Liputan6.com, Jakarta Seluruh dunia kini tengah merasakan kekuatan Covid-19 yang disebabkan oleh virus Sars-CoV-2, atau kita lebih mengenalnya dengan virus corona. Melihat virus ini merupakan mutasi dari virus-virus sebelumnya, kita semestinya bisa belajar dari wabah-wabah sebelumnya sehingga bisa menekan jumlah kasus dan kematian.
Seperti pandemi Flu Spanyol yang terus menjadi perbincangan banyak ahli, bukan hanya di dalam ataupun di luar negeri. Penyebaran yang sangat cepat dan membunuh semua orang tanpa pandang bulu. Remaja, orangtua, anak-anak, orang sakit ataupun sehat, semuanya terinfeksi, dan 10% pasien meninggal karenanya.
Baca Juga
Jumlah kematian akibat virus ini di setiap negara bervariasi, namun diperkirakan telah menginfeksi sepertiga populasi dunia dan menewaskan sedikitnya 50 juta orang, sehingga menjadikannya pandemi paling mematikan sepanjang sejarah.
Advertisement
Stereotip Rasial yang Sama
Meskipun pada saat itu mendapat julukan flu Spanyol, bukan berarti virus tersebut berasal dari Spanyol. Hanya saja, pada saat itu Spanyol merupakan negara pertama yang mengumumkan adanya virus ini.
Menurut peneliti, virus itu muncul selama masa perang, tepatnya akhir bulan perang dunia I dan Spanyol merupakan negara netral yang tidak memberlakukan sensor ketat terhadap persnya, sehingga wartawan dapat dengan bebas menerbitkan laporan awal penyakit tersebut.
Namun akibatnya orang-orang salah kaprah bahwa itu penyakit yang berasal dari Spanyol, sehingga julukan flu Spanyol terus melekat, dilansir dari Livescience.
Pada saat itu, sejarawan yakin penyebaran virus terjadi akibat konflik perang, seperti misalnya para tentara yang kelaparan, kotor, dan dibiarkan hingga sakit. Itu menyebabkan sistem imun melemah akibat kekurangan nutrisi.
"Penyakit tersebut yang kemudian disebut "la grippe", lalu menyebar ke sekitarnya. Namun saat itu, dalam waktu 3 hari beberapa tentara yang sakit, mulai sembuh, dan tapi tidak semuanya terinfeksi," tulis para ahli kala itu.
Analisis lain muncul, ketika musim panas tahun 1918, saat para tentara kembali pulang ke rumah masing-masing, mereka disebut membawa virus tak terdeteksi yang membuat mereka sakit. Hingga akhirnya virus menyebar dari rumah, ke desa, antar kota, dan terus menyebar. Kebanyakan dari mereka yang terinfeksi tidak bisa pulih. Dan virusnya menyerang remaja usia 20-30-an yang sehat.
Pada tahun 2014, muncul teori baru yang menyatakan virus tersebut berasal dari China, lapor National Geographic. Kala itu, peneliti menelusuri para buruh China tahun 1917 dan 1918 yang pergi ke Kanada, Prancis, dan sebagainya untuk menggali parit, menurunkan kereta, meletakkan rel, membuat jalan dan memperbaiki tangki yang rusak.Â
"Para pekerja itu kebanyakan adalah pekerja pertanian dari daerah-daerah terpencil di pedesaan Cina," menurut buku Mark Humphries "The Last Plague" ( University of Toronto Press, 2013).Â
Humphries mencatat, pada 1918, ada 25.000 pekerja Tiongkok yang berada di Kanada, dan sekitar 3.000 orang diantaranya dikarantina. Pada saat itu muncullah stereotip rasial (persepsi rasis) yang menyebutkan bahwa penyakit ini muncul akibat "Chinese laziness". Dan saat itu, dokter Kanada tidak menganggap serius gejalanya. Hingga saat mereka tiba di Prancis utara pada awal 1918, semakin banyak orang yang sakit, dan ratusan lainnya sekarat.
Â
Â
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Gejala yang Mirip
Gejala awal Flu Spanyol bisa dikatakan mirip dengan corona, yakni sakit kepala dan kelelahan, diikuti batuk kering, kehilangan nafsu makan, masalah perut dan pada hari kedua berkeringat berlebihan.
Selanjutnya penyakit tersebut mempengaruhi organ pernapasan dan bisa berkembang menjadi pneumonia atau komplikasi pernapasan lainnya akibat flu, yang menjadi penyebab utama kematian. Inilah mengapa sulit menentukan jumlah pasti korban yang terbunuh akibat flu, karena penyebab kematian yang terdaftar seringkali sudah memiliki komplikasi.
