Liputan6.com, Jakarta Para dokter di dunia masih terus melakukan studi terhadap COVID-19, termasuk dampak kesehatan dan gejala lanjutannya pada orang yang terjangkit.
Beberapa waktu yang lalu, kepala bagian patologi paru di Cleveland Clinic Dr. Sanjay Mukhopadhyay melakukan dua autopsi terhadap pasien meninggal dunia terkait COVID-19.
Baca Juga
Dilansir dari Express pada Jumat (17/4/2020), hasil autopsi pada seorang pria Oklahoma, Amerika Serikat berusia 77 tahun menunjukkan bahwa bagian dalam paru-parunya tertutup lapisan tebal bertekstur lendir yang ditengarai membuatnya kesulitan bernapas.
Advertisement
Mukhopadhyay berharap hasil temuannya ini memberikan dokter wawasan mengenai gejala apa yang disebabkan oleh virus serta bagaimana pengobatannya dengan obat yang tersedia.
Hasil temuannya masih mendapatkan peninjauan sebagai permintaan dari Kantor Kepala Penguji Medis Oklahoma dan dipublikasikannya di American Journal of Clinical Pathology.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Pemeriksaan Setelah Meninggal Dunia
Mukhopadhyay mengatakan bahwa pasien 77 tahun tersebut mengalami obesitas dan memiliki riwayat hipertensi. Dia sempat mengalami gejala COVID-19 seperti demam dan menggigil selama enam hari dan tidak mendatangi dokter.
"Saat dia sampai di rumah sakit, dia sudah mengalami serangan jantung sehingga tidak pernah mendapatkan perawatan ICU atau ventilator," kata Mukhodpadhyay pada WOIO.
Pria ini hanya mendapat pemeriksaan virus setelah meninggal dunia.
"Jadi, dia meninggal sebelum itu sehingga kami bisa melihat apa yang terjadi di paru-paru pasien yang meninggal karena COVID-19 tanpa menggunakan ventilator atau mendapatkan perawatan apa pun."
Lapisan tebal yang ditemukan menyebabkan peradangan saluran napas dan kerusakan pada alveoli sehingga menyebabkannya mengalami kesulitan bernapas. Hal ini menunjukkan bahwa virus tersebut menyebabkan kerusakan.
Advertisement
Pasien Kedua Meninggal Bukan Karena COVID-19
Autopsi kedua dilakukan kepada seorang pria obesitas berusia 42 tahun yang positif COVID-19 setelah meninggal dunia.
Namun, dokter menemukan bahwa ia meninggal karena bakteri pneumonia yang telah menjangkitinya sebelumnya, bukan akibat virus corona. Sehingga, tidak ditemukan lapisan mirip cat di paru-parunya.
"Jadi, pasien ini kemungkinan meninggal dengan COVID-19, bukan disebabkan oleh COVID-19."
"Temuan autopsi seperti kerusakan alveolar difus dan peradangan saluran napas mencerminkan patologi terkait virus yang sebenarnya. Temuan lain merupakan proses yang bertumpukan atau tidak terkait," tulis para peneliti dalam kesimpulannya seperti dikutip dari laman American Journal of Clinical Pathology.
Perlu Lebih Banyak Studi Autopsi
Dalam pertanyaan awal, Mukhopadhyay dan rekan-rekannya berasumsi adanya peradangan jantung pada pasien virus corona dan hal itu bisa menyebabkan pembekuan darah. Namun, tidak ditemukan bukti untuk keduanya.
Untuk saat ini, Mukhopadhyay menegaskan belum ada obat yang bisa digunakan apabila seseorang sudah berada dalam kondisi tersebut.
"Tidak ada obat khusus yang dapat membalikkan keadaan itu, jadi Anda benar-benar perlu mengobati virusnya jika Anda bisa," kata Mukhopadhyay seperti dikutip dari New York Post.
"Kita tidak memiliki obat antivirus yang baik sejauh ini, tetapi saat kita mendapatkannya, itu akan menjadi cara untuk mengobatinya."
Menurut Mukhodpadhyay, dua temuannya menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh komunitas medis dalam menentukan penyebab meninggal dunia pada seorang pasien positif virus corona.
Maka dari itu, dia berharap agar ada lebih banyak autopsi dilakukan untuk membantu harapan dalam pengobatan yang lebih tepat untuk pasien COVID-19 saat ini.
Advertisement