Sukses

Lockdown Akibat Corona di Edinburgh, Tak Surutkan Semangat Memasak Makanan Indonesia

Katering masakan Indonesia tetap berjalan meskipun Edinburgh lockdown karena Corona COVID-19

Liputan6.com, Skotlandia - Winarti Halim baru delapan bulan menetap di Edinburgh, Skotlandia, saat pandemi COVID-19 terjadi di sana. Alhasil, wanita yang tengah menempuh pendidikan PhD (Doctor of Philosophy) di Universitas Edinburgh ini harus #DiRumahAja satu bulan terakhir.

"Sudah dari 24 Maret 2020, tapi diperpanjang sampai akhir Mei sama pemerintah karena grafik belum menurun," kata Wina saat berbincang dengan Health Liputan6.com pada Kamis, 23 April 2020. Menurut Wina kasus positif Corona di Inggris pada hari itu sudah mencapai 133 ribu dengan 18 ribu kematian.

Selain mengikuti les daring (online) gratis dari kampus, wanita yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian Pertanian Republik Indonesia mengisi hari-harinya dengan meningkatkan kemampuan memasaknya.

Dia mengaku bukan orang yang begitu suka masuk dapur saat di Indonesia. Namun, setelah menjadi anak rantau, dirinya malah bisa masak apa saja. Bahkan, Wina punya usaha katering khusus masakan Indonesia.

"Barusan bikin sambal terasi tomat buat sebulan," kata Wina sambil memerlihatkan prakaryanya.

 

Baca juga : Asramaku Sediakan Dokter Fisik dan Jiwa Selama Lockdown Akibat COVID-19 di Rusia

Usaha katering yang Wina rintis memang bukan skala besar. Hanya untuk orang-orang Indonesia yang sudah lama tinggal di sana, dan rindu berat sama masakan ibu.

"Tadi masak soto Bogor, siomai, dan batagor juga, tapi lupa difoto," ujarnya.

Wina tak menutup usaha kateringnya meskipun Virus Corona menghantui. Beberapa saat sebelum obrolan ini terjadi, dia mengatakan baru saja menyerahkan pesanan kepada seorang bule yang beristrikan orang Indonesia.

"Tadi dia yang ambil di depan rumah, tapi dua meter dari pintu," Wina menambahkan.

 

 

2 dari 7 halaman

Bahan-Bahan Masakan Sulit Didapat Semenjak Lockdown karena COVID-19

Wina tidak memungkiri sulit untuk mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan. Tahu dan tempe, misalnya, yang selama lockdown akibat COVID-19 menjadi barang langka. "Biasanya ada di toko-toko Cina," katanya.

Sekalinya ada, lanjut Wina, harga malah naik. Kenaikannya sampai 50 persen dari harga normal. Akan tetapi itu tak berlangsung lama, hanya satu minggu saja, "Pas diancam sama pemerintah, harga sudah normal lagi."

Baca juga : Takjub Melihat Penduduk Wina Akhirnya Mau Pakai Masker Selama Pandemi COVID-19

Tidak hanya tahu dan tempe, bumbu impor Asia, beras, dan pasta juga sering kosong. Menurut Wina, langkanya barang-barang tersebut disebabkan tidak adanya produksi dan panic buying yang sempat melanda masyarakat.

"Tapi lebih ke stok enggak ada, karena pekerjanya libur," kata dia.

"Jadi, sekarang kalau beli dibatasi, cuma bisa dua buah saja," Wina menambahkan.

Meski begitu kondisinya, bukan penghalang bagi Wina untuk tetap membuka usaha kateringnya. Sebab, pesanan menyesuaikan menu-menu yang dia buat untuk hari itu. "Menolak pesanan paling kalau sibuk riset," kata Wina sambil tertawa.

Saat ini, mahasiswi PhD in International Development ini tengah meriset tentang Kebijakan Regenerasi Petani Muda.

3 dari 7 halaman

Polisi Berjaga di Bukit Tempat Warga Berolahraga Selama Pandemi COVID-19

Wina lalu bercerita mengenai situasi di sana setelah pemerintah Inggris menetapkan lockdown akibat pandemi COVID-19.

Sama seperti di banyak negara yang menerapkan lockdown, masyarakat dilarang keluar rumah jika tidak ada hal yang penting. Menurut Wina, warga masih boleh keluar hanya untuk berbelanja, berobat ke dokter, dan olahraga.

Maklum saja, beraktivitas fisik sudah mendarahdaging di penduduk di sana. Apalagi pemerintah mengimbau agar mereka tetap aktif, dan memperbolehkan keluar asal menggunakan masker. Tujuannya supaya tidak stres. Dan, harus jaga jarak minimal dua meter.

"Penjagaannya enggak ketat-ketat banget. Ada polisi dan ambulans yang mengecek di tiap-tiap titik keramaian yang biasa dipakai olahraga," kata Wina.

"Pada suka olahraga soalnya. Tapi yang olahraganya kelamaan dan kejauhan akan ditilang," Wina menambahkan.

Menurut Wina, di Edinburgh ada satu bukit yang menjadi spot favorit untuk berolahraga. Polisi jadi sering berjaga-jaga di sana.

