Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Terawan Agus Putranto menawarkan kerokan dan pijat Mak Erot untuk 'dijual' ke wisatawan asing agar mau ke Indonesia.
Menurut dokter Terawan, kalau negara lain menjual bekam atau terapi-terapi aneh dan unik lainnya, kenapa Indonesia tidak menjual kerokan?
Baca Juga
"Coba kita ke Thailand, terapi dengan lebah segala ada," kata Menkes di acara peluncuran Katalog Wisata Kesehatan dan Skenario Perjalanan Wisata Kebugaran di Hotel Indonesia, Jakarta pada Selasa, 19 November 2019.Â
Advertisement
Baca juga:Â Kembangkan Wisata Kesehatan, Menkes Tawarkan Metode Mak Erot dan Kerokan
Kerokan, lanjut Terawan, adalah 'barang' unik kepunyaan bangsa Indonesia yang bisa dikembangkan guna meningkatkan devisa negara.
Oleh sebab itu, bukan tidak mungkin kerokan menjadi salah satu aspek wisata kesehatan yang akan direalisasikan.
"Ya, dong, bisa direalisasikan," kata Terawan menjawab pertanyaan awak media perihal kemungkinan rencana ini direalisasikan.
Â
Menkes, Kerokan Harus Direalisasikan
Lebih lanjut Menkes Terawan mengatakan, orang Indonesia mungkin malu dan merasa kerokan tidak elit buat dijual. Akan tetapi tidak untuk wisatawan asing.
"Tidak elit menurut kita, tapi buat orang luar, kok itu bisa diwarna-warnai? Mereka carinya tato, ini tato sementara pakai kerokan," ujarnya.
Â
Advertisement
Kerokan Bisa Menjadi Daya Tarik
Terawan meyakini bahwa kerokan bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara. Bahkan, kalau ini dikembangkan, Terawan memprediksi nilai pendapatannya bisa besar.
"Bayangkan kalau kamu menyiapkan 100 bed dan (hitung) per menitnya berapa. Kalau kerok (selama) 20 menit, kalikan saja," katanya.
Terawan mengatakan jangan melihat ini sesuatu yang kecil, "Suatu saat kalau kamu bikin usaha begitu, itu bisa menarik sehingga namanya bisa diganti menjadi pembuatan tato sehat."
Dalam kesempatan itu, pewarta menanyakan perihal kerokan yang oleh para tenaga medis dilarang untuk dilakukan karena memberikan dampak negatif untuk kesehatan.
"Alasannya, karena mungkin dia belum baca literatur, sementara literaturnya banyak," tutup Terawan.