Liputan6.com, Jakarta Stres yang dialami oleh astronaut tidak hanya berdampak pada masalah mental. Di sisi lain, kondisi tersebut juga bisa menyebabkan virus herpes berkembang lebih mudah.
Sebuah studi terbaru menemukan ada empat virus herpes aktif di tubuh astronaut pesawat ulang alik dan Stasiun Luar Angkasa Internasional. Penelitian yang dilakukan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) itu menyatakan, virus tersebut berkembang karena tingginya tingkat stres yang dialami para astronaut selama menjalankan misi.
Baca Juga
Mengutip Fox News pada Selasa (19/3/2019), NASA menemukan bahwa semakin lama misi yang dilakukan, semakin tinggi efek virus herpes muncul. Namun, ilmuwan tidak menemukan adanya bahaya serius dalam pekerjaan ini. Mereka menyatakan, misi panjang seperti perjalanan ke Mars tidak akan terpengaruh oleh potensi virus herpes yang berkembang.
Advertisement
Dr. Satish K. Mehta dari KBR Wyle di Johnson Space Center yang juga penulis studi mengatakan, astronaut NASA bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan dengan terpapar gaya berat mikro dan radiasi kosmik. Itu belum termasuk dengan tekanan gravitasi ekstrem yang sering mereka rasakan.
"Tantangan fisik ini diperparah dengan pemicu stres yang lebih umum seperti pemisahan sosial, pengurungan, serta siklus bangun dan tidur yang berubah," kata Mehta.
Simak juga video menarik berikut ini:
Sistem kekebalan tubuh yang berkurang
Untuk studi ini, para peneliti mempelajari sampel air liur, darah, dan urine dari para astronaut sebelum, selama, serta sesudah mereka melakukan perjalanan ke luar angkasa. Hormon stres yang meningkat selama penugasan membuat virus yang tidak aktif bisa menjadi aktif.
Adapun, empat virus herpes yang ditemukan adalah herpes oral dan genital, cacar air dan herpes zoster, Cytomegalovirus (CMV) dan virus Epstein-Barr (EBV).
"Selama perjalanan luar angkasa, terjadi peningkatan sekresi hormon stres seperti kortisol dan adrenalin yang dikenal menekan sistem kekebalan tubuh. Sejalan dengan ini, kami menemukan bahwa sel-sel kekebalan astronot, terutama yang biasa menekan dan menghilangkan virus, menjadi kurang efektif selama bertugas dan terkadang hingga 60 hari setelahnya," kata kata Mehta memaparkan.
Dia juga mengatakan, frekuensi dan aktivasi virus tergantung dari durasi penerbangan. Semakin panjang mereka berada di luar angkasa, semakin besar potensi kemunculan penyakit tersebut.
Untuk itu, Mehta berharap agar nantinya temuan yang dipublikasi di jurnal Frontiers in Microbiology ini berguna bagi mereka yang bertugas ke luar angkasa. Menurutnya vaksinasi bisa sangat bermanfaat bagi para astronot.
"Sejauh ini hanya tersedia terhadap VZV (virus yang bertanggung jawab atas cacar air dan herpes zoster)," kata Mehta.
Advertisement