Liputan6.com, Denmark - Terlalu banyak pengalaman seru yang ingin jurnalis Liputan6.com bagi ketika ditugaskan ke Denmark pada pertengahan April 2019.
Salah satu pengalaman yang ingin sekali saya ceritakan, saat diajak bermalam di rumah milik peternak sapi paling diperhitungkan di Jutland, sebuah kota kecil yang berada di antara semenanjung Eropa Utara, Denmark, dan Jerman Utara.
Baca Juga
Nyaris satu minggu saya berada di negara paling bahagia di dunia ini. Selain menikmati keramaian Kopenhagen, bersama tujuh orang peternak mitra Indofood dan dua orang jurnalis dari Indonesia, saya mengecap sunyinya Aarhus.
Advertisement
Setelah dua puluh empat jam berada di Aarhus, rombongan harus meninggalkan kota terbesar nomor dua di Denmark itu. Ya, di hari ke-4 memang dijadwalkan untuk study tour ke pabrik Arla Foods dan mengunjungi peternakan tersebut.
Â
Perjalanan ke Jutland
Perjalanan dari Aarhus ke Arla Foods Esbjerg Dairy, Kvaglundvej, Esbjerg memakan waktu kurang lebih dua jam dengan berkendara. Sedangkan dari situ ke peternakan jauh lebih sebentar.
Cuaca hari itu cerah. Matahari bersinar terik, tapi suhu berada di kisaran 1 hingga 2 derajat Celsius.
Maklumlah, Denmark tengah memasuki musim dingin. Bagi kami yang terbiasa dengan iklim tropis, ini adalah pengalaman yang tak terlupakan.Â
Setelah duduk di bus lebih setengah jam, patung empat pria yang tengah duduk menghadap laut di pinggir pantai Jutland Barat terlihat. Itu petunjuk bahwa tidak lama lagi rombongan akan tiba di tujuan.
"Kurang lebih 30 menit lagi kita sampai," kata CSR Business Partner for Arla International, Irene Quist Mortensen.
Tidak sekadar 'numpang lewat', rombongan juga diajak beristirahat sejenak di pantai itu. Tidak lama, tapi cukup bikin hati senang.
Setelah puas mengumpulkan bahan konten Instagram dengan latar belakang patung setinggi sembilan meter karya Sven Wiig Hansen yang konon diberi nama white man, rombongan lalu masuk ke dalam bus untuk bergegas ke peternakan.
"Orangnya sudah menunggu kita," Irene menekankan.
Dalam hati saya bersyukur tidak lama berada di pantai itu. Menurut saya, tidak ada objek selain empat patung white man yang bikin kedua mata ingin melihat suasana sekitar lebih lama.
Siang itu yang terlihat hanya satu keluarga duduk di atas pasir putih nan lembut, pasangan yang bercengkrama di kursi yang ada di pinggir pantai, lalu sesekali melintas orang yang sedang bersepeda.
Belum lagi cuacanya yang dingin, ditambah pula hembusan angin cukup kuat dari arah laut yang malah bikin saya ingin buru-buru menghangatkan tubuh.
Jadi, begitu Irene meminta kami semua naik ke bus, saya langsung melangkah dengan cepat.
Â
Advertisement
Tiba di Peternakan
Hal yang begitu berkesan bagi saya selama perjalanan menuju lokasi peternakan di Jutland adalah deretan rumah penduduk setempat. Rumah khas Eropa dengan cerobong asap menonjol pada bagian atap. Di depannya terdapat hamparan rumput hijau yang amat memanjakan indera penglihatan.Â
Pemandangan serupa itu hampir sulit ditemukan di Jakarta. Jadi, saya gunakan momen itu untuk menikmatinya sepuas hati. Tak sadar, bus yang kami tumpangi sudah memasuki area peternakan, lalu berhenti di depan rumah sang empunya lahan.
Dari dalam bus, kami melihat seorang wanita bertubuh mungil dan berkaca mata berdiri bersama anjing peliharaannya. Dia pun menyapa kami ketika turun dari bus.
"Halo," katanya. Setelah itu, dia terlihat berusaha keras membujuk anjingnya masuk ke kandang yang berada di pekarangan rumah.
