Sukses

Pertama di Dunia, Bank Sperma di Selandia Baru Terima Pendonor dengan HIV

Selandia Baru resmi memiliki layanan bank sperma bagi para pendonor yang positif HIV yang pertama di dunia

Liputan6.com, Jakarta Selandia Baru membuka bank sperma untuk para pendonor yang positif HIV sebagai kampanye Hari AIDS Sedunia yang akan jatuh pada 1 Desember. Ini merupakan layanan pertama di dunia.

Bank sperma tersebut didirikan oleh beberapa yayasan yang ada di Selandia Baru dan resmi dibuka pada Selasa kemarin. Mereka menyatakan, hal itu bertujuan untuk memberikan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) kesempatan untuk menciptakan kehidupan serta menghapus stigma penyakit ini.

Setidaknya sudah ada tiga pendonor pria yang bergabung dalam program ini. Viral load mereka hampir tidak terdeteksi karena pengobatan antiretroviral yang telah ketiganya lakukan.

Mengutip New York Post pada Kamis (28/11/2019), salah satu pendonor Damien Rule-Neal, mengatakan bahwa ada dasar ilmiah yang menyatakan bahwa pengobatan bisa membuat HIV tidak menular.

"Saya telah memiliki banyak teman perempuan dengan HIV yang memiliki anak. Ini menunjukkan bahwa sains dan pengobatan telah memberi kita kemampuan itu lagi," kata Damien yang didagnosis AIDS 20 tahun lalu dan telah memiliki dua anak dan tiga cucu.

Simak juga Video Menarik Berikut Ini

2 dari 2 halaman

Pemahaman Publik dan Stigma

Damian mengatakan bahwa masih banyak masyarakat Selandia Baru yang kurang memahami status tidak terdeteksi pada ODHA.

"Mampu membantu orang lain dalam perjalanan mereka sangat bermanfaat, tetapi saya juga ingin menunjukkan pada dunia bahwa hidup tidak berhenti pasca-diagnosis dan membantu menghapus stigma," kata Damian dikutip dari The Guardian.

Layanan bank sperma daring ini nantinya akan mencari para pendonor yang positif HIV, namun melakukan pengobatan dengan baik sehingga virus tidak akan menular.

"Saya gembira mengatakan bahwa saat ini sudah ada perubahan besar dalam pemahaman publik mengenai HIV, tetapi masih banyak ODHA yang mengalami stigma," kata dokter penyakit menular dan profesor di Auckland University, Mark Thomas.

Menurut Thomas, stigma bisa membuat perawatan menjadi tidak baik sehingga pengobatan menjadi kurang efektif. Selain itu, hal itu juga bisa menimbulkan risiko penularan. Ini juga membuat orang yang berisiko takut untuk menjalani tes.