Liputan6.com, Jakarta Maret 2013, Wielly Wahyudin sedang naik transportasi MRT ketika berada di Hong Kong. Saat itu dadanya terbentur tiang secara tidak sengaja. Kejadian itu perlahan mengungkap bahwa pria itu mengalami kanker payudara HER2-positif.
"Mulai dari situ saya merasa ada benjolan sebesar kelereng. Sangat kecil sekali," kata Wielly menceritakan kisahnya di Menteng, Jakarta, ditulis Jumat (30/8/2019).
Baca Juga
Pria yang sempat bekerja di kapal pesiar itu merasakan bahwa benjolan itu tak wajar. Setelah terbentur, dada kanannya kerap merasa sakit seperti ditusuk jarum. Dia juga melakukan pemeriksaan pada para petugas kesehatan di tempatnya bekerja.
Advertisement
Wielly mengatakan bahwa dia sempat melakukan biopsi di Vancouver pada Juni 2013. Namun, para dokter meminta agar dirinya tidak diberitahu terlebih dulu oleh kapal tempatnya bekerja.
"Waktu itu dirahasiakan. Saya tidak boleh tahu hasil itu. Jadi waktu itu saya sempat menunggu, karena hasilnya mungkin di luar negeri lebih cepat daripada di sini. Dokter bilang harusnya tiga hari sudah keluar hasilnya," kata pria 44 tahun itu.
"Saya paksa terus, hingga akhirnya dia kasih tahu bahwa ini (kanker payudara) stadium 3."
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Pertanyaan Pertama yang Terlontar
"Berapa lama lagi saya hidup?"
Pertanyaan itulah yang pertama kali terlontar dari Wielly ketika diberitahu bahwa ia terkena kanker payudara.
Keterkejutannya juga muncul karena tidak ada riwayat kanker dari keluarganya. Pekerja di bidang akuntansi itu juga kaget bahwa ternyata pria juga bisa kena kanker payudara.
Setelah pulang ke Indonesia, dia segera mendapatkan operasi. Payudara kanannya diangkat dan saat itulah, dia juga tahu bahwa kanker payudaranya berjenis HER2-positif.
Wielly pun melakukan pengobatan kemoterapi selama delapan kali dan menggunakan obat Herceptin 16 kali. Setelah itu, dia juga mendapatkan radioterapi 35 kali.
Dia juga mencoba mencari tahu lebih banyak soal kanker payudara pada pria. Termasuk dalam komunitas penyintas dan pasien di Indonesian Cancer Information & Support Center (CISC).
Advertisement
Sempat Ingin Hentikan Pengobatan
Seluruh pengobatan yang ia terima juga berpengaruh pada kehidupan Wielly. Termasuk pada keluarganya.
"Kayak roller coaster. Keluarga juga harus mengerti kondisi pasien."
"Jadi kadang ada saat mereka mungkin kurang mengerti. Untuk makan terkadang tidak bisa, muntah lagi, muntah lagi. Sedangkan dari keluarga kadang dipaksa harus makan. Jadi mungkin mereka harus mengerti pasien juga," ujarnya.
Kondisi psikologis yang sempat turun karena pengobatan yang berat membuatnya berpikir untuk pasrah dan mati saja. Namun, kehadiran sang anak yang saat itu baru berusia dua tahun membuat gairah hidupnya bangkit dan tetap melanjutkan pengobatan.
"Total hampir dua tahun lebih saya pengobatan sampai selesai," katanya.
Ubah Gaya hidup Setelah Sembuh
Selama dua tahun itu, Wielly juga diistirahatkan dari pekerjaannya. Untunglah sang istri bekerja di bank. Sehingga kebutuhan sehari-hari keluarganya masih bisa dipenuhi.
"Untuk pengobatan karena saya ditangani dari tim medis perusahaan, jadi ditangani untuk masalah biayanya."
Di Juni 2015, Wielly pun dinyatakan bersih dari kanker. Namun bukan berarti pemeriksaan selesai begitu saja. Dia tetap rutin melakukan cek setahun sekali sampai di awal 2018, dia dinyatakan sembuh dan remisi obat.
Wielly mengaku bahwa kejadian itu mengubah kehidupannya. Dia berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol. Selain itu, dia juga lebih aktif bergerak.
"Cukup sederhana, tidak perlu olahraga berat. Cukup jalan pagi 30 menit sehari," katanya. Untuk makan, Wielly mengakui bahwa saat ini dia lebih banyak mengonsumsi sayur-sayuran dan ikan.
"Soda sudah berkurang, alkohol juga sudah tidak lagi."
Advertisement