Sukses

Tidak Semua Pasien Henti Jantung Akan Meninggal Dunia

Tidak semua pasien henti jantung akan meninggal dunia, ada tahapan tertentu.

Liputan6.com, Jakarta Henti jantung (Sudden Cardiac Arrest/SCA) adalah kondisi jantung berhenti bekerja dan berkontraksi sehingga tidak ada aliran darah yang cukup untuk menghidupi otot jantung dan organ vital lainnya. Namun, tidak semua pasien yang mengalami henti jantung akan meninggal dunia.

Menurut dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Ivan Noersyid, henti jantung harus melalui beberapa proses. Tahapan henti jantung dimulai dengan kematian otot-otot jantung.

“Setiap 4 menit, bagian-bagian otot jantung di dalam tubuh akan mengalami kematian. Semakin lama penanganan seseorang yang mengalami henti jantung, maka akan semakin banyak otot jantung yang mengalami kematian,” terang Ivan sebagaimana keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Kamis (7/5/2020).

“Jika seseorang mengalami henti jantung, namun tidak dilakukan tindakan medis lebih lanjut, maka orang tersebut dapat mengalami kematian.”

Kondisi henti jantung dapat terjadi dalam kondisi jantung tidak bekerja namun masih terdapat aliran listrik. Hal itu dapat terjadi karena gangguan irama atau beberapa faktor lainnya. Artinya, kontraksi jantung bergetar saja, tapi tidak memompa aliran darah.

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Tanda Seseorang Alami Henti Jantung

Seseorang yang mengalami henti jantung dibuktikan dengan tidak teraba nadi karotis--sepasang pembuluh darah yang terletak di bagian dalam leher yang mengantarkan darah ke otak dan kepala.

Pada tahap kondisi ini, pasien akan dilakukan pengecekkan irama jantung melalui Elektokardiogram (EKG). Ada dua kondisi irama jantung yang terlihat dari hasil EKG, yaitu kondisi irama asistol berupa aris datar atau dengan kata lain irama jantungnya datar (tidak berirama) dan irama pulseless electrical activity (PEA).

Kemudian kondisi irama seperti garis seperti rumput (ventrikular takikardi atau fibrilasi).

Untuk pasien dengan kondisi irama jantung asistol (PEA), akan dilakukan tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP), yakni tindakan pertolongan pertama pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu.

“Yang dilakukan adalah kompresi dinding dada (pemompaan jantung dari dinding luar dada), pemberian napas, baik melalui alat bantuan pernapasan, pemberian cairan atau obat,” lanjut Ivan, yang berpraktik di Primaya Hospital Bekasi Timur.

“Proses Resusitasi Jantung Paru untuk pasien dengan irama jantung datar akan di evaluasi selama 10 hingga 20 menit. Jika dalam waktu lebih dari 30 menit tidak ada perubahan dari pasien, maka kemungkinan harapan hidup pasien sangat kecil.”

3 dari 3 halaman

Jika Irama Jantung Kembali Normal

Jika hasil EKG menunjukkan irama seperti garis rumput (ventrikular takikardi atau fibrilasi), maka pasien akan dilakukan defibrilasi (diestrum) sebagai terapi utama. Dengan defibrilasi, gangguan irama jantung yang terjadi dapat direstart ulang.

“Kalau iramanya kembali normal, pasien akan dilakukan pemeriksaan gelombang listrik pada pembuluh nadi. Jadi, seseorang dapat tampak seolah-oleh hidup dengan adanya gelombang listrik tersebut, padahal jantungnya tidak bekerja,” Ivan menegaskan.

“Jika denyut nadi tidak teraba, maka akan dilakukan proses Resusitasi Jantung Paru.”

Di sisi lain, jika denyut nadi kembali berdenyut atau terdeteksi, maka akan ditinjau apakah pasien tersebut masih bernapas atau tidak. Jika masih bernapas, pasien akan diberikan bantuan pernapasan. Misal, pemasangan selang bantu pernapasan berupa ventilator.

Kemudian, pasien akan dilakukan pengecekkan terhadap tekanan darah dan dilakukan evaluasi lanjutan terhadap irama jantung, kecepatan nadi, dan pemeriksaan kondisi penyakit di tubuh untuk melihat potensi penyebab henti jantung.

“Pada intinya, pasien henti jantung masih dapat diselamatkan jika dilakukan evakuasi ke rumah sakit dalam waktu yang cepat. Semakin cepat Resusitasi Jantung Paru dilakukan akan semakin tinggi harapan hidup pasien,” ujar Ivan.