Liputan6.com, Jakarta Penuaan sudah pasti terkait dengan mulai menurunnya kondisi fisik. Namun, tidak selamanya menjadi tua membuat seseorang pasti tidak sehat dan terkena risiko penyakit yang mengharuskan lansia menunggu ajalnya.
Sebuah studi dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) mencari tahu negara mana saja yang memiliki warga negara yang tetap sehat meskipun berusia lanjut. Salah satu faktor yang menjadi penentunya adalah masalah ekonomi dan budaya.
Baca Juga
"Masalah kesehatan yang terkait dengan usia bisa menyebabkan pensiun dini, tenaga kerja yang lebih sedikit, serta pengeluaran kesehatan yang lebih tinggi," kata penulis studi utama Angela Y. Chang.
Advertisement
Melansir Reader's Digest pada Selasa (2/4/2019), para ilmuwan menggunakan data 195 negara dari Global Burden of Disease yang memperkirakan berapa banyak dalam setiap populasi, menderita 95 penyakit dan cacat terkait usia. Setiap negara nantinya diberikan skor. Mereka menemukan, setidaknya ada lima negara terbaik di mana seseorang bisa menua tetapi tetap sehat.
1. Swiss
Lansia di Swiss dianggap menjadi yang paling sehat dalam studi ini. Paling tidak, mereka bisa menunda penyakit yang umumnya dialami di usia 65 sampai lebih dari 11 tahun. Dengan kata lain, semua masalah kesehatan rata-rata baru dialami di umur 76.
Swiss sendiri memiliki layanan kesehatan yang baik dengan skor Healthcare Access and Quality (HAQ) Index mencapai 95,6 dari 100. Selain itu, pada 2018, World Happiness Report menyatakan bahwa masyarakat di sana merupakan salah satu yang paling bahagia di dunia. Hal ini karena dukungan sosial, harapan hidup yang tinggi, kebebasan membuat pilihan, serta tingkat korupsi yang rendah.
Â
Saksikan juga video menarik berikut ini:
2. Singapura
Hampir sama seperti warga Swiss, masyarakat Singapura juga menunda penyakit lansia yang umumnya dialami pada usia 65 hingga mereka berumur 70-an. Perawatan kesehatan yang baik menjadi kunci dari kondisi tersebut.
Pemerintah setempat punya peran untuk mengambil pendekatan secara langsung pada masyarakatnya. Misalnya dengan program makan malam yang sehat dan murah. Selain itu, BBC melaporkan adanya penghargaan bagi mereka yang bisa meningkatkan aktivitas fisiknya.
Tidak hanya itu, kepada Health Liputan6.com, Konsultan Senior Onkologi Medis dari Singapura dr. Ang Peng Tiam mengatakan bahwa pajak rokok yang tinggi membuat masyarakat di sana sulit untuk merokok. Selain itu, tidak ada restoran di Singapura yang memperbolehkan masyarakat secara bebas merokok. Begitu pula di tempat umum.
"Jadi mereka memaksa untuk membuat para perokok tidak nyaman. Jika Anda ingin merokok Anda harus mengeluarkan banyak uang karena negara juga harus mengeluarkan lebih banyak biaya kesehatan."
Â
Advertisement
3. Korea Selatan dan Jepang
Dua negara tetangga Korea Selatan dan Jepang berada di tempat yang hampir sama dalam studi IHME. Angka obesitas di kedua negara ini adalah yang terendah di dunia.
Angka obesitas di Korsel hanya 3 persen sementara Jepang 5 persen dari populasi. Jumlah itu dilaporkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development. Padahal, rata-rata dunia mencapai hampir 20 persen.
Selain itu, angka penyakit kardiovaskular juga lebih rendah dari rata-rata. Kemungkinan, ini dikarenakan menu makanan tradisional yang menekankan pada ikan dan sayuran yang sehat bagi jantung. Selain itu, mereka juga banyak mengonsumsi hidangan yang menyehatkan usus seperti kimchi dan miso.
Salah satu wilayah yang terkenal adalah Okinawa. Daerah yang masuk dalam "Zona Biru" itu dikenal memiliki lansia yang bisa hidup hingga 100 tahun atau lebih.
"Keberhasilan wilayah Zona Biru hampir 60 persen tentang diet mereka," kata jurnalis pemenang penghargaan, sekaligus yang memperkenalkan tentang Zona Biru, Dan Buettner.
Â
4. Italia
Masyarakat Italia memang gemar merokok. Namun, mereka menua leibh lambat dan sehat dibandingkan negara-negara lainnya.
Pemerintah Italia memang memiliki kualitas akses kesehatan yang baik. Selain itu, Diet Mediterania juga kunci bagi masyarakatnya tetap sehat hingga usia lanjut.
Warga di negara itu juga terkenal dengan gerakan "makan lambat". Mereka juga menghindari makanan cepat saji dan menekankan pada masakan rumahan serta berkualitas dibandingkan dengan kenyamanan.
"Makan cepat bukan budaya kami," kata pakar makanan Italia Marco Bolasco. "Kami makan dengan santai, meskipun di siang hari saat istirahat."
Advertisement