Liputan6.com, Bandung Pasca putusan MA tentang pembatalan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah dalam hal ini BPJS Kesehatan harus mulai menyusun konsep bagaimana teknis pengembalian uang iuran yang sudah terlanjur dibayarkan untuk bulan Januari dan Februari oleh masyarakat.
Caranya melalui regulasi yang dirancang agar aparat di lapangan tidak kebingungan, sehingga terdapat kepastian hukum untuk konsumen.
Baca Juga
Menurut Direktur LBH Konsumen Indonesia Firman Turmantara Endipradja, hal tersebut harus dilakukan pemerintah karena prinsipnya jangan sampai hak-hak konsumen yang sudah membayar iuran dikurangi atau dirugikan. Firman mengatakan namun sebaliknya apabila pemerintah arogan, otoriter dan sewenang - wenang tentunya putusan MA itu akan diabaikan.
Advertisement
“Seperti telah diketahui umum bahwa negara kita adalah negara hukum rechtsstaat atau rule of law, yang bertujuan untuk membatasi penguasa (pemerintah dalam artian luas) dalam bersikap dan bertindak yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu atas rakyatnya,” kata Firman dalam keterangan resminya, Bandung, Selasa, 10 Maret 2020.
Firman menjelaskan doktrin rechtsstaat atau rule of law, hanya bisa tumbuh di negara yang menganut demokrasi. Tanpa negara hukum dan demokrasi yang hadir ucap Firman, yang ada hanyalah paham totaliter, fasis, absolut dan represif.
Nantinya ungkap Firman bila itu terjadi, politik akan menjadi panglima dimana hukum menjadi alat mempertahankan kekuasaan yang tidak sejalan dengan pemerintah. Wujud seperti inilah yang dinamakan negara kekuasaan (machtsstaat).
“Sebetulnya pembuat Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, harus malu sampai MA membatalkan hasil kerjanya atau dibatalkan MA. Maaf, termasuk juga presiden seharusnya malu, karena yang menandatangani produk hukum ini adalah presiden,” ujar Firman.
Artinya lanjut Firman, tidak sedikit peraturan presiden yang bertolak belakang dengan kondisi maupun aspirasi masyarakat. Hal ini bisa dianggap melanggar aspek sosiologis dan aspek filosofis, meskipun dari aspek yuridis sudah benar.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Konsep omnibus law
Dengan dibatalkannya Peraturan Presiden ini ungkap Firman, ternyata bahwa konstruksi hukum di Indonesia sudah terbalik-balik alias crowded. Konsep Omnibus Law juga sudah melenceng dari makna sesungguhnya.
“Konstitusi dilabrak, hukum lingkungan dan tata ruang, hukum pertanahan diterabas, label halal akan dihilangkan, sanksi pidana bagi pelaku usaha akan dihilangkan, hak2 buruh dilanggar, kebebasan pers terusik, hak adat dan lainnya. Dibuatnya peraturan tentang pengenaan sanksi kepada masyarakat yang menunggak iuran dengan tidak melakukan pelayanan publik, sementara pelayanan publik sudah diamanatkan oleh UUD 1945 dan diatur oleh UU Nomor 25 Tahun 2009,” ucap Firman.
Firman menduga saat ini terdapat pemikiran bahwa yang penting produk hukum dibuat dulu, tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi. Nantinya terang Firman, jika ada gugatan dari masyarakat adalah tidak penting karena sudah ada mekanismenya.
Sudut pandang atau pikiran tersebut ungkap Firman, sepertinya menunjukan mengesampingkan aspek profesionalisme. Sistem dan konstruksi hukum menjadi tidak karuan.
“Harapan kita, semoga kondisi ketidakpastian dan kekacauan hukum ini segera berakhir dan kembali kepada mekanisme dan rotasi hukum yang sudah tertuang dalam konstitusi,” jelas Firman.
Advertisement