Wanita murah senyum itu kemudian menghampiri Irene dan menanyakan kabarnya. Baru setelah itu, dia memperkenalkan namanya,"Saya Soren."
Nama panjangnya Soren Kristensen. Itu kalau menulisnya dalam bahasa Indonesia. Jika menggunakan bahasa Denmark, harus ditulis Søren Kristensen. Hari itu kami akan bermalam di rumahnya.Â
Setelah berkenalan, Soren lalu mengajak masuk. Dia membawa kami ke dalam sebuah ruangan di sebelah kanan garasi.
Â
Setelah menaruh koper dan tas, sebagian orang keluar dan berkeliling halaman rumah Soren yang luas. Sedangkan yang lain beristirahat di ruangan yang sudah disulap menjadi tempat jamuan, sembari menikmati secangkir teh hangat yang telah disiapkan.
Saya? Jangan ditanya! Tentu saja memanfaatkan keindahan lingkungan setempat sebagai latar sejumlah foto yang akan saya unggah ke Instagram pribadi.Â
Kapan lagi, kan, bisa menghiasi halaman akun sendiri dengan konten yang memperlihatkan saya mengenakan mantel tebal, kupluk, dan sarung tangan berhiaskan langit Eropa nan biru?
Pun dengan teman-teman yang lain. Mereka bahkan lebih dulu beraksi dengan gaya-gaya andalan demi memperindah Instagram masing-masing.
Â
Melihat Peternakan Sapi Konvensional yang Bersih
Jam menunjukkan pukul 16.00 waktu setempat. Soren mengajak kami melihat peternakan yang terletak di sisi depan tempat tinggalnya.
Dia dan suaminya, Siobhan, memiliki peternakan sapi perah konvensional seluas 600 hektare. Lahan milik pribadi hanya 365 hektare, sisanya menyewa dari pemilik tanah lain.
Soren mengatakan, susu yang dihasilkan dari sapi-sapi di peternakannya akan diserahkan ke Arla Foods. Sisanya dia pakai untuk memproduksi es krim sorbet dan gelato yang akan dikirim ke sejumlah hotel di wilayah tersebut, dan juga dijual di rumah sendiri.
Tak hanya susu, kotoran sapi pun disulap menjadi biogas dan dikirim ke perusahaan susu tersebut untuk mengeringkan susu bayi.
"Memang ada perusahaan yang mengumpulkan biogas, salah satunya Arla," Soren menjelaskan.
Â
Setelah menjelaskan secara singkat mengenai peternakannya, kami melangkah ke tempat sapi-sapi itu dipelihara.
"Sapi itu baru lahir satu jam yang lalu," kata Soren menunjuk seekor sapi kecil yang masih terlihat merah, di sebuah area yang dia sebut sebagai tempat kelahiran sapi ternaknya.
Nanti sapi yang baru lahir itu akan dipindahkan ke individual box yang ada di luar kandang.
Â
Masih di lokasi yang sama, Soren pun memperlihatkan kepada kami papan angka berwarna kuning yang ternyata nomor registrasi untuk sapi yang baru lahir.
"Jadi, nomor ini akan diberikan ke sapi yang baru lahir, dan nomor ini hanya digunakan satu kali," katanya.
"Kalau nanti ada yang lahir lagi, nomor-nomor ini tidak dipakai lagi," Soren menambahkan.
Total keseluruhan sapi yang ada di peternakan Soren sebanyak 1.500 ekor. Hanya 670 ekor dari jumlah tersebut yang menjadi sapi perah. Sisanya adalah sapi berumur dua tahun ke bawah.
"Milking (proses perah) harus sapi yang sudah melahirkan," ujarnya.
Â
Advertisement
Tak Tercium Aroma Tak Sedap
Bila biasanya masuk ke kandang sapi tercium aroma kurang sedap, di peternakan milik Soren malah tidak tercium apa pun yang bikin hidung menangkap aroma tak enak.
Dari pantauan di lokasi, boleh dibilang kondisi kandang bersih sekali. Pipis atau kotoran sapi pun tak terlampau bau.
