Sukses

Soal Temuan Masa Inkubasi COVID-19 hingga 24 Hari, Peneliti Eijkman: Perlu Penelitian Klinis Tersendiri

Peneliti Tiongkok menemukan adanya kasus masa inkubasi COVID-19 hingga 24 hari, hal ini masih membutuhkan penelitian klinis lebih lanjut

Liputan6.com, Jakarta Apabila selama ini virus corona COVID-19 dianggap memiliki masa inkubasi hingga 14 hari, sebuah temuan dari Tiongkok menyatakan bahwa kemungkinan, waktu tersebut bisa mencapai 24 hari.

Zhong Nanshan, epidemiologist, yang bekerja untuk para peneliti di Tiongkok mengatakan bahwa ada pasien ditemukan memiliki masa inkubasi COVID-19  hingga 24 hari. Walaupun begitu, studi ini tidak mengungkapkan berapa orang yang mengalami waktu maksimal tersebut.

Dikutip dari Straits Times pada Kamis (13/2/2020), Nanshan mengungkapkan bahwa rata-rata masa inkubasi adalah tiga hari. Data ini didapatkan dari 1.099 pasien dari 553 rumah sakit di Tiongkok.

Hal ini mendapatkan tanggapan dari Peneliti Senior Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof. David H. Muljono.

"Itu relatif. Penentuan masa inkubasi itu tergantung ahli-ahlinya itu," kata David pada Health Liputan6.com ditemui di Jakarta pada Rabu kemarin.

Simak juga Video Menarik Berikut Ini

2 dari 2 halaman

Perlu Penelitian Klinis Tersendiri

David mencontohkan, dari kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, waktu rata-rata dari terinfeksi hingga mengalami gejala adalah 14 hari.

"Itu ilmu statistik. Biasnya berapa, standar deviasinya berapa, confidence interval-nya berapa, ketahuan semua kan. Itu kurang bisa dipercaya. Itu perlu penelitian klinis sendiri," kata David.

Dr. Michael Ryan, direktur eksekutif WHO's Health Emergencies Programme mengatakan bahwa data semacam ini perlu diperhatikan dengan sangat hati-hati. Dia menambahkan, periode inkubasi yang panjang mungkin juga disebabkan oleh "paparan ganda."

Ryan mengatakan, paparan pertama bisa dianggap menyebabkan infeksi, tetapi ada kemungkinan orang tersebut tidak tertular virus dan mendapatkannya dari paparan kedua di kemudian hari. Hal ini juga mereka temukan pada kasus Ebola.

"Sangat sering ada pencilan (data yang menyimpang jauh dari data lain) dan bisa karena pencatatan paparan. Kita harus benar-benar berhati-hati ketika kita melihat angka pencilan," kata Ryan.