Sukses

Meniru Korea Selatan, Seberapa Efektif Tes Massal COVID-19 di Indonesia?

Ilmuwan mengungkapkan, untuk mengetes apakah seseorang terinfeksi virus corona COVID-19 adalah menggunakan tes molekuler. Lantas bagaimana dengan Rapid Test

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan instruksi untuk segera mencegah dan mendeteksi awal seseorang terpapar virus corona COVID-19 melalui rapid test secara masal.

Presiden juga meminta agar menyiapkan alat tes diperbanyak. Tidak hanya itu, Presiden juga meminta agar turut melibatkan rumah sakit pemerintah seperti BUMN, Pemda serta RS TNI/Polri.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus COVID-19, Achmad Yurianto, menjelaskan pemerintah saat ini sedang melakukan kajian terhadap pelaksanaan rapid test untuk memastikan status positif Covid-19 pada pasien.

"Rapid test merupakan mekanisme yang berbeda dengan tes yang selama ini digunakan oleh pemerintah untuk menentukan status positif COVID-19 pada pasien. Karena rapid test ini menggunakan spesimen darah dan bukan tenggorokan atau kerongkongan. Tetapi menggunakan serum darah yang diambil dari darah (pasien)," ungkap Achmad Yurianto.

Kajian untuk melakukan tes virus corona (COVID-19) dengan metode rapid test (tes cepat) merupakan salah satu cara yang ditiru Indonesia dari Korea Selatan. Menurut Yurianto, metode rapid test memiliki sejumlah keuntungan. Selain cepat, rapid test juga bisa dilaksanakam di hampir semua laboratorium kesehatan di rumah sakit yang ada di Indonesia.

Seperti diketahui, Korea Selatan menggunakan metode rapid test dalam mendeteksi virus Corona baru. Namun seperti dimuat BBC, metodenya agak berbeda, yakni menggunakan Q-tip (semacam stik panjang) untuk mengambil sampel di bagian belakang mulut dan tenggorokannya dan kemudian menempatkannya ke dalam tabung reaksi. Belum selesai sampai di situ, tenaga kesehatan akan mengusap naik ke hidung hingga membuat seseorang tidak nyaman. 

Meski demikian, tes hanya dilakukan beberapa menit. Setelah itu, setiap orang diizinkan pulang dan dia akan mendapat telepon jika hasilnya positif, atau SMS jika hasilnya negatif. Tes ini dikenal dengan swab. 

Tes ini dinilai sangat efektif menekan penyebaran virus Corona SARS-CoV-2. Hal itu terbukti membuat angka kematian di Korea Selatan akibat virus Corona baru turun 0,1 persen atau 84 orang.

Namun, seperti dikutip Aljazeera, tes ini bukan satu-satunya langkah yang dilakukan pemerintah Korea Selatan.

"Sulit untuk mengatakan bahwa pemerintah Korea Selatan telah memperoleh kendali penuh atas virus corona," kata Roh Kyoung-ho, seorang dokter yang bekerja di Departemen Kedokteran Laboratorium di Layanan Asuransi Kesehatan Nasional Rumah Sakit Ilsan.

Hal ini karena Korea Selatan adalah negara dengan kepadatan populasi yang tinggi, kata dia. "Ada kemungkinan besar bahwa virus corona dapat kembali dengan kekuatan propagasi yang tinggi dan bahkan mungkin muncul sebagai infeksi kelompok kecil untuk memulai," katanya.

 

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 4 halaman

Apa yang dilakukan Korea Selatan?

Pekan lalu, Korea Selatan membalikkan tren penurunan infeksi selama 11 hari. Data per 20 Maret 2020, total kasus di Korea Selatan adalah 8.652 orang dengan jumlah 2.233 orang pulih dan total kasus baru 87 orang. Dengan total kasus ini, Korea Selatan dianggap telah berhasil menurunkan jumlah kasus infeksi mengingat negara ginseng ini sempat menjadi negara paling banyak terinfeksi corona di dunia.

