Liputan6.com, Jakarta Hujan deras yang mengguyur Bengkulu sepanjang Jumat, 26 April 2019 hingga Sabtu, 27 April 2019 mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor. Luapan air banjir memasuki permukiman penduduk. Ribuan warga pun mengungsi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, 29 orang tewas serta 9 orang hilang. Sebagian besar korban tewas dan dan hilang berasal dari Kabupaten Bengkulu tengah, terutama di wilayah Gunung Kumbu.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho pernah menyampaikan, ada beberapa faktor yang menyebabkan banjir di Bengkulu. Faktor tersebut yakni kombinasi antara alam dan faktor manusia. Faktor alam adanya curah hujan. Bengkulu terdiri atas 19 kabupaten/kota punya hujan sangat ekstrem. Ini mengakibatkan sungai-sungai meluap ditambah dengan kerusakan alam dan lingkungan terjadi.
Advertisement
Baca Juga
Faktor lain bencana banjir dan longsor di Bengkulu, yakni kerusakan akibat banyaknya proyek tambang dan juga perumahan. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan. Kehadiran tambang dan pembangunan perumahan di daerah rawan bencana dan banjir. Curah hujan yang meresap di tanah hanya sedikit karena alih fungsi lahan juga kehadiran tambang.
Ketika hujan, sebagian besar air menjadi aliran permukaan yang mana mencari aliran ke sungai-sungai. Hanya sebagian kecil air hujan yang meresap ke dalam tanah. Contoh bencana banjir dan tanah longsor di Bengkulu termasuk salah satu bencana hidrometeorologi (bencana terkait iklim). Kepala Sub Direktorat Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Berton Panjaitan mengatakan, 7 dari 10 bencana dalam kajian BNPB terkait iklim.
“Banjir, banjir bandang, longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem dan abrasi serta kebakaran lahan dan hutan termasuk bencana hidrometeorologi. Tiga bencana lain yang tidak terkait dengan iklim, yaitu gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi. Ketiga bencana ini terkait bencana geologi,” jelas Berton dalam pemaparan yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Minggu (12/5/2019).
Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)-BNPB periode 2005-2017, kejadian bencana di Indonesia memang lebih banyak terkait hidrometeorologi. Pada tahun 2016, kejadian bencana hidrometeorologi sebanyak 2.287 kejadian, sedangkan bencana geologi sebanyak 26 kejadian. Pada tahun 2017, ada 2.139 kejadian bencana hidrometeorologi dan 18 kejadian bencana geologi.
Simak video menarik berikut ini:
Indonesia rawan bencana
Adanya kejadian bencana hidrometeorologi yang lebih banyak terjadi di Tanah Air menjadi bukti kuat Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang rawan bencana. Indonesia rentan terhadap bencana. Dalam World Risk Report 2016, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan risiko bencana tinggi.
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Sri Tantri Arundhati menjelaskan, kategori kerentanan nasional dilihat dari kondisi seluruh wilayah Indonesia. Data berasal dari Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014.
“74 persen wilayah Indonesia masuk kategori ‘cukup rentan.’ Kemudian 10 persen wilayah ‘tidak rentan’, 9 persen wilayah ‘agak rentan’, 4 persen wilayah ‘rentan’ terhadap bencana. 3 persen wilayah Indonesia bahkan masuk kategori ‘sangat rentan,” papar Tantri sebagaimana tertulis dalam pemaparan presentasinya.
Faktor perubahan iklim (temperatur suhu) dan permukaan suhu air laut memengaruhi kerentanan Indonesia terhadap bencana hidrometeorologi. Di luar skenario terbutuk (RCP8,5), kenaikan suhu rata-rata Indonesia diproyeksikan di bawah 2 derajat Celcius, menurut data Indonesia National Communication 2016.
Namun, perlu dicatat penyebaran proyeksi iklim mengandung ketidakpastian (uncertainty). Dalam perhitungan kenaikan tertinggi suhu rata-rata proyeksi di Indonesia berpotensi mencapai nilai yang sama seperti pada rentang temperatur global pada tahun 2100, yaitu lebih dari 4 derajat Celcius. Proyeksi perubahan suhu air laut, hasil model Regional Ocean Modeling Systems (ROMS) tahun 2006 sampai 2040 menunjukkan, suhu Permukaan Laut (SPL) berubah dengan cepat dengan rata-rata SPL regional naik lebih dari 0,25 derajat Celcius per dekade.
Hasil proyeksi ini relatif sesuai dengan pengamatan menggunakan data satelit dan data direkonstruksi. Tingkat kenaikan SPL tertinggi kemungkinan akan terjadi di Laut Tiongkok Selatan dan Selat Karimata yang mencapai 0,5 derajat Celcius per dekade.
”Tingkat kenaikan SPL di Laut Jawa, Laut Banda, Laut Sulawesi, dan laut sekitarnya berkisar antara 0,2 hingga 0,3 derajat Celcius per dekade. Sementara itu, tren kenaikan (permukaan suhu air laut) di Pasifik, bagian utara Papua mungkin menjadi yang terendah dibandingkan dengan tingkat kenaikan di daerah lain,” Tantri melanjutkan.
Anomali curah hujan juga menjadi faktor Indonesia rawan bencana. Hal ini terlihat tidak hanya dari kejadian bencana selama kurun waktu Pada periode 2026-2050, anomali curah hujan bulanan melebihi 200 mm per bulan diproyeksikan meningkat di beberapa wilayah, seperti Kalimantan dan Sulawesi. Potensi kenaikan curah hujan diproyeksikan akan terus meningkat pada tahun 2051-2075 dan 2076-2100. Kenaikan ini seiring peningkatan ketidakpastian perubahan anomali curah hujan di masa depan.
