Sukses

Kemenkes Ungkap Alasan Belum Adanya Regulasi Tertulis Soal Rokok Elektrik

Salah satu alasan mengapa belum adanya regulasi yang jelas terkait peredaran rokok elektrik adalah dikarenakan komposisinya yang terus berubah, sehingga butuh kajian yang terus menerus

Liputan6.com, Jakarta Penggunaan rokok elektrik sebagai alternatif rokok konvensional saat ini sudah menjadi tren. Meski begitu, ada alasan mengapa butuh waktu yang cukup lama untuk pembuatan regulasi dan pengendalian produk semacam ini.

"Kementerian Kesehatan melihat bahwa rokok elektrik yang sekarang ada, secara konten, mengandung hal-hal yang membahayakan dan dalam konteks perilaku, akibatnya sama dengan rokok," kata Anung Sugihantono, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di kantor Kemenkes, Kuningan, Jakarta pada Selasa (28/5/2019).

Anung mengatakan, Kemenkes melihat dalam rokok elektrik yang beredar, tetap ada banyak zat-zat kimia lain yang berisiko bagi kesehatan penggunanya.

Meski begitu, Kemenkes mengakui butuh upaya untuk melakukan pengendalian dan menciptakan regulasi bagi produk rokok elektrik di Indonesia. Anung mengakui, saat ini belum ada peraturan secara eksplisit tentang hal itu.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

2 dari 3 halaman

Tren yang Terus Berubah

Belum ada regulasi tertulis dikarenakan terus berubahnya tren dari komposisi rokok elektrik itu sendiri.

"Kalau dulu mau memasukkan dalam daftar, sekarang ada zat baru, kita harus mengubah lagi, harus diubah lagi. Ini yang menjadi bagian dari upaya itu," kata Anung menjelaskan.

Penggunaan rokok elektrik sendiri sebagai cara untuk mengurangi rokok konvensional memang terbilang masih kontroversial. Beberapa dokter menyatakan bahwa strategi tersebut terbilang aman.

 

3 dari 3 halaman

Kontroversi Rokok Elektrik

Peneliti drg. Amaliya dari Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) yang menyatakan bahwa kadar nikotin dalam rokok elektrik seperti vape lebih rendah dibandingkan tembakau biasa. Selain itu, uap yang dihasilkan berbeda dengan asap pembakaran dari tembakau yang mengandung tar.

"Beberapa negara sudah meneliti, misalnya di Public Health England menyatakan bahwa bahaya rokok elektrik 95 persen lebih rendah daripada rokok biasa," kata Amaliya dalam sebuah temu media yang berbeda.

Meski ada bahaya lima persen, namun itu tidaklah sebanyak rokok biasa sehingga bisa dikategorikan dalam strategi harm reduction.

Namun, dokter spesialis paru Agus Dwi Susanto dari Perhimpunan Dokter Paru menegaskan bahwa meski tidak ada tar, bukan berarti rokok elektrik tidak berbahaya.

"Rokok elektrik tetap mengandung karsinogenik, walaupun lain. Ini seharusnya yang juga dipahami," kata Agus. Sehingga, cara pengurangan rokok tembakau dengan rokok elektrik adalah tetap berbahaya.