Liputan6.com, Jakarta - Renungan jiwa di Wisma Soegondo Djojopoespito pada Selasa malam, 13 Agustus 2019, merupakan sarana bagi anggota Paskibraka Nasional 2019 untuk mengintrospeksi diri sendiri.
Dan biasanya, cucuran air mata akan membasahi pipi saat mereka membuka, membaca, dan mencerna isi setiap halaman dari buku berukuran kecil yang ada di depan mereka sambil didengarkan lagu Padamu Negeri.
Baca Juga
Pembina Paskibraka Nasional 2019 yang biasa dipanggil Bunda Nina, mengatakan, hal tersebut bisa terjadi lantaran inti dari isi dari buku untuk menyadarkan mereka, apakah selama ini sudah berlatih sungguh-sungguh atau belum.
Advertisement
Bahkan, di beberapa halaman berisi sebuah pertanyaan, yang bikin 68 orang Paskibraka Nasional 2019 mengingat dosa, penyesalan, serta kesalahan yang pernah mereka buat.
Hal itu yang dirasakan Paskibraka Nasional 2019 dari Jawa Tengah, Muhammad Fany Nur Wibowo; Kalimantan Barat Wirendi Angga Rahmawan; dan Nusa Tenggara Barat, Muhammad Adzan.
Simak Video Menarik Terkait Paskibraka Nasional
Fany, Paskibraka 2019 dari Jawa Tengah
Saat membaca dan menghayati buku berukuran kecil bertuliskan 'Renungan Jiwa Paskibraka', Fany merasa tertampar pada sebuah pertanyaan mengenai pengorbanannya bagi bangsa dan negara ini.
"Poin utamanya lebih ke bagaimana mendalami karakter kita. Kita itu sudah berkorban apa saja demi bangsa dan negara ini," kata Fany kepada Diary Paskibraka Liputan6.com di PP-PON Kemenpora, Cibubur, Jakarta Timur.
"Mungkin di sini kita dituntun dan diarahkan menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari hari kemarin," Fany menekankan.
Selama ini Fany merasa bahwa dia sudah berbakti buat negara tercinta. Wujudnya dalam bentuk menanamkan jiwa nasionalisme di diri sendiri, dengan menyukai pelajaran sejarah sejak kanak-kanak.
Pelajaran sejarah baginya bertujuan untuk mengingat perjuangan para pahlawan yang berkorban mati-matian guna memperjuangkan kemerdekaan. Dan dia sebagai anak muda, tidak boleh lupa akan hal tersebut.
Karena hobi membaca buku-buku sejarah, Paskibraka Nasional 2019 yang bersekolah di SMA Negeri 1 Magelang ini ingin suatu saat nanti sejarah tahu apa yang sudah dia lakukan bagi NKRI ini.
"Saya tidak ingin sejarah tahu apa yang sudah saya lakukan. Dan biarkan saya melakukan yang bermanfaat bagi orang lain, tanpa diketahui oleh orang tersebut. Mungkin itu lebih baik buat saya," katanya.
Advertisement
Wirendi, Paskibraka Nasional 2019 dari Kalimantan Barat
Hal yang sama juga dirasakan Wirendi. Menurut cowok kelahiran Ketapang, 20 Januari 2003, isi dari buku itu berkaitan erat dengan orangtua dan negara.
Tentang kesalahannya terhadap ayah dan ibunya, dan wujud bakti dia kepada negara selama ini.
"Kalau kesalahan, pastinya banyak. Saya juga masih sering membangkang," kata Wirendi.
Oleh sebab itu, Wirendi ingin menunjukkan ke orang-orang terdekatnya bahwa Diklat Paskibraka Nasional 2019 telah mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik.
"Paskibraka itu tidak cuma baris-bebaris, tapi ada hal yang membuat saya ingin memberikan perubahan buat orangtua dan negeri ini," katanya.
Paskibraka Nasional 2019 yang merupakan anak dari seorang PNS ini berharap cita-cita dia sebagai Polisi bisa terwujud.
"Saya ingin bermanfaat bagi banyak orang. Saya memutuskan ingin menjadi pengabdi negara," katanya.
"Saya pilih menjadi Polisi, karena itu langsung mengayomi dan melindungi masyarakat," kata Wirendi yakin.
Adzan, Paskibraka Nasional 2019 dari NTB
Adzan bercerita mengenai malam renungan jiwa yang dia ikuti. Dia mengira bahwa kegiatan yang berlangsung selama satu jam itu tidak akan membuatnya berderai air mata.
Tak tahunya, Paskibraka Nasional 2019 yang bersekolah di MAN 2 Kota Bima malah menangis kencang.
"Waktu buka halaman pertama masih belum terlalu. Setelah menghayati, malah makin sedih," kata Adzan.
Bagian yang membuat Adzan tak mampu membendung air matanya untuk jatuh, saat di pertanyaan mengenai orangtua. Seketika Adzan mengingat kesalahan-kesalahan yang pernah dia buat.
"Pernah melawan orangtua. Itu karena emosi sesaat sebenarnya," ujarnya.
"Waktu itu kayak dimarahin orangtua, tapi Adzan enggak terima. Adzan kayak marah gitu, karena lagi capek. Setelah emosi, merasa sangat bersalah sampai-sampai enggak bisa tidur. Saya bangun pagi-pagi, langsung minta maaaf dan menyadari kalau Adzan salah," katanya.
Pada kesempatan itu, Adzan ingin orangtuanya tahu bahwa dia tidak mungkin bisa emosi dan marah yang berlarut-larut. Dia sadar betul porsinya sebagai anak.
"Maafin Adzan, ma, pa," kata Adzan.
Advertisement