 

Begitu juga bagi masyarakat yang ketahuan bepergian jauh menggunakan mobil tanpa surat pengantar, polisi tak sungkan untuk menilangnya. Kalau berkali-kali melanggar, kata Wina, denda akan semakin tinggi dan bisa dipenjara.

"Saya pernah pas keluar ditanya polisi mau ke mana. Karena bawa tas belanja, jadi aman. Cuma polisi mengecek alamat saya. Kalau bohong soal alamat didenda tinggi," ujarnya.

 

4 dari 7 halaman

Surat Manis dari Perdana Menteri Inggris untuk Warganya di Rumah Saja Saja Selama Lockdown karena COVID-19

Hal menarik lain yang Wina bagikan, soal 'sikap manis' Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, ke seluruh warganya. Surat tersebut dikirim langsung ke rumah-rumah menggunakan pos.

"Itu surat encouragement (dorongan) untuk semua warga negara," kata Wina yang mengaku terharu saat membaca surat tersebut.

"Terharu saya, meski dia nyebelin soal Brexit," Wina menambahkan.

 

Surat berisi desakan untuk tetap tinggal di rumah ditulis setelah Boris Johnson dinyatakan positif COVID-19, dan harus mengisolasi diri secara mandiri selama 14 hari.

Selain surat, Johnson juga mengirim selebaran yang berisi saran pemerintah tentang mencuci tangan, aturan tentang meninggalkan rumah, panduan untuk mereka yang mengisolasi diri atau melindungi orang yang rentan, dan penjelasan gejala COVID-19.

Tak lupa Johnson menyelipkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang bekerja untuk Layanan Kesehatan Nasional (NHS) yang melayani kesehatan bagi seluruh warga Inggris, di surat tersebut.

 

5 dari 7 halaman

Tak Khawatir Tinggal di Negara Orang di Tengah Pandemi COVID-19

Wina pun mengaku tak khawatir harus menjalani hari-hari selama pandemi COVID-19 di negara orang. Sebab, pemerintah mengucurkan banyak sekali cash transfer untuk rakyat Inggris, bahkan untuk pelajar internasional yang mungkin mengalami kesulitan akibat lockdown, katanya.

"Pemerintah berusaha semaksimal mungkin 'put the food on the table'," katanya.

"Ya, intinya pemerintah menjamin masyarakatnya tidak akan kelaparan. Mereka menyiapkan jaring sosial pengaman yang baik untuk usaha kecil dan pegawai harian," ujarnya.

 

6 dari 7 halaman

Warga Inggris dan Sekitarnya Bukan Orang yang Terbiasa Pakai Masker

Lebih lanjut, Wina menceritakan soal 'kelakuan' masyarakat di sana yang tidak suka pakai masker. Sehingga akan menganggap aneh orang-orang yang memakai masker.

"Di sini budayanya enggak pakai masker, entah kenapa. Awal-awal yang pakai masker rata-rata Asia saja. Itu pun dianggap aneh terkadang," katanya.

Pengalaman tidak menyenangkan pernah dialami salah seorang teman Wina yang sama-sama berasal dari Asia. Temannya itu pernah dirisak hanya gara-gara dia bepergian dengan memakai masker.

"Tapi ini kasus kecil, sih," kata Wina.

"Budayanya menganggap (orang yang pakai masker) enggak sopan karena menyembunyikan identitas," dia menambahkan.

Selain itu, karena orang-orang Inggris menganggap masker hanya dipakai saat sakit. "Tertanam kayaknya di alam bawah sadar mereka. Jadi, kalau sakit ya di rumah saja, ngapain keluar pakai masker gitu kali, ya," ujarnya.

Wina mengaku belum pernah dirisak hanya gara-gara pakai masker. Cuma terkadang wajah mereka kerap menunjukkan ketidaknyamanan saat berpas-pasan dengan orang yang pakai masker.

"Biasanya mereka manis. Suka nyapa 'Hello dear, hello dear' gitu. Tapi kalau kita pakai masker, mereka suka melengos," kata Wina.

Anehnya, Wina justru pernah merasa kesulitan mendapatkan masker selama pandemi COVID-19. Kecuali, saat dia membelinya melalui Amazon.

"Kita beli masker online harga naik dikit. Cuma yang jualannya kemahalan, akunnya akan dihapus sama Amazon," kata Wina.

Wina mengatakan masker di sana sempat dibandrol dengan harga 5 Pounds atau setara Rp100 ribu satu lembarnya. "Jangan dirupiahin, stres nanti," katanya sambil tertawa.

Meski begitu Wina bersyukur sejauh ini belum pernah satu kali pun mengalami hal-hal tak sedap dan kurang menyenangkan sebagai pendatang. Menurut dia, pemerintah Inggris berlaku adil untuk seluruh warganya.

"Alhamdulillah enggak pernah," katanya.

"Di RS pun sama saja. Saya bolak balik RS karena anak saya hemofilia. Sekarang enggak boleh ke RS, dan obat diantar ke rumah. Biasanya memang sudah diantar, tapi diantar dengan dosis yang lebih banyak," Wina menekankan.

7 dari 7 halaman

Simak Video Menarik Berikut Ini

Video Terkini