Korea Selatan kini menduduki peringkat ke-7, jauh di bawah China (yang kini jumlah kasus barunya diklaim nol), Italia, Iran, Spanyol, Jerman, Amerika dan Prancis. Keberhasilan Korea Selatan dalam mengendalikan epidemi inilah yang mendapat pujian dari seluruh dunia.

Menurut Roh, ketika para ilmuwan China pertama kali mempublikasikan urutan genetik virus COVID-19 pada Januari, setidaknya empat perusahaan Korea Selatan diam-diam mulai mengembangkan dan menimbun alat tes bersama pemerintah--jauh sebelum negara itu mengalami wabah pertama.

Pada saat keadaan menjadi buruk, negara ini telah memiliki kemampuan untuk menguji lebih dari 10.000 orang per hari, termasuk di pusat pengujian drive-through darurat dan melayani semua keluhan masyarakat melalui layanan telepon konsultasi di rumah sakit.

Lalu siapa pun yang memiliki ponsel di negara itu juga menerima peringatan tentang kawasan infeksi terdekat sehingga warga dapat menghindari area virus aktif. Atau kalau di Indonesia, kawasan ini dibagi menjadi tiga zona, hijau (aman), kuning dan merah (paling banyak terinfeksi).

Pada saat yang sama, pemerintah Korea Selatan juga membuat aplikasi berkemampuan GPS untuk memantau mereka yang berada di bawah karantina dan membunyikan alarm jika mereka pergi ke luar. Wisatawan yang memasuki negara tersebut juga diminta untuk mencatat gejala mereka pada aplikasi yang disponsori negara.

Tidak seperti negara lain, Korea Selatan juga berhasil membalikkan wabah tanpa mengunci kota (lockdown) atau melarang perjalanan. Bahkan, istilah "Social Distancing (jaga jarak sosial)" pertama kali didengungkan oleh presiden Korea Selatan dalam kampanye melawan virus.

Namun, itu tidak berarti semua negara lain harus mengikutinya. Pengujian massal dan deteksi dini Korea Selatan mungkin menjadi jawaban dari penghentian total kasus baru virus corona.

"Korea Selatan benar-benar membedakan dirinya karena mampu mengungkapkan informasi secara transparan dan memerangi virus," kata Hwang Seung-sik, seorang ahli epidemiologi dan profesor di Seoul National University.

"Kami melakukan yang terbaik untuk menimbun sumber daya dan kami bekerja keras untuk menguji orang secara massal dan melakukan karantina. Walaupun virus corona sudah ada sekitar tiga bulan lalu, dan tidak begitu jelas persiapan apa yang telah dilakukan AS atau negara-negara Eropa lainnya."

Hwang mengatakan, Korea memiliki kemampuan untuk mengambil sampel dan menguji lebih cepat daripada di negara lain, tidak ada alasan untuk melakukan apa yang dilakukan negara lain (seperti lockdown).

"Metode memblokir daerah-daerah tertentu dan menghentikan pergerakan masyarakat itu dilakukan orang-orang di Abad Pertengahan ketika mereka berurusan dengan peristiwa Black Death (kematian massal yang membunuh kurang lebih 200 juta jiwa). Itu karena mereka tidak tahu apa yang menyebabkan infeksi pada saat itu dan mereka tidak tahu di mana penyakit itu menyebar," katanya.

Setidaknya, 15 perusahaan Korea Selatan saat ini tengah berlomba untuk mengembangkan vaksin dan perawatan lain untuk COVID-19 saat ini. Beberapa dari perusahaan tersebut berusaha mengembangkan kit pengujian untuk digunakan orang di rumah, sementara yang lain sudah dalam tahap uji klinis.

Hwang memperkirakan, pada 2021 vaksin akan tersedia untuk umum. "Sampai saat itu beberapa metode didukung oleh teknologi abad ke-21, mungkin masih terbukti paling efektif."

 

 

3 dari 4 halaman

Bagaimana dengan Indonesia?

Seperti halnya anjuran WHO, tes kesehatan memang sangat penting. Namun yang perlu diperhitungkan adalah seberapa efektif tes yang akan diberikan pada masyarakat.

"Kenapa WHO selalu sebut tes, tes dan tes? Karena penyakit ini serius. Buktinya, virus ini bisa menyebabkan penyakit pada semua orang. Walaupun manula lebih sensitif, tapi pada dasarnya virus ini bisa menyerang semua orang," kata Herawati Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dalam diskusi jarak jauh yang diadakan oleh Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), ditulis Jumat (20/3/2020).

Herawati menggambarkan begitu uniknya penyakit yang ditimbulkan virus corona baru ini. Khususnya bagi orang yang positif namun tidak memiliki gejala. "Ini seperti bom waktu yang bisa menyebar kemana-mana."

Sebenarnya, kata dia, di setiap negara ada beberapa tes yang digunakan. Sejauh ini ada 5-7 tes yang dikembangkan, khususnya saat menghadapi COVID-19 di negara masing-masing. Namun WHO telah menerapkan standar agar ketika seseorang berada di negara lain, hasilnya akan sama.

"Jadi apa standarnya? Molekuler. Karena tes ini bisa mendeteksi langsung virus penyebabnya," kata Hera.

Hera menuturkan, bahwa beberapa media yang menuliskan Indonesia memiliki tes yang lebih lama, tidak benar. "Kalau dilihat, tes yang digunakan selesai dalam kurang lebih 4-8 jam. Tidak sampai sehari tesnya. Kalau ukurannya 8 jam terlalu lama, kita lihat tingkat kepercayaannya atau efektivitasnya."

"Ada pula tes kultur. Tapi perlu fasilitas biosafety level 3 dan hanya ada 10 hingga 12 lab di seluruh negara. Jadi kita pakainya molekuler," ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Bagaimana dengan Rapid Test?

Rapid test di Indonesia dilakukan dengan menggunakan sampel darah. Menurut Hera, tingkat kepercayaan tes ini paling rendah.

"Memang massal, tapi yang diperiksa bukan virusnya. Tes ini mengandalkan zat antibodi yang dibuat tubuh kalau dia terpapar virus. Sehingga betul-betul harus uji dulu, apakah akan bereaksi juga dengan virus lain."

"Kalau dilihat dari sisi peneliti, deteksi ini belum ada penjelasannya bagaimana antibodinya itu terbentuk setelah terpapar. Kadang-kadang, kita melihat tidak bisa langsung positif. Bisa false negative atau false positive. Jadi konfirmasinya tetap molekul," katanya.

Menurut Hera, melakukan tes secara masif memang diperlukan dan sangat baik. Namun perlu diketahui bahwa tes masif ini ibarat tes kehamilan.

"Rapid test mudah, 5 menit. Tapi hati-hati, jangan kayak kita ambil tes hamil di supermarket. Tes lalu positif. Perlu diketahui, hasil positif yang muncul belum tentu dia betul-betul terinfeksi. Sebaliknya, hasil negatif tidak bisa menyingkirkan ada infeksi COVID-19 tersebut. Kalau negatif juga tidak meyakinkan dia berpotensi tetap menularkan kepada yang lainnya. Ini yang dimaksud hasil (Rapid Test) bisa False negative atau false positive," jelasnya.

Bagaimana pun, kata Hera, jangan lupakan bahwa sensitivitas deteksi molekul ini. Sebab Rapid test juga memiliki kelemahan lain. "Kalau mereka yang Immunocompromised (kekebalan tubuhnya turun), tidak bisa membentuk zat antibodinya, dia bisa negatif. Padahal karena sakit, bisa saja dia positif."

"Silakan saja gunakan Rapid Test untuk awal, namun hasil penelitian tetap mengacu pada Molekuler sebagai landasan dari kebijakan," pungkasnya.