Soren dan Siobhan menganut prinsip happy cow. Mereka menyulap peternakannya menjadi tempat yang membuat sapi nyaman, sehingga menghasilkan susu yang baik pula.
Â
Beternak dengan pola happy cow dilakukan dengan cara merawat semua sapi sebaik mungkin agar tidak stres. Mulai dari makanan yang terjaga baik, sampai tempat para sapi beristirahat dijaga betul oleh 12 karyawan yang ada di sana.
Liputan6.com melihat ada rantai yang terus berjalan membersihkan kotoran yang berceceran. Di sudut lain, tampak berdiri kokoh sebuah alat untuk sapi-sapi itu menggaruk tubuhnya.
"Karena di sini dingin, mereka pun minumnya air hangat," kata Soren. Menakjubkan, bukan?
Â
Pakan untuk sapi tidak boleh sembarangan. Saya dan yang lain dibawa ke sebuah gudang, menyaksikan tempat bahan-bahan makanan disimpan. Ada tumpukan kacang kedelai dan kentang yang berserakan.
Menurut Soren, makanan untuk hewan di peternakannya memang tinggi protein. Yang berasal dari campuran jagung, sereal, konsentrat, kentang, dan kacang kedelai.
Wajar bila kemudian sapi di tempat itu bisa memproduksi susu hingga 17.000 liter setiap harinya. Dan sejak 1991, Soren dan Siobhan sudah menyuplai susu perahan sapi-sapi di peternakannya ke Arla.
Â
Mengadopsi Arlagarden
Meskipun peternakan milik pasangan ini konvensional tapi mereka mengadopsi sistem Arlagarden guna memenuhi kualitas yang diinginkan Arla.
Di peternakan ini, semua aspek diperhatikan dengan benar, seperti air yang tidak berpolutan, pakan harus berkualitas, sampai cara peternak merawat seluruh sapi sehingga tidak stres dan hasil susunya pun berkualitas tinggi.
Bagi Arla, memberikan produk dengan kualitas terbaik merupakan salah satu strategi utama serta faktor kunci dalam menentukan masa depan peternakan.
Torben Greve Himmelstru Senior Director, Global Member Service-Arlagarden mengatakan, sebagai jaminan mutu untuk menjaga kualitas produk, seluruh peternak yang bergabung bersama Arla menerapkan standar Arlagarden.
Menurutnya, Arlagarden dibentuk berdasarkan empat poin utama yang merupakan acuan peternak dalam menghasilkan susu sapi terbaik, serta menjaga lingkungan dan kesejahteraan ternak; kualitas susu, keselamatan pangan, lingkungan, dan kesejahteraan ternak.
Selain itu, perusahaan susu berkualitas di Eropa yang tengah bekerja sama (joint venture) dengan perusahaan susu Indonesia, Indofood itu memiliki Green Ambitions yang diterapkan oleh seluruh peternak yang bernaung di bawahnya, baik konvensional maupun organik.
Specialist, Global CSR and Sustainability, Jan Dalsgaard Johannsen mengatakan, ambisi tersebut diterjemahkan dalam strategi jangka panjang yang mencakup tiga area; iklim yang lebih baik, air serta udara yang bersih dan lebih alami.
"Poin-poin itu menjadi prioritas Arla karena Arla berkomitmen untuk mengurangi dampak pada lingkungan dan memberikan kontribusi pada beberapa agenda Sustainable Development Goals," kata Jan saat di Markas Arla Foods.Â
Advertisement
Pagi-Pagi Ikut Memerah Susu
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, saya dan rekan yang lain sudah berada di kandang untuk ikut mencoba memerah sapi.
Kami dibagi per kelompok. Pembagian tersebut dilakukan sewaktu makan malam. Kebetulan saya, dua orang rekan jurnalis, dan dua orang peternak mitra Indofood kebagian jatah memerah pada pukul 05.30 pagi.
Jaket, mantel tebal, kupluk, dan sarung tangan sudah menempel di badan. Berat sekali kaki ini untuk pergi ke kandang, padahal tidak sampai 2.000 langkah.