Penyebaran virus ini terjadi sangat cepat menyebar ke seluruh dunia. Pada Agustus 1918, 6 pelaut Kanada di sungai St.Lawrence meninggal dan muncul kasus di antara tentara Swedia yang menyebar ke populasi sipil dan pekerja Afrika Selatan di bulan yang sama. Pada bulan September, penyakit ini memasuki Amerika Serikat melalui pelabuhan Boston.
Situasi dan Kondisi yang Mirip
Saat itu, dokter juga masih belum tahu harus merekomendasikan pengobatan apa kepada pasien dan masyarakat. Beberapa dokter bahkan hanya memberikan anjuran untuk menghindari tempat ramai, serta memperbanyak konsumsi kayu manis, minum anggur dan kaldu sapi.
Dokter juga menyarankan agar setiap orang menutup mulut dan hidung mereka di tempat umum. Hingga pelarangan penggunaan aspirin karena dianggap penyebab pandemi, padahal saat itu sebenarnya bisa membantu mereka yang terinfeksi.
Pada Juni 1918, muncul berita gejala Flu Spanyol di koran-koran Inggris, namun sebenarnya itu untuk iklan Formamints, tablet yang dibuat dan dijual oleh perusahaan vitamin. Bahkan disaat banyak orang sekarat, ada orang yang menghasilkan uang dari iklan "obat" palsu. Iklan tersebut menyatakan kalau permen merupakan cara terbaik untuk mencegah proses infeksi dan menganjurkan menghisap 4-5 tablet sehari sampai merasa baikan.
Sedangkan orang Amerika disarankan untuk tidak berjabat tangan dengan orang lain, tetap tinggal di dalam rumah, tidak menyentuh buku-buku perpustakaan dan memakai masker. Sekolah dan teater ditutup, dan Departemen Kesehatan New York City menegakkan amandemen Sanitary Code yang membuat aturan meludah di jalanan adalah ilegal, menurut tinjauan yang diterbitkan di jurnal Public Health Reports.
Ironisnya, Perang Dunia I mengakibatkan kekurangan dokter di beberapa daerah, dan banyak dokter yang sakit sendiri. Sekolah dan bangunan lain pun akhirnya menjadi rumah sakit darurat, dan mahasiswa kedokteran harus menggantikan dokter dalam beberapa kasus.
Â
Advertisement
Sikap Acuh Tak Acuh yang Sama
Dari sejarah tersebut, kita harusnya sepakat untuk "mengatakan yang sejujurnya" untuk membangun rencana kesiapsiagaan pandemi bagi setiap negara bagian dan teritori, tulis Nytimes.
Pada 1918, demi mempertahankan moral di masa perang, baik pejabat pemerintah nasional maupun lokal tidak mengungkapkan keadaan yang sebenarnya.
Para pemimpin selalu mengatakan kalau flu Spanyol adalah influenza biasa dengan nama lain. Sebagian besar komisioner kesehatan setempat mengikuti petunjuk tersebut. Surat kabar menggemakannya. Masyarakat pun percaya sehingga masih beraktivitas seperti biasanya.Â
Hingga saat muncul banyak kematian dan tempat umum ditutup dan muncul larangan pertemuan publik, masih ada surat kabar yang menulis, "This is not a public health measure. There is no cause for alarm" (Ini bukan masalah kesehatan masyarakat. Tidak ada alasan untuk khawatir).
Hal ini menyebabkan kepercayaan terhadap otoritas hancur, terutama kehilangan kepercayaan masyarakat, bahkan kehilangan kepercayaan satu sama lain. Orang-orang bahkan terlalu takut untuk saling bertegur sapa. Beberapa orang mati kelaparan karena tidak ada yang mau memberi mereka makan.
Di tempat lain, yang pemerintahnya mengatakan sebenarnya memiliki pengalaman yang berbeda. Misalnya di San Fransisco, walikota dan pimpinan bisnis, buruh dan medis bersama-sama menandatangani iklan satu halaman penuh yang bertuliskan huruf besar, "Pakai Masker dan Selamatkan Hidup Anda," mengutip New York Times.
Meskipun saat itu mereka tidak tahu bahwa masker hanya menawarkan sedikit perlindungan, tetapi setidaknya para pejabat mendapat kepercayaan publik. Meskipun takut, masyarakat tetap berkumpul saling membantu. Ketika sekolah ditutup, para guru mengajukan diri sebagai pengemudi ambulans, operator telepon, bahkan pengantar makanan. Tentu hal ini membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik.