Sukses

Paru-paru Ikut Meradang Saat Bergulat dengan Sel Kanker

Melawan sel kanker pada paru-paru, organ pernapasan tersebut rupanya ikut meradang.

Liputan6.com, Jakarta Pergulatan melawan sel kanker pada paru-paru, organ pernapasan ini rupanya ikut meradang. Ya, meradang dalam arti sebenarnya. Peradangan yang terjadi termasuk efek samping dari pengobatan terapi imun atau yang dikenal imunoterapi. Ada dua obat yang digunakan pada imunoterapi kanker paru, yaitu pembrolizumab dan atezolizumab.

Melalui wawancara khusus dengan Health Liputan6.com, dokter spesialis penyakit dalam, hematologi dan onkologi medik, Ralph Girson Gunarsa menjelaskan, saat tubuh dimasukkan obat imunoterapi, sistem imun yang kompleks akan diperkuat untuk melawan sel kanker.

Kondisi tersebut memengaruhi sistem imun pada jaringan paru-paru yang sehat. Bukan lokasi yang mana sel kanker berada. Artinya, peradangan terjadi pada jaringan paru yang sehat.

“Efek samping dari obat imunoterapi yang pasti menyerang sistem imun juga. Tidak ada obat (kanker) yang seratus persen tanpa efek samping. Pasien akan mengalami peradangan. Tapi peradangannya pada organ tubuh yang sehat,” jelas Gunarsa, yang ditemui di ruang praktiknya di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, Jakarta, dengan sorot mata tajam.

“Jaringan paru-paru sehat yang meradang, istilah medisnya pneumonitis. Kalau terjadi infeksi disebutnya pneumonia. Setiap pasien kanker paru yang menjalani imunoterapi bisa saja mengalami pneumonitis.

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

2 dari 6 halaman

Peradangan dan Reaksi Obat Imunoterapi

Penyebab peradangan dari efek obat imunoterapi bukan dikarenakan sistem imun ‘beradaptasi’ atau kalah serang melawan sel kanker. Hal ini mungkin pada jaringan paru yang sehat terdapat inhibitor PD-1 (yang menempel pada sel imun) dan PD-L1 (yang menempel pada sel kanker). Kedua antigen itu dapat menangkap reaksi obat imunoterapi.

“Nah, bagaimana kaitan efek samping obat imunoterapi dan sistem imun? Imunoterapi merangsang sel tubuh kita semakin kuat daya tahan tubuh terhadap sel kanker. Agar sistem imun mampu menetralisir sel kanker,” Gunarsa menerangkan, yang diikuti gambaran tulisan tangan di selembar kertas putih.

“Apa mau dikata, mungkin jaringan sehat pada paru-paru juga mempunyai kadar PD-1 dan PD-L1. Kita tidak tahu juga kan jaringan yang tubuh yang sehat ternyata ada kedua inhibitor tersebut.”

Berdasarkan National Cancer Institute, Targeted cancer therapies, terjadi interaksi inhibitor PD-L1 pada sel kanker terhadap sel T pada sel imun. Interaksi ini mencegah sel imun menghancurkan sel kanker. Inhibitor yang mungkin ada pada jaringan paru sehat tersebut ikut menangkap obat imunoterapi untuk memperkuat sistem imun. Peradangan karena sistem imun berlebihan bisa terjadi.

Gejala pneumonitis biasanya orang susah bernapas. Rasa sesak napas layaknya terkena infeksi paru. Tatkala terjadi peradangan, dokter juga sigap memahami tindakan yang akan diberikan. Setiap perkembangan pasien, dokter spesialis penyakit dalam melihat seberapa besar efek samping obat imunoterapi dan gejala yang ditimbulkan.

“Tergantung pasien yang merasakannya. Karena tiap pasien punya efek samping yang beda juga saat obat imunoterapi. Saat peradangan pada paru-paru biasanya diberikan obat anti peradangan. Untuk penanganan sistem imun, ada pasien yang diberikan obat steroid,” tambah Gunarsa dengan kerut wajah serius.

Meski terjadi sistem imun meningkat, peneliti kanker Ahmad R Utomo menambahkan, interaksi obat imunoterapi pembrolizumab untuk memutus interaksi PD-L1 dan PD-1 sehingga sel imun bisa menyerang sel kanker. Untuk sel kanker sendiri tidak semuanya juga punya ekspresi PD-L1.

