Sukses

Pendayagunaan Dokter Spesialis Bukan untuk Program Jangka Panjang

Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS) dinilai tidak bisa dijadikan program jangka panjang.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto menanggapi keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang dicabutnya Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS).

Keputusan MA Nomor 25 P/HUM/2018 yang ditetapkan pada Selasa, 18 Desember 2018 berisi dokter spesialis tidak wajib lagi ditugaskan ke pelosok. 

Istilah 'wajib' pun dihapus karena dianggap 'kerja paksa.' Seiring dikeluarkannya pembatalan, Kementerian Kesehatan tetap melanjutkan program dokter spesialis, yang mana berubah nama menjadi Pendayagunaan Dokter Spesialis (PDS). 

Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 mengenai Pendayagunaan Dokter Spesialis pun hadir dan ditetapkan Mei 2019. Kini, program dokter spesialis bersifat sukarela.

"Soal keputusan MA, kan masalah 'wajib' dianggap kerja paksa sehingga dicabut. Tapi kan roh (dokter) itu kita harus (tetap) melayani (masyarakat). Makanya, harus dibuat sebuah program lain, yang isinya tidak memaksa, tapi mendorong dokter-dokter spesialis mau bekerja di daerah (pelosok)," kata Terawan saat ditemui di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, ditulis Kamis (7/11/2019).

"Programnya itu Pendayagunaan Dokter Spesialis. Dalam program itu, ada hal-hal yang membuat beliau (dokter) akan tertarik. Isinya detil bisa dibaca."

Simak Video Menarik Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Tidak Bisa Dijadikan Program Jangka Panjang

Terkait program Pendayagunaan Dokter Spesialis, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih berpendapat, PDS tidak bisa dijadikan program jangka panjang.

Program PDS hanya sebagai program pemancing atau pemicu untuk pemerintah daerah.

"Untuk jangka panjang, program Pendayagunaan Dokter Spesialis sebenarnya hanya program pemancing atau pemicu saja. Sebenarnya, pemerintah harus punya skema cara mendistribusikan dokter. Dalam hal ini, pemerintah daerah ya," terang Daeng saat diwawancarai Health Liputan6.com di Kantor PB IDI, Jakarta pada Senin (4/11/2019).

"Nyatanya, skema itu belum ada. Pemenuhan kebutuhan dokter merupakan tanggung jawab pemerintah. Kita dorong untuk membuat kebijakan skema pendistribusian dokter."

Pemenuhan kebutuhan dokter juga termasuk kewajiban pemerintah daerah. Organisasi profesi, seperti IDI bisa membantu, tapi bukan berada di garda depan. Yang berada di depan  pemerintah daerah. 

"Pemerintah daerah belum memiliki skema pendistribusian dokter. Saya pikir, cenderung terlalu mengandalkan pemerintah pusat. Ini enggak terlalu bagus karena pemerintah pusat urusannya banyak," lanjut Daeng.

"Urusan yang ada di bidang kesehatan adalah urusan yang diotonomikan, bukan (semata-mata) urusan di pusat."

3 dari 3 halaman

Dorong Pemda Buat Skema Distribusi Dokter

Daeng menyarankan, pemerintah pusat semestinya mendorong pemerintah daerah untuk membuat skema kebijakan pemerataan distribusi dokter. Awalnya, mungkin didorong kepada seluruh pemerintah daerah memiliki pemetaan. 

"Pada tahu enggak di Papua seperti apa pemetaan dokter. Berapa jumlah dokter, perawat, tenaga kesehatan lainnya. Kemudian berapa jumlah dokter umum, dokter spesialis, serta apa saja kebutuhan yang diperlukan," ujarnya.

"Saya khawatir, pemetaan itu mungkin semua daerah enggak punya. Bagaimana merencanakan pemerataan dokter spesialis, skema kebijakan distribusi dokter saja tidak ada.  Pemerintah pusat sudah bagus punya program PDS dan Nusantara sehat. Sebuah upaya yang luar biasa. Sekarang kita berpikir bagaimana skema jangka panjangnya."

Oleh karena itu, pemerintah daerah didorong memiliki skema kebijakan distribusi dokter. IDI akan bantu membuat skema, tegas Daeng, namun pemerintah daerahlah yang harus punya keinginan untuk membuat skema distribusi dokter di daerah masing-masing.