Liputan6.com, Jakarta Edukasi terkait masalah kesehatan jiwa tidak hanya bisa dimulai dari lingkungan keluarga. Sekolah juga bisa berperan dalam memerangi gangguan-gangguan seperti depresi yang mungkin saja dialami oleh anak dan remaja.
Selain untuk menghindari stigma, edukasi mengenai kesehatan jiwa perlu dilakukan agar anak mampu mengenali kondisi gangguan kesehatan jiwa yang mungkin ia dan orang lain alami.
Baca Juga
Dalam temu media terkait Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2019 Senin lalu, dokter spesialis kedokteran jiwa Agung Frijanto mengatakan bahwa upaya yang bersifat promosi bisa disesuaikan dengan tahap perkembangan usia anak. Mereka yang berada di sekolah dasar dan yang memasuki usia remaja jelas memiliki pendekatan yang berbeda.
Advertisement
"Kalau anak-anak SD kita lebih banyak berdialog dengan guru-gurunya, soal bagaimana melihat, mencermati, dan mendiagnosis secara dini, perubahan perilaku seorang anak yang diduga mengalami gangguan cemas atau depresi misalnya akibat bullying atau hiperaktif," kata Agung di Jakarta, ditulis Rabu (9/10/2019)
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
Edukasi Langsung Bisa Dilakukan di Masa Remaja
Agung, dokter yang juga Sekretaris Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia ini mengatakan bahwa anak yang mengalami masalah kejiwaan sering dicap sebagai anak nakal. Padahal sesungguhnya ia membutuhkan penanganan medis.
Maka dari itu, guru dan orangtua juga perlu untuk mendapatkan pemahaman mengenai masalah gangguan kejiwaan pada anak.
"Paling tidak ini yang kita berikan pemahaman pada orangtua dan guru untuk mendeteksi dini."Â
Sementara itu, di masa remaja, barulah edukasi mengenai masalah kesehatan jiwa bisa diberikan kepada anak secara langsung
"Kita bisa lakukan upaya deteksi dini sesama teman, jika ada perubahan perilaku dari teman-temannya, perasaan gambaran depresi dan sebagainya, itu biasa kita bagikan instrumen-instrumen sederhana baik pada guru maupun pada siswa itu sendiri," kata Agung.
Advertisement