Liputan6.com, Jakarta Tradisi seringkali menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh tenaga kesehatan ketika harus melayani warga di wilayah pedesaan. Salah satu yang masih banyak ditemukan di Indonesia adalah profesi dukun beranak.
Inilah yang harus dihadapi tenaga kesehatan muda yaitu dokter Edo Prambudi Thamrin, bidan Ekaputri Puspita Arianti, serta Fitriana Puspitarani dari Kesehatan Masyarakat, yang tergabung dalam program Pencerah Nusantara. Keduanya bertugas di Muara Enim, Sumatera Selatan.
Baca Juga
5 Cara Mengonsumsi Alpukat untuk Menurunkan Kolesterol dan Mendapatkan 3 Manfaat untuk Jantung Anda
6 Khasiat Daun Jambu Biji, Solusi Alami untuk Menurunkan Kolesterol dan Gula Darah
Gagal di Piala AFF 2024, Shin Tae-yong Yakin Timnas Indonesia Akan Sukses di SEA Games dan Kualifikasi Piala Asia U-23 2026
Ketika berbagi dengan Health Liputan6.com, Eka mengatakan bahwa di daerah tempat mereka bertugas, setidaknya ada 56 dukun beranak dalam satu kecamatan. Belum lagi, beberapa tradisi juga membuat mereka harus berpikir bagaimana caranya untuk bisa membawa ibu bersalin ke tempat pelayanan kesehatan.
Advertisement
"Ada sih gesekan-gesekan. Terutama di fasilitas kesehatan, persalinan di fasilitas kesehatan," Eka bercerita saat ditemui di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta baru-baru ini, ditulis Jumat (19/7/2019).
Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini
Tantangan dari Sisi Budaya
Eka mengungkapkan, masih banyak ibu yang melakukan proses persalinan di rumahnya masing-masing. Selain itu, dalam melakukannya harus searah dengan arah aliran sungai.
"Jadi pada saat kita ajak ke fasilitas kesehatan, kita harus melakukan pendekatan ke dukunnya juga, pendekatan ke keluarganya juga," kata Eka.
Tantangan lain adalah kepercayaan memberikan kotoran kambing atau sapi ke tali pusar. Tradisi ini rentan menyebabkan pendarahan pada tali pusar bayi.
Tradisi lain yang menjadi faktor penyebab rendahnya cakupan imunisasi adalah Betawar. Aturan yang dikeluarkan oleh para dukun ini masih langgeng di Kecamatan Sungai Rotan. Di sini, dukun tidak memperbolehkan ibu dan bayi keluar rumah selama 40 hari.
"Karena dukun di sana kan derajatnya kan lebih tinggi dalam status sosialnya daripada bidan. Tapi status sosial juga ada di kepala desa, jadi kami melewati kepala desa untuk bekerja sama dengan dukunnya."
Â
Advertisement
Kerja Sama Dukun dan Bidan
Hal tersebut menyebabkan banyak bayi yang tidak mendapatkan imunisasi HB O. Bahkan, data 2016 menyebutkan bahwa cakupan imunisasi di Puskesmas Sukarami hanya sebesar 67 persen. Lebih rendah dari target yaitu 80 persen. Seringkali, catatan di buku KIA juga kosong.
Ini membuat Eka dan rekan-rekannya untuk mendekati masyarakat secara lebih personal, termasuk kepada para dukun bersalin. Mereka diminta untuk membawa ibu hamil yang akan melahirkan ke bidan desa serta, mendapatkan sosialisasi dari Eka dan rekan-rekan satu timnya.
Selain itu, tim Pencerah Nusantara juga melakukan intervensi dengan mendatangi ibu dan bayi yang dirumahkan dan melakukan imunisasi.
"Jadi pendekatannya jadi orang per orang, tapi tidak mengurangi rasa, mereka sebagai orang yang dihormati di sana," kata Eka.
Salah satu yang mereka lakukan adalah melakukan kemitraan antara bidan dan dukun. Hal ini juga dilakukan agar pendapatan dari para dukun tidak berkurang dengan kedatangan mereka. Sehingga, selain tidak mengurangi pendapatan, mereka juga tetap dihargai oleh masyarakat setempat.
"Jadi kami mengadvokasi kebijakan dana desa untuk kesehatan," ujar perempuan 23 tahun ini.
