Liputan6.com, Jakarta Masih banyak persoalan terkait perlindungan anak di Indonesia yang belum bisa terselesaikan. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengungkapkan hal tersebut dalam temu media terkait Hari Anak Nasional 2019 beberapa waktu lalu.
"Hari Anak Nasional tentu tidak hanya menjadi momentum untuk seremoni, ini penting jadi catatan kita, tetapi penting juga untuk menjadi refleksi perbaikan yang lebih baik, kualitas penyelenggaraan perlindungan anak di kemudian hari," kata Susanto.
Baca Juga
Brdasarkan catatan KPAI di tahun 2018, setidaknya ada empat kasus yang mereka soroti sebagai pembelajaran terkait perlindungan anak.
Advertisement
1. Pornografi
Isu berbasis siber seperti pornografi masih menjadi masalah bagi anak Indonesia. Susanto mengatakan, ini juga harus menjadi perhatian dari orang dewasa.
"Ini juga menjadi tantangan bagi orang dewasa," kata Susanto dalam temu media di kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak beberapa waktu lalu, ditulis Senin (29/7/2019).
Menurutnya, momen Hari Anak Nasional yang baru berlangsung beberapa waktu lalu bisa menjadi loncatan untuk perbaikan yang lebih baik.
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
2. Perceraian
Kasus perceraian masih menjadi salah satu masalah yang juga dihadapi terkait perlindungan anak Indonesia. Susanto mengatakan, dari data Mahkamah Agung di tahun 2018, terjadi 419.268 pasangan yang melakukan perceraian.
"Kita tidak hanya melihat aspek perceraiannya saja, tapi juga penting melihat dampaknya bagi anak," kata Susanto. Dia mengatakan bahwa kasus yang dilaporkan ke KPAI terkait perceraian lebih kompleks dari kelihatannya.
"Masalahnya bukan hanya pendidikan, tapi masalah kesehatan, pemenuhan hak dasar lain, persoalan akses ingin bertemu, memilih sekolah, itu juga menjadi persoalan."
Menurutnya, persoalan terkait perceraian yang telah diungkapkan sebelumnya bisa menjadi sumber konflik bagi orangtua sang anak.
Advertisement
3. Kejahatan Berbasis Siber
KPAI menemukan masih banyak kasus kejahatan berbasis siber. Di sini, mereka menyatakan bahwa seringkali anak merupakan pelaku dari kejahatan itu sendiri.
"Kejahatan berbasis siber ini luar biasa. Anak bukan hanya sebagai korban tetapi juga sering dilibatkan," kata Susanto.
Â
4. Perundungan
Susanto mengatakan bahwa seringkali, seseorang melakukan perundungan tanpa sadar dirinya melakukan perundungan.
"Guru satu mengatakan bahwa itu masuk kategori bullying, tapi guru yang lain belum tentu memaknai itu sebagai bullying. Anak yang satu mengatakan ini hal biasa, tapi yang satu mengatakan stop bullying," katanya.
Maka dari itu, selain memaksimalkan model sekolah ramah anak, perlindungan anak dan kampanye 'stop bullying' harus menjadi budaya di lingkungan anak, keluarga, dan sekolah itu sendiri.
Advertisement