Udara pagi itu dingin betul. Saya memprediksi suhunya di kisaran 1 derajat Celsius. Meski sudah mengenakan pakaian berlapis-lapis, tetap saja udara dingin menusuk ke sanubari.
Sesampainya di kandang, kami diminta untuk bertukar pakaian. Kami mengenakan pakaian warna putih, mirip pakaian laboratorium. Baru setelah itu, masuk ke tempat pemerahan sapi.
Â
Pagi itu lebih dari sepuluh ekor sapi diperah. Saya kebagian jatah memerah tiga ekor sapi. Serunya bukan main.
Itu bukan pengalaman pertama saya. Tiga tahun yang lalu, saya pernah ikut memerah sapi di Jawa Barat. Tidak ada perbedaan yang mencolok cara memerah sapi di peternakan milik Soren dan di Indonesia. Bedanya, di Indonesia masih pakai tangan, sedangkan di sana dibantu sebuah alat yang disebut vakum.
Pertama sekali, sapi yang akan diperah disemprot desinfektan, lalu bagian puting susu sapi diseka dengan kain hangat. Baru setelah itu masuk ke proses pemerahan.
Kedua tangan mulai memerah agar sapi mengeluarkan susunya. Pada perahan pertama, susu tak boleh ditampung. Ini karena perahan pertama untuk membuang bakteri yang tersimpan di susu.
"Pencetnya pelan-pelan, jangan ditarik. Kalau ditarik malah bikin sapi stres. Susunya enggak bakal keluar, kalau keluar pasti hasilnya jelek," kata Siobhan.
Baru setelah perahan kedua, ditempelkan alat penyedot susu berwarna biru. Kalau di Indonesia, pada tahap ini langsung ditampung di ember.
Prosesnya tak lama, tidak sampai 30 menit. Bahkan dalam kurun 10 menit lebih sedikit, saya bisa memerah tiga sapi. Seingat saya sih, lebih.
Masak Nasi Goreng dan Capcai untuk Tuan Rumah
Kegiatan memerah selesai. Saya pulang ke rumah Soren dan Siobhan dengan perasaan puas.
Setelah sarapan, saya izin naik ke kamar untuk beristirahat sejenak dan mandi.
Malam sebelumnya, Imesh, salah seorang rekan jurnalis membuat sebuah rencana. Dia mengajak kami, tidak termasuk para peternak, untuk masak nasi goreng.
Hitung-hitung tanda terima kasih karena Soren, Siobhan, dan dua orang anaknya menerima baik rombongan Arla Fam Trip di kediamannya.
Â
Niatan itu kami sampaikan ke Soren. Soren menyambut baik dengan menyediakan nasi dan bahan-bahan yang dibutuhkan. Termasuk sayur-sayuran yang akan dibuat capcai.
Masak-masak berlangsung tak kalah serunya. Pagi menjelang siang, dapur tempat Soren memasak kami ambil alih.
Semua yang ada di situ kebagian tugas. Saya dan Anna, dari kantor media daring di kawasan Palmerah, kebagian menggoreng nasinya. Imesh, urusannya menggoreng telur yang jumlahnya ala kadarnya tapi semuanya harus kebagian.
Â
Bagian memasak capcai diserahkan ke Ganesh dan Fany, yang bertanggung jawab atas kami selama perjalanan itu.
Tak menyangka respons baik diterima tuan rumah dan para peternak yang mencicipi masakan kami. Bahkan, Siobhan sampai tambah, kalau tidak salah, tiga kali. Pun dengan Soren, ikut memuji karya kami.
Â
Kegiatan makan siang hari itu sungguh menyenangkan. Muncul rasa bahagia bisa melakukan itu bersama teman-teman seperjalanan di rumah orang.
Setelah selesai makan, gantian Soren yang memberikan makanan penutup untuk kami. Seporsi pie apel dan es krim gelato yang dia buat sendiri.
Â
Tak terasa hari semakin sore. Bus yang akan membawa kami pulang ke Aarhus pun sudah tiba.
Salju yang tiba-tiba turun pada sore hari itu membuat suasana berpamitan antara kami dan keluarga Soren semakin syahdu.
Advertisement