Â
Dekat dengan Masyarakat
Selain angka imunisasi yang sedikit meningkat, salah satu keberhasilan mereka adalah dengan menjadikan dukun di satu kecamatan sebagai kader kesehatan. Meski tentu saja, ini tidaklah mudah.
"Salah satu tantangan kami di awal adalah bagaimana membuat masyarakat percaya dengan kami, trust itu penting. Ketika kepercayaan itu sudah dapat, kita mau kerja sama enak," kata dokter Edo saat berbagi ceritanya pada awak media.
Edo mengatakan, untuk lebih dekat dengan masyarakat, dia dan timnya rajin untuk berkunjung ke masyarakat setempat. Mulai dari tetangga hingga teman-teman yang mereka temui di tempatnya bertugas.
Khususnya bagi Edo yang beragama Katolik, ini menjadi tantangan tersendiri mengingat di wilayahnya hampir semua warganya beragama Muslim.
"Gereja terdekat itu satu jam. Jadi waktu itu saya tetap ikut saja semuanya. Ada yasinan, ada lebaran, ikut lebaran juga. Akhirnya jadi bersahabat," kata dokter 26 tahun itu.
Namun, dengan kedekatannya, masyarakat juga ikut menerima perbedaan yang ada.
"Bahkan ada masyarakat yang nawarin, 'mau tidak diantar ke gereja?' Jadi hubungan itu jadi modal penting sebenarnya," kata Edo yang merupakan ketua tim Pencerah Nusantara di Muara Enim ini.
Advertisement
Motivasi Sesungguhnya
Edo dan Eka sendiri memiliki motivasi yang sama ketika memutuskan untuk terjun langsung ke lapangan dalam program Pencerah Nusantara.
"Biasanya waktu kuliah lebih banyak terpapar dengan kondisi di rumah sakit. Jadi kami melihatnya bahwa di rumah sakit bisa memeriksa macam-macam, alatnya lengkap, obatnya lengkap. Tapi begitu saya internship, program kemahiran dokter yang sudah lulus, muncul pertanyaan, kok saya bertemu penyakit yang sama terus tidak selesai-selesai," kata Edo.
Karena ingin melihat apa yang terjadi sesungguhnya di luar rumah sakit, dia akhirnya memutuskan untuk langsung turun langsung ke lapangan. Dia ingin melihat bagaimana kondisi sosial dan dinamika di masyarakat, seperti apa yang membuat suatu penyakit banyak dialami.
"Kalau kita misalnya melihat masalah kesehatan dari tenaga kesehatan tanpa melihat hulunya seperti masalah ekonominya, sosial budayanya seperti apa, rasanya kurang. Jadi kita hanya kuratif atau pengobatannya tapi preventifnya tidak terlalu kita pahami," imbuh Eka.
Menkes Ingin Dukun Beranak Tidak Tersingkirkan
Fenomena dukun beranak sendiri bukan hanya ada di Muara Enim. Masih banyak profesi tersebut di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Melihat ini, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nila F. Moeloek mengatakan bahwa keberadaan dukun beranak bisa berguna bagi para tenaga medis.
"Dukun itu mendekatinya perorangan. Mereka menyentuhnya sangat kekeluargaannya tinggi, tapi dia tidak punya skill atau tingkat profesionalismenya tidak ada," kata Nila dalam kesempatan yang sama.
"Jadi bidan merangkul dukun itu untuk memberikan ketenangan pada ibu yang melahirkan. Jadi dukun berada di samping ibu agar jadi lebih tenang, tapi tetap yang menolong persalinan adalah orang yang profesional," kata Nila.
Di sini, tenaga medis yang lebih berpendidikan harus jeli dalam melihat peluang semacam ini, agar profesi dukun beranak juga tidak disingkirkan.
"(Kalau disingkirkan) itu akan menjadikan penolakan dari masyarakat. Itu yang namanya sosio budaya yang harus kita pahami," kata Nila.
"Jadi tenaga kesehatan bukan hanya sekadar mengambil pisau terus membedah. Tapi kita juga harus melihat empati kita dan sebagainya," tambahnya.
Selain itu, dia berharap agar tenaga kesehatan juga merangkul dan memberikan edukasi bagi dukun beranak. Misalnya mengenai kebersihan atau mendorong anak-anak mereka untuk menjadi seorang bidan dengan pendidikan yang lebih tinggi.
Advertisement