Pembrolizumab berperan membangun respons sel imun. Obat ini memang langsung menyasar respons PD-L1. Antibodi juga meningkat, obat imunoterapi ditangkap oleh PD-1.

3 dari 6 halaman

Sel Kanker Mengecil dan Hilang

Dampak sel kanker terhadap imunoterapi memang perlahan-lahan lama-lama mengecil setelah diberikan imunoterapi kira-kira 5-6 siklus, yang mana diberikan tiga kali seminggu. Perkembangan terlihat saat pasien periksa PET Scan.

Sel kanker bisa saja menghilang. Pasien bebas dari kanker paru. Dalam pemeriksaan tersebut, aktivitas sel kanker yang dilihat, seberapa besar ukurannya. Misal, dari ukurannya 8 cm bisa mengecil 2 cm. Dari segi aktivitas, ketinggian skor 10 berubah berkurang menjadi skor 2.

Untuk melihat aktivitas obat terhadap sel kanker bisa terlihat pada selang waktu 12-24 bulan. Artinya, 24 siklus, minimal dua tahun. Akan tetapi, dalam dua tahun dapat terjadi sesuatu pada pasien. Apakah pasien kondisinya membaik atau memburuk.

“Iya, pengobatan kanker kan tidak juga seratus persen berhasil. Pasti ada yang membaik atau memburuk. Biasanya ketika memburuk, pasti akan ditanya, apakah pengobatan imunoterapi mau diteruskan atau tidak. Kondisi yang makin buruk dilihat dari sifat sel kankernya (yang ganas),” tutur Gunarsa, yang sudah lebih dari 10 tahun berkecimpung di dunia kanker.

Ketika ditanya, apakah ada pasien kanker paru yang imunoterapi lalu makin buruk kondisinya. Dengan nada rendah, Gunarsa menjawab, “Ya, pernah ada. Kankernya tidak juga mengecil. Dan akhirnya dia menyerah (berhenti pengobatan).” Sampai sekarang tidak tahu, bagaimana keadaan pasien yang bersangkutan.

4 dari 6 halaman

Obat Perangsang Sel Imun

Senada dengan Gunarsa, Ahmad menyampaikan, respons obat imunoterapi baik. Dilihat dari kategori  respons rate,  sel tumor, misalnya, punya diameter 10 cm. Seiring pemberian obat imunoterapi, lama-lama ukuran tumornya menjadi 1 cm.

“Kalau 10 cm, tapi sudah diberikan imunoterapi masih 10 cm juga ya artinya ukurannya tetap. Artinya, obat imunoterapi tidak efektif. Bisa juga malah ukurannya bertambah menjadi 20 cm,” terang Ahmad yang juga ahli genom kepada Health Liputan6.com pada 11 Desember 2019.

Pada dasarnya, sel kanker terus bermutasi. Penelitian juga sedang dilakukan terkait resistensi imunoterapi sel kanker. Sifat sel kanker yang cerdik ini justru kebal terhadap obat imunoterapi yang diberikan. Untuk menangani pasien yang resisten imunoterapi, ada obat lain, tapi bukan berarti penambahan dosis obat imunoterapi. Dosis obat imunoterapi sudah sesuai dengan standar yang diberikan, tergantung dari jenis dan merek obat.

Agar obat imunoterapi efektif, ada yang perlu diperhatikan tentang jenis obat yang dapat terjadi kontradiksi. Salah satunya obat perangsang sel imun, yang disebut imunomodulator. Imunomodulator adalah obat yang mengandung senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh. Sistem imun akan meningkat. Penggunaan obat ini tidak boleh sembarangan.

“Banyak obat perangsang sistem imun, tapi jangan diberikan kalau tidak perlu ya. Di pasaran juga dijual. Tapi tidak semua obat untuk memperkuat sistem imun ada penelitiannya.  Kami tidak merekomendasikan pasien, terlebih lagi memberikan obat untuk memperkuat imun. Pakai obat ya memang belum ada penelitiannya,” ucap Gunarsa.

