Sukses

Fasilitas Umum Harus Dilengkapi Alat Pacu Jantung

Automated External Defibrillator (AED) berfungsi menormalkan gelombang listrik jantung pada pasien yang mengalami henti jantung.

Liputan6.com, Bandung Masyarakat tentunya sudah familiar dengan APAR. Ya, alat pemadam ringan berbentuk tabung warna merah, dilengkapi selang warna hitam dengan panjang kurang lebih 30 sentimeter dan sering disimpan di dinding setiap fasilitas umum maupun perkantoran. Gunanya untuk memadamkan kebakaran skala kecil.

Tapi, apakah masyarakat juga tahu soal alat bernama AED? Mungkin sebagian pernah melihat benda ini saat singgah di bandara dan stasiun kereta api di Indonesia. Automated External Defibrillator (AED) berfungsi menormalkan gelombang listrik jantung pada pasien yang mengalami henti jantung.

"Alat ini sebenarnya sering dijumpai di fasilitas umum seperti bandara dan stasiun dan bisa digunakan orang awam yang terlatih. Memberikan kejut listrik ke jantung untuk mengembalikan irama jantung menjadi normal kembali," kata Kepala IGD RSHS Doddy Tavianto, Bandung, Kamis, 16 Mei 2019.

Doddy mengatakan, selain di bandara dan stasiun, keberadaan AED seharusnya dapat dijumpai di terminal bus, pantai, mall dan pelabuhan. Doddy menjelaskan alat kejut listrik tersebut biasanya disimpan di kotak kaca, seperti APAR, di tempat yang dapat dijangkau oleh orang sekitar.

Diyakini oleh Doddy, alat penyelamat jiwa tersebut dilengkapi dengan tata cara pemakaian berbagai bahasa. Tak cuma itu, seluruh instruksinya dapat langsung terdengar dari pengeras suara saat alat tersebut dinyalakan. Sehingga, seseorang yang bukan petugas medis pun dapat mengoperasikannya.

"Alat ini harusnya dimiliki dan berada di seluruh fasilitas umum atau pusat keramaian yang ada di kita. Tapi alat yang tandanya berbentuk hati dan di tengahnya terdapat halilintar ini jarang dikenal oleh masyarakat," ujar Doddy.

 

 

2 dari 3 halaman

Bantuan hidup dasar

Tapi sebelum menggunakan AED lanjut Doddy, terdapat salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap orang yaitu bantuan hidup dasar (Basic Life Support). BLS ini, adalah protokol yang didesain untuk memberikan bantuan sirkulasi dan bantuan napas terbaik serta paling memungkinkan yang dipergunakan oleh setiap orang mulai dari tenaga medis profesional sampai masyarakat umum. BLS dapat dilakukan sebelum tenaga terlatih tiba di lokasi.

Caranya kata Doddy sangat mudah, karena tidak memerlukan peralatan khusus. Dengan sedikit latihan akan dapat menyelamatkan jiwa dalam situasi emergensi.

"Situasi emergensi ini seperti jika ada orang tiba-tiba jatuh akibat henti jantung atau henti napas. Henti jantung ini karena tidak berfungsinya aliran darah dan tidak berfungsinya napas, dapat diberikan tindakan bantuan hidup dasar. Sama halnya dengan henti napas akibat tidak adanya fungsi respirasi namun fungsi aliran darah masih ada, dapat diberikan bantuan tidak lebih dari lima menit. Karena kalau henti napas tidak ditangani oleh tindakan lanjutan maka akan berakibat henti jantung," jelas Doddy.

Doddy memaparkan henti jantung atau cardiac arrest, cardiopulmonary arrest dan circulatory arrest adalah hilangnya sirkulasi darah secara fungsional oleh karena kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif. 

Henti jantung harus dibedakan dengan serangan jantung atau heart attack, lanjut Doddy. Kondisi ini merupakan kegagalan aliran darah ke otot jantung yang dapat berlanjut menjadi henti jantung. Sementara istilah gagal jantung atau heart failure yaitu sirkulasi dibawah normal tetapi jantung masih dapat memompa darah untuk mempertahankan kehidupan dapat berlanjut menjadi henti jantung.

3 dari 3 halaman

Peluang hidup pasien

Seluruh istilah tersebut merupakan beberapa pemicu kondisi seseorang memerlukan bantuan dasar hidup. Lalu, untuk menstabilkan kondisi detak jantungnya ke ritme awal perlu dibantu dengan AED.

"Idealnya bantuan hidup dasar diberikan kepada pasien yang tergeletak yaitu dalam rentang waktu 0-4 menit, dilanjutkan dengan penggunaan AED selama 4-8 menit dan ditindaklanjuti dengan perawatan intensif oleh petugas medis dalam kisaran 8-12 menit. Diperkirakan peluang nyawanya akan tertolong 40 persen," sebut Doddy.

Namun bila kedatangan petugas medis terlambat karena alasan teknis ke lokasi, peluang nyawa pasien hanya 20 persen, meski telah diberikan runutan bantuan dasar hidup dan penggunaan AED. Apalagi jika bantuan dasar hidup telah diberikan, tetapi penggunaan AED telat dioperasikan, peluang hidup pasien diperkirakan hanya 8 persen dan terus menurun jika prosedur keduanya tidak dilakukan.

Intinya bantuan hidup dasar dan penggunaan AED yang diberikan secepat mungkin terbukti dapat meningkatkan kemungkinan hidup seseorang setelah mengalami henti jantung. Bantuan hidup dasar tidak selalu harus dilakukan oleh profesi medis.

"Apabila tidak diberikan bantuan hidup dasar, prognosis pasien yang mengalami henti jantung memburuk 7-10 persen tiap menit. Kenyataan dilapangan, sangat sedikit korban yang mendapatkan bantuan hidup dasar," tegas Doddy. (Arie Nugraha)