. Berselisih paham juga enggak apa-apa. Asalkan harus dicari juga solusinya untuk menyatukan pendapat (kesepakatan bersama). Karena enggak bisa juga tetap mau A dan satunya B. Ya, harus dicari kesepakatan,” ungkap Ajeng saat ditemui di bilangan Kemang, Jakarta beberapa waktu lalu.

Adanya pertengkaran juga menjadikan setiap orangtua saling belajar. Mereka akan belajar, bagaimana berdiskusi dan menentukan kesepakatan bersama. Kondisi pertengkaran antar orangtua yang diselimuti ' hawa panas' memang membuat kekhawatiran tersendiri, terlebih jika disaksikan anak. Orangtua harus pintar mengontrol diri guna mencapai kesepakatan bersama. Pertengkaran pun jadi tidak berkepanjangan.

Namun, kalau perselisihan tersebut tidak menemukan titik dan kesepahaman, itu akan mengganggu anak. Ini karena menimbulkan konflik yang berkelanjutan dan tidak selesai dalam satu waktu. Efek yang terjadi akan membuat anak ikut cemas.

Penelitian menunjukkan, orangtua yang bertengkar di depan anak-anak akan memengaruhi psikologis anak. Anak-anak yang menyaksikan pertengkaran orang tua yang intens punya rasa depresi, kecemasan, dan agresi (perlawanan) yang lebih tinggi. Studi baru ini berjudul Associations of child emotion recognition with interparental conflict and shy child temperament traits, yang diterbitkan dalam The Journal of Social and Personal Relationships pada 13 Maret 2018. Studi berupaya menguji tentang, paparan anak-anak terhadap konflik antar-orangtua, efek pada anak yang jauh lebih parah, serta emosi anak-anak.  

“Kalau sediki-sedikit bertengkar di depan anak, terlebih lagi bukan masalah yang penting diperdebatkan. Maka, itu akan membuat anak cemas. Kadang anak merasa, kalau ayah ibunya berantem (bertengkar) terus, ada pikiran, ‘Apakah nanti ayah ibunya akan berpisah? Dan punya problem (masalah) masing-masing,” Ajeng menerangkan.

3 dari 4 halaman

Anak merasa tidak aman

Masalah emosional pada anak saat melihat orangtuanya bertengkar bisa terjadi.  Dari pertengkaran orangtuanya, anak bisa saja berpikir bahwa menyelesaikan masalah dengan bertengkar adalah hal yang wajar. Pikiran itu akan semakin lama dipupuk, yang pada akhirnya kelak si anak dewasa, ia akan menyelesaikan masalah dengan bertengkar.

“Ini jadi hal yang perlu dipikirkan, kalau caranya menyelesaikan masalah ya harus seperti itu (bertengkar). Itu yang harus dipikirkan orangtua. Anak jadi salah persepsi terhadap caranya orangtua menyepakati satu pendapat,” Ajeng menjelaskan.

Kalau orangtua bertengkar terus, pikiran anak juga akan bertengkar terus dengan siapa saja. Karena hal itulah yang dicontohkan orangtuanya sendiri. Efek lain yang membahayakan bila orangtua bertengkar terus menerus, yakni anak tidak akan merasa aman dan nyaman. Ini karena keributan pertengkaran membawa emosi yang negatif, bukan emosi yang positif.

Misal, orangtua bertengkar soal anaknya yang tidak mau makan. Anak akan merasa dirinya menjadi penyebab keributan yang terjadi. Anak bisa menyalahkan diri sendiri. Kemudian berpikir, konsep dirinya jadi tidak bagus, ‘Anak jadi penyebab orangtuanya berantem.’

Menurut Ajeng, orangtua bisa membatasi konflik di depan anak. Jangan terus menerus bertengkar di depan anak. Kalau memang harus berbeda penapat, berbeda pendapatlah dengan cara yang tepat dan benar. Konsultan hubungan dan pernikahan, Nisha Khanna dari Delhi, India menyarankan, bertengkar sebaiknya tidak di depan anak-anak.

“Saya selalu menyarankan orangtua untuk tidak bertengkar di depan anak-anak. Jika terjadi pertengkaran, pastikan Anda juga menunjukkan kepada anak, masalahnya telah teratasi. Tunjukkan pada mereka kasih sayang Anda untuk pasangan. Bisa saling memeluk setelah bertengkar. Ini cara untuk menunjukkan rasa cinta Anda satu sama lain,” saran Khanna, dikutip dari Hindustan Times.

Orangtua juga harus fokus pada pemilihan kata, nada, dan volume saat berbicara kepada anak atau satu sama lain. Jika satu orangtua kehilangan kendali, yang lain harus menghindari masuk ke mode argumentatif (perdebatan). Tunda diskusi di lain waktu saat Anda berdua sudah tenang, ungkap psikolog anak klinis Ripan Sippy.

4 dari 4 halaman

Gangguan kesehatan pada anak

Ketika anak sering melihat orangtuanya bertengkar, kian lama efek buruk dialami anak. Paparan dari pertengkaran anak berdampak pada gangguan kesehatan anak.

Hal ini terlihat pada penelitian berjudul Parental conflict damages children's mental health and life chances, yang dilakukan University of Sussex di Inggris dan Early Intervention Foundation selama beberapa dekade melalui pengamatan di rumah dengan metode studi tindak lanjut jangka panjang dan studi eksperimental.

Studi yang diterbitkan pada tahun 2016 menunjukkan, sejak usia enam bulan, anak-anak yang terpapar konflik mungkin meningkatkan denyut jantung dan respons hormon stres, dilansir dari BBC.

Bayi, anak-anak, dan remaja dapat menunjukkan, tanda-tanda gangguan perkembangan otak dini, gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan perilaku, dan masalah serius lainnya seiring pertumbuhannya.

Efek negative lain bisa berupa masalah perilaku bagi anak-anak sekolah dasar. Mereka akan depresi dan masalah akademik dan masalah serius lainnya, seperti mencelakakan diri bagi anak-anak yang lebih besar dan remaja.

Efek serupa juga terlihat pada anak-anak yang terpapar pertengkaran orangtua yang sedang berlangsung. Gangguan kesehatan tersebut tidak dialami pada anak-anak yang orangtuanya berdiskusi atau menyelesaikan konflik dengan hasil kesepakatan bersama.