Sukses

Diberikan Meski Tak Butuh, Dokter Indonesia Masih Perlu Edukasi Penggunaan Antibiotik

Komite Pengendalian Resistensi Antimikrobial menyatakan, kendala dokter dalam menentukan penyakit karena bakteri adalah kurangnya sarana diagnostik

Liputan6.com, Jakarta Masih banyak dokter di Indonesia yang membutuhkan edukasi lebih lanjut terkait penggunaan antibiotik pada pasien. Hal ini agar tidak terjadi penyalahgunaan di masyarakat dan menimbulkan bakteri resisten.

"Ya (sekitar) 80 persen masih harus dibetulkan," kata Hari Paraton, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikrobial (KPRA) ditemui usai temu media di Jakarta pada Kamis (19/12/2019).

Hari mengatakan bahwa penyalahgunaan antibiotik bisa menyebabkan masyarakat lebih rentan terkena penyakit dari bakteri yang resisten atau kebal. Dalam sebuah studi yang dilihat dari 2002 hingga 2012, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat resistensi tertinggi terhadap antibiotik berjenis Imipenem dengan angka 6 persen.

"Bakteri resisten itu justru terjadi karena kesalahan penggunaan antibiotik, di semua level. Di komunitas, di masyarakat membeli antibiotik sesukanya, menyimpan antibiotik sesukanya, memberikan ke saudaranya yang sakitnya sama," ujar Hari dalam pemaparannya.

Simak juga Video Menarik Berikut Ini

2 dari 2 halaman

Rencana Mengontrol Penggunaan Antibiotik

Hari percaya, hal tersebut bisa jadi karena ketidaktahuan dokter terhadap penyakit. Di sisi lain, ini juga terjadi karena kurangnya sarana diagnostik berupa pelayanan mikrobiologi.

"Misalnya infeksi paru-paru. Bisa bakteri A, B, C, D, itu yang mana. Tiap bakteri antibiotiknya sendiri-sendiri," kata Hari. Sehingga, seringkali pemberian antibiotik juga tidak tepat dan meleset.

Terkait itu, Hari mengungkapkan bahwa Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, bekerja sama dengan beberapa pihak seperti Pfizer Indonesia dan Business Council of International Understanding, sedang menggodok pedoman penatagunaan antibiotik di masyarakat. Sehingga, dokter tidak lagi asal memberikan obat tersebut ke pasiennya.

Salah satu yang akan diatur adalah pedoman penatagunaan antibiotik, termasuk pemberian edukasi bagi para tenaga medis. Hal ini agar dokter tidak salah lagi.

"Secara bertahap bisa melalui organisasi profesinya masing-masing karena beda. Dokter anak, penyakit dalam, paru, jantung, saraf, bedah, punya antibiotik sendiri-sendiri. Bakterinya juga tidak sama," kata Hari.

Karena itu, diharapkan nantinya akan ada penyuluhan dari setiap organisasi profesi kedokteran. Termasuk seminar hingga pertemuan ilmiah.

"Rumah sakitnya secara struktural jadi tanggung jawab kementerian kesehatan untuk memberi pemahaman itu. Termasuk kurikulum," ujarnya.