“Tapi sebaiknya jangan menggunakan obat bangsa imun dalam kasus pasien kanker paru yang menjalani imunoterapi. Nanti malah memicu makin meningkatkan kekebalan. Peradangan dapat terjadi.”

5 dari 6 halaman

Biaya Mahal tapi Janjikan Kualitas Hidup

Memang tak banyak pasien kanker paru yang menjalani imunoterapi. Untuk data pasien kanker paru yang imunoterapi, Health Liputan6.com kesulitan memerolehnya, baik di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta maupun RS Kanker Dharmais. Sedikit gambaran, di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, sampai saat ini menangani 5-8 kasus.

Kasus yang ditangani tim ahli spesialis penyakit paru konsultan, yang terdiri atas Arif Riswahyudi Hanafi, Sita Laksmi Andarini, dan Achmad Mulawarman Jayusman di atas merupakan pasien kanker paru stadium lanjut dengan ekspresi PD-L1 positif. Kategori pasien pun cocok diberikan imunoterapi.

Selain ditentukan dengan pemeriksaan PD-L1, biaya ikut menjadi pertimbangan. Pasien harus merogoh kocek sendiri untuk pengobatan imunoterapi kanker parunya. Menyentil soal biaya, Gunarsa tidak menjawab kisaran biaya imunoterapi berapa. Ia hanya menyampaikan, sangat mahal.

Dari penelusuran, pasien kanker paru harus mengeluarkan Rp40 juta per bulan untuk pengobatan imunoterapi. Jika ditambah dengan biaya lainnya, sekitar Rp90 juta per bulan yang harus dikeluarkan. Tak heran, pasien juga butuh waktu menimbang-nimbang saat dirinya direkomendasikan cocok menerima imunoterapi.

“Yang menjadi pertimbangan pasien yang akan imunoterapi pastinya biaya. Biayanya mahal. Kalau soal kecemasan, semua orang, terutama pasien kankernya sendiri juga merasakannya. Cemas terhadap penyakitnya. Walaupun begitu imunoterapi sebenarnya lebih nyaman digunakan,” Gunarsa menerangkan sambil tersenyum.

“Pertimbangan efek samping sendiri sampai sekarang tetap bisa diatasi dengan berbagai pengobatan. Jumlah pasien yang saya tangani, baik sedang menjalani terapi dan sudah selesai ada 5-10 pasien.”

6 dari 6 halaman

Bertahan Hidup Lebih Lama

Meski jumlah pasien kanker paru yang imunoterapi sedikit, kualitas hidup pasien membaik. Yang tadinya pasien bertahan 2-3 tahun, imunoterapi bisa memperpanjang hidup. Kira-kira bertahan lima tahun atau lebih. Kuncinya, pembrolizumab untuk pasien kanker paru saat dicek PD-L1 harus lebih tinggi.

Dari data klinis pasien, biasanya ekspresi PD-L1 mencapai 50 persen atau 50-60 persen. Rentang efektivitas imunoterapi terkait kualitas hidup terlihat pada respons survival (respons bertahan hidup).

Respons survival maksudnya yang hidup berapa orang. Artinya, setelah terapi imun, berapa orang yang meninggal dan bertahan hidup. Untuk imunoterapi bisa lebih lama bertahan hidup, antara 3-5 tahun. Kalau tidak imunoterapi ya dua tahun atau kurang,” Ahmad melanjutkan dengan nada pelan dan rendah.

“Tumor yang lama-lama mengecil, bisa membuat pasien bertahan lama. Kira-kira 50 persen pasien juga bertahan hidup setelah diberikan imunoterapi. Beda dengan pasien yang hanya menjalani kemoterapi, hanya 20 persen pasien yang hidup. Pastinya rata-rata pasien yang menjalani imunoterapi tingkat survivor-nya bagus.”

Sejauh pengalaman Gunarsa, para dokter penyakit dalam yang menangani pasien kanker imunoterapi sudah mantap menggunakan obat imunoterapi.

“Kami sudah tahu persentasenya berapa bila pasien menggunakan obat, bagaimana risikonya. Dengan penelitian yang ada ya jadi enggak perlu cemas juga buat orang awam. Karena hasilnya baik membuat pasien bertahan hidup lebih lama. Kalau masih ragu-ragu, silakan konsultasi,” ujar Gunarsa.