Liputan6.com, Jakarta - Pengalaman seru sekaligus mendebarkan dialami Fanni Imaniar di Hari Guru Nasional 2019 pada Senin, 25 November 2019.
Pembawa berita di salah satu televisi swasta yang bermarkas di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan ini merasakan peran menjadi seorang guru.
Baca Juga
Fanni menjelma sebagai guru untuk dua jam di sekolah Al-Muallafah, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, yang juga menjadi tempat bagi kedua putrinya bersekolah.
Advertisement
"Anakku playgroup, ada kelas TK A dan TK B. Semua kelas masing-masing mengirimkan perwakilannya dua orang untuk jadi guru," kata Fanni saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon.
Fanni bersama satu orangtua murid yang juga menjadi perwakilan untuk mengajar sebagai guru harus melakukan pengundian terlebih dahulu guna menentukan kelas mana yang anak-anaknya akan mereka ajari.
Tentu saja Fanni tidak boleh mengajar di TK A dan TK B. "Anakku di sana, jadi tidak boleh mengajar di dua kelas itu," ujarnya.
Sekolah anak gue kepikiran aja bikin program di Hari Guru tahun ini, yang di akhir hari, bikin kita semua merenung.Jadi selama dua jam di hari ini, perwakilan orang tua murid menggantikan peran guru untuk mengajar anak anak. pic.twitter.com/PNf3bzNAAR
— Fanni Imaniar (@fnimaniar) November 25, 2019
Menjadi Guru untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Berdasarkan hasil pengundian, Fanni mendapat kesempatan mengajar di kelas inklusi dengan jumlah murid sebanyak tiga orang anak yang berkebutuhan khusus.
Mendapat kesempatan mengajar di kelas dengan anak berkebutuhan khusus (ABK), membuat Fanni harus mempersiapkan bahan mengajar yang berbeda dengan orangtua murid di kelas lain.
“Jadi, kita ngajar dari pukul 08.00 sampai pukul 10.00, karena inklusi beda penanganannya sama anak biasa. Misalnya, teman-temanku yang di TK B sama di TK A mereka bisa menyiapkan presentasi power point. Cuma kalau inklusi, anak-anak berkebutuhan khusus kan punya treatment yang berbeda, jadi kita pakai prakarya,” kata Fanni
Dengan prakarya, kata Fanni, dapat melatih motorik kasar dan halus mereka.
“Motorik halus mereka sih lebih tepatnya. Tadi nempel-nempelin hewan di habitatnya masing-masing. Misalnya, hewan apa yang hidupnya di padang rumput, tundra, laut, gurun, dan ada hutan hujan juga” Fanni bercerita.
Sebagai orangtua yang tidak mempunyai pengalaman mengajar, Fanni cukup merasa kesulitan dan khawatir saat harus menjalankan peran sebagai guru. Terlebih untuk mengajar ABK yang sewaktu-waktu bisa tantrum.
“Okelah kita orangtua, mendidik anak sebagai anak di rumah. Tapi kita bukan pengajar, kita tidak punya background sebagai pengajar. Apalagi mengajar anak berkebutuhan khusus dan bagaimana harus menangani mereka ketika mereka tantrum. Terus apa yang bisa kita lakukan ketika mereka tidak fokus, jadi kayak tadi, misalnya kita tegur takutnya kita kelewatan batas, tapi tadi anak-anak nggak tantrum loh” ujarnya.
Advertisement
Yang Dirasakan Setelah Menjadi Guru untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Mengajar anak dengan kebutuhan khusus, Fanni jadi lebih mengetahui dan belajar tentang tipe-tipe dan cara menghadapi anak-anak spesial tersebut.
“Ada lagi anak yang susah memfokuskan dirinya, jadi mau tidak mau kita ajak ngobrol terus biar dia tidak melamun. Terus di tengah-tengah prakarya ada yang minta makan jadi kita kasih makan kita bantu suapin. Habis itu setelah makan, fokus mereka bergeser dan tidak mau melanjutkan prakarya lagi, baru selesai empat sisa satu, mereka tidak mau meneruskan, diajak main bola aja yuk,” ujar Fanni.
Mendapat peran menjadi guru selama dua jam membuat Fanni prihatin dengan profesi guru yang hak-haknya masih belum dipenuhi dan tidak sebanding dengan beratnya kewajiban yang harus dijalani.
“Menjadi seorang guru itu underappreciated sih. Dengan tugas seberat itu, taruhannya besar banget untuk mendidik seorang anak untuk menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara tapi honor mereka, apresiasi dari materi dan immateri, dan support masih kurang,” katanya.
Penulis: Winda Nelfira