Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo memberikan gelar Pahlawan Nasional pada beberapa tokoh di Istana Negara pada Jumat lalu, jelang Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November. Salah satunya adalah seorang dokter yang namanya diabadikan sebagai sebuah nama rumah sakit di Yogyakarta, Sardjito.
Dikutip dari Merdeka.com pada Minggu (10/11/2019), Dr. Sardjito lahir di Kabupaten Magetan, Jawa Timur pada 13 Agustus 1981. Dia menempuh pendidikan dokter di STOVIA Jakarta dan Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam.
Baca Juga
Dalam sebuah pameran di Balairung Universitas Gajah Mada (UGM) pada awal tahun lalu, Rektor UGM Panut Mulyono mengungkapkan bahwa Sardjito memiliki dedikasi besar bagi bangsa di bidang penelitian kesehatan dan pendidikan.
Advertisement
"Perjuangan beliau di bidang pendidikan sangat luar biasa, dan melaluinya kemudian muncul tokoh-tokoh di bidang sains, teknologi, seni dan bidang lainnya yang dihasilkan oleh UGM yang berperan besar melanjutkan perjuangan mencapai kesejahteraan Indonesia," kata Panut pada saat itu.
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
Membuat Biskuit untuk Pejuang
Di bidang kesehatan, Sardjito banyak melakukan penelitian terkait berbagai penyakit. Salah satu hasil dedikasinya adalah obat batu ginjal Calcusol.
Dikutip dari News Liputan6.com, Sardjito juga pernah membantu pejuang kemerdekaan di bidang medis. Selain menyediakan obat-obatan dan vitamin di medan perang. Sardjito juga membuat biskuit bagi para tentara Indonesia yang saat itu sedang berjuang.
"Prof Sardjito pernah ikut perang juga ya, artinya membantu tentara-tentara yang berperang. Yang sangat terkenal itu kan biskuit Sardjito," ujar Panut pada Jumat (8/11/2019).
Makanan yang dikenal dengan nama Biskuit Sarjito ini memiliki formula khusus sehingga bisa menahan lapar dan mengisi energi yang cukup bagi para pejuang di kala itu.
Advertisement
Aksi Mengamankan Vaksin Cacar dari Bandung
Ketika Sardjito menjabat sebagai Kepala Laboratorium Pasteur, Bandung, terjadi peristiwa yang dikenal dengan nama Bandung Lautan Api. Ia segera mengamankan vaksin cacar yang saat itu sedang dikembangkan oleh Institut Pasteur dari tangan Jepang dan sekutu. Caranya pun unik, ia menggunakan kerbau sebagai wadahnya.
Sardjito menorehkan vaksin cacar itu ke dalam tubuh hewan tersebut. Kerbau itu lalu dibawa dari Bandung sampai Klaten. Sampai di tujuan, hewan ini disembelih, diambil limpanya untuk kembali memperoleh vaksin tersebut.
"Mungkin wadahnya itu takut ketahuan di jalan oleh pemerintah Belanda atau Jepang yang saat itu. Sehingga (vaksin cacarnya) disuntikkan di kerbau, nanti setelah sampai Klaten itu vaksinnya diambil lagi," kata Panut.
Sardjito juga sempat menjadi dua rektor dari dua universitas terbesar di Yogyakarta, yang juga sekaligus menjadi dua warisannya di bidang pendidikan Indonesia hingga saat ini. Di 1950 sampai 1961, dia diangkat sebagai pertama UGM. Selanjutnya, di tahun 1964 sampai 1970, dia menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia.
Pada 5 Mei 1970, Sardjito wafat di usianya yang ke 80. Sang cucu, Dyani Poedjioetomo, ketika penganugerahan gelar pahlawan beberapa waktu lalu mengatakan, sang kakek selalu menekankan pentingnya berbagi dengan mereka yang membutuhkan.
"Sebetulnya beliau punya motto, 'Dengan memberi, kami menjadi kaya. Maksudnya kita jangan segan-segan memberi, karena itu akan membuat kita lebih kaya," kata Dyani di Istana Kepresidenan Jakarta.