Sukses

Studi Terbaru Tegaskan Vaksin Campak Tidak Sebabkan Autisme

Penelitian terbaru ini menyanggah anggapan dari para anti-vaksin yang menggap bahwa vaksin MMR berisiko menyebabkan autisme

Liputan6.com, Jakarta Studi terbaru menemukan bahwa anak-anak yang menerima vaksin campak, gondok, dan rubela (measles, mumps, rubella/MMR) tidak akan terkena gangguan perkembangan saraf. Sekalipun, mereka berada dalam kategori berisiko tinggi.

Laporan yang diterbitkan pada 4 Maret 2019 dalam jurnal Annals of Internal Medicine merupakan studi terbesar yang membuktikan bahwa tidak ada kaitan antara keduanya. Para peneliti melihat catatan lebih dari 657 ribu anak yang lahir di Denmark antara 1999 hingga 2010, termasuk sekitar 6.500 yang menerima diagnosis gangguan spektrum autisme.

Melansir Live Science pada Selasa (5/3/2019), peneliti menyatakan bahwa tidak boleh ada lagi anak yang tidak divaksin hanya karena mengaitkan vaksin MMR dengan autisme. Penulis studi yang juga peneliti di Statens Serum Institute di Copenhagen, Anders Hviid menyatakan, ada bukti ilmiah bahwa tidak ada hubungan antara dua hal tersebut.

Gagasan bahwa komponen vaksin MMR terkait dengan autisme dimulai dari sebuah studi tahun 1998 dan dipublikasikan di jurnal The Lancet. Penelitian melihat 12 anak dengan keterlambatan perkembangan dan delapan anak yang menderita autisme.

Namun, investigasi lanjutan mengungkapkan adanya konspirasi yang terbukti dalam studi tersebut. Mereka telah dibayar oleh sebuah firma hukum yang ingin menuntut produksi vaksin, kemudian ilmuwan tersebut memiliki paten vaksin campak yang "aman" dan telah dikembangkannya sebelum melakukan studi tersebut. Pengungkapan ini dilaporkan tahun 2011 dalam The BMJ.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 

2 dari 2 halaman

Tidak terkait autisme

Penelitian lainnya mencoba mengungkapkan apakah benar ada keterkaitan antara imunisasi MMR dengan risiko autisme. Sekalipun tidak ada yang menemukannya, tetap saja banyak orangtua yang menyatakan dirinya sebagai anti-vaksin dan menggunakan alasan tersebut untuk "melindungi" anaknya dari imunisasi.

Untuk studi terbaru ini, Hviid dan rekan-rekannya melihat pengaruh vaksin dalam berbagai kelompok: laki-laki, perempuan, serta anak-anak yang mengembangkan "autisme regresif" saat mereka sudah lebih tua, serta anak-anak yang saudaranya memiliki autisme (sebagian kondisi bersifat genetik, sehingga beberapa anak sudah memiliki risiko terkena autisme lebih besar daripada orang lain).

Hasil menunjukkan, tidak ada satupun kelompok tersebut yang menunjukkan peningkatan risiko autisme setelah menerima vaksin MMR. Bahkan, yang menarik, imunisasi terkait dengan risiko autisme yang lebih rendah pada anak perempuan, serta mereka yang lahir dari tahun 1999 hingga 2001.

"Penelitian ini adalah kontribusi penting, bahwa di antara kelompok dengan kerentanan yang tinggi terhadap autisme, vaksinasi MMR tidak terkait dengan autisme," kata Kristen Lyall di A.J. Drexel University, Philadelphia, Amerika Serikat yang tidak terlibat dalam studi ini.

Di Indonesia sendiri, vaksin yang digunakan tidak lagi memasukkan komponen mumps karena kondisi gondongan sudah tidak banyak lagi ditemukan.Â