Liputan6.com, Jakarta Alat kelamin, tepatnya pada bagian vulva, seorang wanita berusia 46 tahun yang tidak ingin disebutkan namanya, melepuh. Wanita itu didiagnosis mengalami gangguan autoimun langka yakni pemfigus vulgaris.
Kasus yang diterbitkan oleh BMJ Case Reports di Inggris ini memaparkan kasus seorang wanita yang mengalami pembengkakan vulva. Hal tersebut diiringi dengan keluarnya cairan kuning dan rasa sakit yang luar biasa.
Baca Juga
Awalnya, ia melakukan konsultasi dengan dokter umum dan rumah sakit setempat sebanyak dua kali. Diagnosis pertama menunjukkan wanita tersebut mengalami infeksi jamur. Sedangkan diagnosis kedua menujukkan dirinya mengalami folikulitis, peradangan akibat infeksi bakteri pada tempat rambut kemaluan tumbuh.
Advertisement
Namun, kondisinya tidak membaik selama enam bulan. Bahkan setelah melakukan pengobatan dari banyak dokter, ia masih harus dirawat di UGD. Ia melakukan tes STD, infeksi virus, dan bakteri dengan hasil yang negatif. Akhirnya dokter mendiagnosis bahwa wanita tersebut mengalami pemfigus vulgaris.
Apa itu pemfigus vulgaris?
Pemfigus adalah kumpulan gangguan autoimun yang menyebabkan pelepuhan pada kulit atau selaput lendir seperti mata, hidung, mulut, atau bagian lain yang mengeluarkan lendir.
Menurut Dr. Anthony Fernandez, seorang dokter kulit di Cleveland Clinic, Ohio, Amerika Serikat, pemfigus vulgaris mempengaruhi sekitar empat dari satu juta orang di Amerika Utara.
Pemfigus vulgaris biasanya menyebabkan lepuh dimulai dari mulut dan kemudian berpindah ke kulit dan alat kelamin.
“Lepuh yang disebabkan oleh pemfigus vulgaris tidaklah gatal namun terasa menyakitkan. Ia juga membuat mengunyah dan menelan menjadi sangat sulit,” ucap The National Organization for Rare Disorders (NORD), Amerika Serikat.
Menurut The Genetic and Rare Diseases Information Center (GARD), Amerika Serikat, pemfigus vulgaris dapat menyerang usia paruh baya dan lebih tua. Gangguan ini menyebabkan munculnya lepuh yang diisi dengan cairan bening, dan ketika pecah dapat menyakitkan dan berbahaya. Kondisi ini dapat menyebabkan tubuh kehilangan cairan dan protein, dan berpotensi menyebabkan komplikasi akibat infeksi.
Menurut GARD, penyebab pemfigus vulgaris secara keseluruhan belum diketahui. Namun lepuh tersebut menjadi panas karena pemfigus vulgaris memperlakukan protein yang disebut desmoglein seolah-olah benda asing. Padahal desmoglein memainkan peran kunci dalam tubuh sebagai “lem” yang dapat menyatukan sel-sel pada kulit kita.
“Ketika desmoglein diserang, maka sel-sel kulit terpisah satu sama lain dan cairan dapat berkumpul di antara lapisan kulit dan menyebabkan pelepuhan,” jelas GARD.
Meskipun jarang, pemfigus vulgaris dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu termasuk antibiotik atau obat untuk meningkatkan tekanan darah yang dikenal sebagai ACE inhibitor. Faktor lain yang meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami pemfigus vulgaris adalah kecenderungan genetik dan usia.
Advertisement
Belum Ada Obatnya
Hingga saat ini, belum ada obat untuk menyembuhkan pemfigus vulgaris. Sehingga dokter hanya dapat menyarankan obat yang dapat mengurangi gejala terjadinya pemfigus vulgaris dan mencegah komplikasi akibat metode perawatan yang ada.
Metode perawatan yang diberikan biasanya berupa penggunaan kortikosteroid yang berfungsi untuk mengurangi peradangan. Selain itu, obat imunosupresif dan imunoterapi, yang keduanya harus disesuaikan dengan sistem kekebalan pasien.
Pasien dengan penyakit ini bisa melanjutkan kehidupan normal jika mereka dirawat dengan benar.
“Kita dapat mengendalikan penyakit ini sampai pasien tidak memiliki bekas apapun. Untungnya wanita berusia 46 tahun ini menjalani pengobatan yang baik setelah enam bulan menjalani pengobatan,” ucap Dr. Fernandez.
Penulis: Diviya Agatha