Advertisement
Peningkatan ancaman bencana
Dalam buku Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019 yang diterbitkan BNPB, Peningkatan ancaman bencana terkait iklim dan geologi dipengaruhi beberapa faktor.
Pertama, fenomena geologi yang semakin dinamis. Fenomena geologi sangat terkait dengan terjadinya ancaman bencana dan termasuk faktor yang sulit diprediksi. Contohnya saat terjadi erupsi Gunung Sinabung. Erupsi gunung api yang berlokasi di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatra Utara terjadi setelah tidak terdapat aktivitas selama 1.200 tahun.
Selain itu, pengangkatan bagian selatan pulau Jawa dan penurunan di bagian utaranya yang berpotensi terjadi banjir dan rob bisa sulit diprediksi. Kedua, perubahan iklim yang semakin ekstrem. Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia cenderung semakin ekstrem. Dampak sudah terlihat di antaranya, beberapa pulau kecil di Indonesia bagian timur yang makin mengecil luasnya atau bahkan hilang.
Yang sekarang kian dirasakan juga semakin tidak pastinya musim hujan dan kemarau. Masa peralihan musim, baik dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya bisa berujung terjadinya banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Ketiga, degradasi lingkungan yang kian meningkat. Degradasi ini merupakan dampak pembangunan yang tidak terkendali. Pemenuhan lahan terkait kebutuhan permukiman, pertambangan, dan pembangunan juga semakin bertambah.
Pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan menyimpang dari tata ruang yang disepakati mengakibatkan meningkatnya degradasi lingkungan yang akan menambah ancaman bencana di masa mendatang. Keempat, bonus demografi yang tidak terkontrol. Adanya bonus demografi termasuk hal yang patut disyukuri. Tetapi harus dikelola dengan baik. Apabila tidak maka akan berkontribusi terhadap peningkatan ancaman bencana terkait antropogenik (aktivitas manusia).
Adapun contoh bencana terkait antropogenik, yakni kebakaran hutan dan longsor. Longsor yang terjadi di di Kampung Cimapag, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada 31 Desember 2018 termasuk bencana antropogenik dan hidrometeorologi. Alih fungsi di lokasi atau bukit mahkota longsor memiliki kemiringan lereng, tanah mudah menyerap air, gembur dan mudah longsor. Di tambah lagi kawasan yang seharusnya dikonservasi menjadi zona budidaya.
Selain itu, wilayah yang terjadi longsor lantaran fungsinya sudah dialihkan oleh masyarakat setempat. Sutopo menyebut, wilayah tersebut sejatinya adalah kawasan konservasi bukan budi daya. Curah hujan tinggi dengan kemiringan lereng dan terjal lebih dari 30 persen. Kemudian tanah bersifat poros artinya mudah menyerap air. Gembur mudah sekali longsor,
Adaptasi perubahan iklim
Berton menekankan, dalam konteks bencana, perubahan iklim memiliki ancaman ganda. Pertama, meningkatkan frekuensi dan intensitas bahaya terkait iklim. Bahaya terkait iklim meliputi musim kering yang panjang, banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, dan kebakaran hutan. Kedua, meningkatkan kerentanan melalui degradasi ekosistem, yang menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan. Hal ini dapat berdampak terhadap kehidupan masyarakat
Untuk mengurangi dampak bencana terkait iklim diperlukan upaya adaptasi perubahan iklim. Upaya ini untuk mendorong pemangku kepentingan, baik pemerintah, swasta, lembaga, dan masyarakat untuk mengambil langkah nyata adaptasi perubahan iklim. Yang paling utama, bagaimana mempersiapkan diri dari dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
“Dalam menyikapi perubahan iklim, konvergensi adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana adalah keharusan. Konvergensi ini menjadi langkah strategis dalam melakukan pencegahan dan mitigasi bencana. Ketahanan masyarakat melindungi kehidupan dan penghidupannya juga bisa ditingkatkan,” ungkap Berton.
Langkah-langkah pengurangan risiko bencana yang sudah dan terus dilakukan BNPB meliputi identifikasi risiko melalui pemetaan risiko, bahaya atau ancaman, dan analisis kerentanan per wilayah Indonesia. Pemetaan dan analisis kerentanan didukung proyeksi dampak iklim. Masyarakat juga perlu diberikan kesadaran melalui edukasi Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim berbasis sektor Pendidikan (Program SPAB). Edukasi mitigasi bencana terkait pengetahuan bagaimana tanggap bencana.
Seperti halnya di Jepang, anak-anak TK dan SD sudah dilatih untuk tanggap bencana. Di Indonesia, mitigasi bencana bisa dengan mengunjungi diorama BNPB, gedung logistik dan peralatan, perpustakaan, serta ruang simulator gempa BNPB. Tantri menambahkan, adaptasi ketahanan iklim perlu dilakukan dengan pembangunan rendah karbon.
“Jadi, bagaimana kita menerapkan pembangunan dengan pendekatan lanskap (bentang alam). Misal, dipertimbangkan kembali soal konservasi dan restorasi ekosistem. Pembangunan yang dilakukan juga dipikirkan bagaimana perlindungan kawasan pesisir, dan pengelolaan daerah aliran sungai terintegrasi,” jelasnya.
Yang menjadi tantangan adaptasi perubahan iklim adalah koordinasi. Perubahan iklim merupakan isu lintas sektoral sehingga diperlukan fungsi koordinasi yang kuat. Perhatian dan tuntutan masyarakat terhadap kualitas lingkungan yang bersih dan sehat sehingga mendorong strategi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Advertisement