Liputan6.com, Jakarta Para pecinta film Indonesia saat ini sedang dihebohkan dengan kemunculan film superhero bernunsa lokal, Gundala. Karakter pahlawan super karya Harya Suraminata atau Hasmi ini akhirnya diangkat ke layar lebar oleh sutradara Joko Anwar, setelah sebelumnya pernah dibesut menjadi sebuah film pada 1981.
Setiap melihat karakter Gundala, pikiran saya melayang ke tanggal 5 Mei 2016, di mana saya bertemu dengan sang penulis tokoh untuk pertama kalinya. Waktu itu, saya hanya seorang mahasiswa yang tengah mencari narasumber untuk tugas penulisan naskah feature dari kampus.
Baca Juga
Saya sempat kesulitan menemukan rumah beliau yang terletak di sekitar Jalan Magelang, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya tidak menyangka bahwa rumah pencipta Gundala dan Maza ini berada di sebuah gang kecil di samping sebuah masjid, yang bahkan tak bisa dimasuki oleh motor. Itupun statusnya adalah kontrak.
Advertisement
Hari itu, Hasmi menyambut saya. Rambutnya telah memutih, gondrong, dan dia keluar mengenakan sarung. Di awal pembicaraan kami, dia sempat memprotes kesalahan sebuah media cetak dalam menuliskan namanya menjadi "Suryaminata."
"'Kalau 'Harya' pakai 'Y', sedangkan 'Suraminata' bukan 'Suryaminata,'" katanya pada saya.
Kepada saya, pria yang berpulang pada 6 November 2016 itu sempat menceritakan tentang bagaimana awal dia membuat Gundala. Dirinya mengaku sudah suka menggambar komik sejak kecil.
"Buku gambarnya sangat sederhana dulu. Dari kelas 6 (SD) sampai SMP. Kemudian SMA, saya pegang majalah dinding, lalu saya masuk ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) jurusan ilustrasi, gambar komik, kemudian terbit, ya sudah berhenti sekolah," katanya saat itu.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Gundala
Hasmi mengatakan, komik pertamanya sesungguhnya bertemakan silat. Suatu hari, sebuah penerbit memintanya untuk menggambar cerita seperti Hercules dan Tarzan. Kala itu, dia menciptakan Maza sang Penakluk.
Setelah menggambar beberapa jilid, dia datang dengan ide sebuah pahlawan super yaitu Gundala. Dalam banyak wawancara di media, dia mengatakan bahwa karakter tersebut terinspirasi dari Ki Ageng Selo, namun pada saya waktu itu, dia juga mengungkapkan salah satu inspirasi lainnya datang dari superhero DC Comics, The Flash.
"Bukan mirip, kalau mirip malah salah, yang benar terinspirasi. Kalau mirip, mirip apanya, wong warnanya jelas beda. Kalau mirip (The Flash) bisa lari cepat, Gundala tidak bisa lari cepat, tapi kalau terinspirasi, iya."
Setelah menggambar untuk 23 judul cerita, pada 1981, Hasmi yang sedang dalam proses mengerjakan Gundala dalam cerita "Surat dari Akhirat" direkrut oleh sahabatnya, Wid NS, pencipta tokoh Aquanus yang mendapat tawaran membuat komik figuratif Soeharto.
"Kemudian Mas Wid merekrut beberapa teman, termasuk saya. Ceritanya mengenai serangan umum Jogja Kembali," katanya.
Namun, konsep yang ditawarkan Presiden Soeharto saat itu berbeda dengan gagasan Hasmi dan tim, sehingga dirinya tetap menggambar sesuai apa yang dia ketahui selama ini. Naskah tersebut pun mendapat banyak revisi meski sudah diselesaikan.
Advertisement
Usai Komik Gundala Berakhir
Di sela-sela pembicaraan kami, sang istri, Mujiati datang membawakan teh. Seperti orang Jawa pada umumnya, saya sempat merasa tidak enak hati, khawatir merepotkan tuan rumah.
