Sukses

Beberapa Dokter di Indonesia Sudah Resepkan Dexamethasone ke Pasien COVID-19

Pada beberapa pasien COVID-19 dengan gejala berat, pemberian dexamethasone memperlihatkan hal positif.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan ada beberapa dokter yang sudah memberikan terapi obat dexamethasone ke pasien COVID-19 dengan kondisi berat. Yakni pasien COVID-19 yang menggunakan ventilator dan terapi oksigen.

"Sejak keluar recovery trial beberapa sejawat sudah menggunakan dalam praktik nggunakan (pada) pasien berat (yang menggunakan ventilator) dan terapi oksigen," kata Agus dalam diskusi di Grha BNPB Jakarta pada Senin (29/6/2020).

Agus menekankan bahwa memang belum banyak dokter yang memberikan terapi obat dexamethasone. Hal ini karena pemberian obat dexamethasone belum masuk buku pedoman tatalaksana COVID-19 di rumah sakit. Meski begitu pada beberapa kasus memperlihatkan manfaat pemberian obat ini.

"Mengenai hasil, beberapa menyampaikan ada progres yang baik ya kalau pasien itu di awal-awal derajat berat diberikan. Tapi kalau terlambat tidak begitu bagus. Namun, ini baru kesimpulan dari satu atau dua kasus ya," kata Agus lagi.

Penggunaan dexamethasone pada pasien COVID-19 dengan gejala berat muncul setelah peneliti dari Oxford Inggris menyampaikan manfaat dari pemberian obat kortikosteroid ini. Namun, pada pasien dengan gejala ringan tidak ada manfaat.

"Dari sisi efikasi enggak ada manfaatnya. Dan, kedua dari sisi efek samping, kita tahu kortikosteroid ini memberikan efek samping cukup banyak," tutur pria yang sehari-hari praktik di RS Persahabatan ini.

 

Saksikan juga video berikut ini:

2 dari 2 halaman

Chloroquine dan Hydroxychloroquine Juga Sudah Dipakai

Sejak April lalu lima organisasi profesi yaknis perhimpunan dokter paru, jantung, penyakit dalam, anestesi dan anak sudah mengeluarkan pedoman tatalaksana COVID-19 di rumah sakit. Salah satunya adalah bisa menggunakan chloroquine dan hydroxychloroquine dengan dosis sesuai berat badan.

"Namun, obat ini tidak disarankan digunakan pada pasien jantung, efek samping chloroquine kan pada pasien jantung," lanjut Agus lagi.

Beberapa waktu lalu muncul imbauan dari WHO mengenai penghentian penggunaan obatini. Meski begitu, hasil evaluasi di Indonesia menunjukkan efek samping pemberian obat ini ringan dan tidak meningkatkan risiko kematian.

"Kami sudah mengirimkan surat resmi ke Kemenkes dan Gugus Tugas, hasil evaluasi awal menunjukkan masih cukup aman pada populasi Indonesia," tuturnya.

Data awal dari dokter paru menunjukkan pemberian obat chloroquine dan hydroxychloroquine memperlihatkan hasil risiko kematian yang lebih sedikit daripada tidak menggunakannya. Lalu lama rawat pada mereka yang diresepkan obat ini lebih sebentar.

"Namun, ini masih data awal."