Sukses

3 dari 10 Anak Disabilitas di Indonesia Tak Pernah Bersekolah

Tiga dari 10 anak disabilitas di Indonesia rupanya tidak pernah mengenyam bangku sekolah.

Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2018, hampir 3 dari 10 anak disabilitas di Indonesia tidak pernah mengenyam pendidikan. Saat ini, anak usia 7-18 tahun dengan disabilitas yang tidak bersekolah mencapai angka hampir 140.000 orang.

Bagi anak disabilitas yang bersekolah pun menunjukkan kesenjangan yang signifikan dalam hal capaian pendidikan. Hanya 56 persen anak disabilitas yang tamat sekolah dasar dibandingkan 95 persen anak bukan disabilitas.

Kesenjangan terus muncul pada tingkat yang lebih tinggi. Sebanyak 26 persen anak disabilitas yang menyelesaikan jenjang SMA dibandingkan 62 persen anak bukan disabilitas.

“Anak disabilitas masih terus kehilangan kesempatan mendapatkan pendidikan. Suatu kesempatan yang amat penting agar mereka dapat mewujudkan potensinya dan mengatasi hambatan-hambatan inklusi,” ujar UNICEF Representative Debora Comini melalui keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Senin (20/1/2020).

“Tanpa sistem pendidikan yang lebih inklusif, kecil kemungkinannya mereka mampu mempelajari pengetahuan dan kecakapan untuk berkembang."

Simak Video Menarik Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kendala Pendidikan Inklusif

UNICEF mengeluarkan rilis survei yang menyoroti ketimpangan besar dalam sebaran penggunaan dana pendidikan di seluruh dunia serta dampak negatif terhadap kehadiran, partisipasi, serta kesempatan belajar anak-anak yang paling membutuhkan dukungan. 

Makalah UNICEF berjudul Addressing the learning crisis: an urgent need to better finance education for the poorest children (Mengatasi krisis belajar: kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pembiayaan pendidikan bagi anak-anak termiskin) menunjukkan, dana pendidikan yang terbatas dan sebaran penggunaannya yang tidak merata mengakibatkan kelas dengan jumlah murid besar, guru yang tidak terlatih, kekurangan bahan ajar, dan prasarana sekolah yang tidak memadai.

Di Indonesia, tantangan mewujudkan pendidikan inklusif meliputi kurangnya pelatihan untuk guru, data yang tidak lengkap untuk anak dengan disabilitas—khususnya yang berada di luar sekolah.

Ada juga pandangan keluarga bahwa anak dengan disabilitas tidak akan merasakan manfaat pendidikan sebesar anak tanpa disabilitas.   

Bagi banyak orang, pendidikan untuk anak disabilitas masih didefinisikan secara sempit dalam lingkup sekolah luar biasa dan bukan pendidikan inklusi di sekolah reguler. Secara umum, pendidikan inklusif untuk anak dengan disabilitas seharusnya dapat mengikuti sekolah reguler yang terdekat dengan rumahnya.

"Mereka jadi bisa belajar bersama anak-anak lain," lanjut Debora.

3 dari 3 halaman

Dukungan UNICEF untuk Anak Disabilitas

UNICEF menyoroti lima perubahan yang harus dicapai untuk melindungi hak semua anak dalam mendapatkan pendidikan dan memberikan dukungan yang memadai, khususnya kepada anak disabilitas.

1. Pemahaman yang lebih baik dan komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif pada semua tingkat pendidikan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peraturan dan kebijakan yang melindungi hak semua anak terhadap pendidikan anak disabilitas serta alokasi anggaran dan sumber daya manusia yang merata.

2. Pendidikan inklusif secara eksplisit disebutkan sebagai topik kunci dalam pengembangan profesi guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah.

3. Pelembagaan prosedur untuk menjaga, mencegah perundungan dan penganiayaan, dan memastikan anak terlindungi yang tersedia di semua sekolah.

4. Ketersediaan dan replikasi model pendidikan inklusif yang efektif dan terbukti berhasil.

5. Perubahan positif dalam sikap pembuat kebijakan, penyedia layanan pendidikan, orang tua, dan masyarakat luas terhadap pemenuhan hak-hak anak dengan disabilitas.

"Dibutuhkan perhatian lebih besar untuk anak-anak ini agar tujuan pendidikan berkualitas yang inklusif dan merata, sebagaimana disebutkan dalam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dapat dicapai," Debora menerangkan.

"Saat semua anak—lepas dari jenis kelamin, suku, latar belakang atau keadaan—sejahtera, kita semua sejahtera. Titik ini adalah momen yang sangat penting bagi Indonesia yang sedang memprioritaskan pengembangan sumber daya manusianya agar mampu bersaing di abad ke-21.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.