Namun dengan sangat ramah pasangan suami-istri itu mempersilakan saya menikmati minuman.
"Tidak masalah, biasa kalau ada tamu," kata Hasmi saat itu.
"Diminum, Mas," kata Mujiati.
Hasmi melanjutkan bertutur, pembuatan komik figuratif tersebut memakan waktu hingga setahun. Inilah yang membuat komik asli Gundala berhenti terbit tahun 1982 dan hanya sempat dilanjutkan hingga episode keenam oleh penerbit.
"Waktu itu kenapa (tidak dilanjutkan) penerbit banyak sekali (faktor) yang tidak ada. Komikus juga lalu tidak ada, tidak aktif," ujarnya.
Usai berakhirnya komik Gundala, Hasmi bekerja sebagai penulis skenario film, ilustrator di berbagai majalah dan buku pelajaran, terlibat dalam pergelaran teater, bermain film, dan berbagai kegiatan dalam bidang seni.
Hasmi dan Keluarga
Beberapa bulan jelang tutup usia, pria kelahiran 25 Desember 1946 itu sempat bercerita pada saya tentang keluarganya.
Hal ini pernah saya tuliskan dalam sebuah buku kompilasi berjudul "Kisah dari Jogja: Banyak Nama Ragam Cerita" yang diterbitkan oleh penerbit Pohon Cahaya secara terbatas tahun 2016.
Dia menikahi sang istri, Mujiati, di usia 52 tahun. Ketika saya bertanya apa alasannya, dia hanya terkekeh dan mengatakan: "Ya, ndak laku aja."
Keduanya pun memiliki keyakinan yang berbeda. Meski begitu, ikatan pernikahan mereka tak pernah putus hingga sang maestro menutup mata. Mereka dikaruniai dua orang buah hati, Ainun Anggita Mukti dan Batari Sekar Dewangga.
Bagi Hasmi, keluarga adalah motivasi terkuat dalam hidupnya. Dia merasa jika keinginan mereka terpenuhi, ada kebahagiaan yang muncul dalam dirinya.
"Apa yang dibutuhkan anak, saya berusaha mewujudkan. Terutama yang kaitannya dengan masalah materi. Dengan catatan yang masuk akal," katanya pada waktu itu.
Advertisement
Keinginan yang Belum Terwujud
Saya ingat pertanyaan terakhir saya pada beliau. Tentang apa yang diinginkannya namun belum tersampaikan hingga saat itu. Hasmi mengatakan bahwa dia ingin punya rumah sendiri yang tidak mengontrak, dengan bagian dalam serta halaman yang luas.
Pada November 2016, saya pulang ke kos dengan tangan bengkak usai mencoba mematahkan kikir besi demi naik sabuk perguruan wushu. Ketika membuka media daring, saya mendapat kabar duka itu. Hasmi wafat.
Saya ingat pertemuan terakhir saya dengan beliau. Saat itu bulan puasa. Saya mengantarkan buku yang berisikan tentang dirinya, karya saya dan teman-teman sekelas. Waktu itu, dia menawari saya untuk singgah dan berbuka puasa bersama.
Sayang, saya ada kegiatan lain sehingga terpaksa menolaknya. Suatu penolakan yang saya sesali hingga saat ini.
Pikiran saya melayang kembali ke masa sekarang, 2019, di mana orang-orang membicarakan tentang film Gundala yang diperankan oleh Abimana Aryasatya. Di situlah saya juga merasa beruntung pernah bertemu dengan Hasmi. Tanpanya, tentu publik Tanah Air tak akan pernah memiliki dan menikmati sosok pahlawan super seperti Gundala.
Jadi, setiap saya melihat Gundala, bukan sosok Joko Anwar, Sancaka, atau Abimana yang terpikir oleh saya. Yang selalu terlintas di benak adalah Harya Suraminata. Karena di pertemuan singkat itulah, saya belajar banyak darinya. Tentang komik Indonesia, tentang Gundala, keluarga, dan tentang cinta.