Liputan6.com, Jakarta Korban pedofil berinisial T (12) asal Kota Padang, Sumatera Barat, harus berjuang melawan kanker rektum stadium 4. Pelecehan seksual dialami T sejak ia berjualan gorengan membantu sang nenek pada Maret 2018. Pelaku pun mengancam T agar tidak menceritakan kepada siapapun.
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menanggapi kasus pedofil tersebut. Dari segi hukuman, pelaku pedofil tidak hanya mendapatkan hukuman berat, melainkan kebiri kimiawi.
Advertisement
"Yang pasti pelaku pedofil harus diberlakukan hukuman berat, bahkan maksimal. Dilengkapi dengan kebiri kimiawi sebagai bentuk rehabilitasi. Bukan kebiri sebagai pemberatan sanksi ya,"Â kata Reza kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Jumat (29/11/2019).
Kebiri kimiawi adalah penyuntikan zat anti-testosteron ke tubuh pria untuk menurunkan kadar hormon testosteron. Hormon testosteron berpengaruh pada fungsi seksual. Ketika zat anti-testosteron masuk ke dalam tubuh, gairah seksual akan menurun.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Ganti Rugi pada Korban
Agar pelaku jera, upaya mengekspos identitas pelaku bisa dilakukan. Ini bertujuan residivisme (kecenderungan untuk mengulangi perbuatan) pelaku bisa ditekan.
Dari segi korban, Reza menambahkan, korban berhak memeroleh ganti rugi dari pelaku. Adik T kini membutuhkan biaya perawatan dan pengobatan kanker rektum stadium 4 yang besar. Apalagi orangtua T bekerja sebagai buruh dengan penghasilan pas-pasan.
Saat ini, T memerlukan biaya sekitar Rp500.000.000 untuk perawatan paliatif demi bertahan hidup.
"Korban memeroleh restitusi (ganti rugi dari pelaku). Jika pelaku tidak mampu, restitusi dialihkan menjadi kompensasi (ganti rugi oleh negara). Pengurusannya mulai dari tingkat penyidikan. Otoritas penegakan hukum juga perlu membaca Peraturan Pemerintah Restitusi," tegas Reza, yang juga sebagai Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak di Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Tak hanya itu saja, korban perlu dihindari dari trauma sekunder akibat tindakan pelecehan seksual yang tidak ramah anak. Jauhkan juga stigmatisasi dan diskriminasi terhadap anak.
Advertisement