Sukses

HEADLINE: Persentase Sembuh COVID-19 di 13 Provinsi Lebihi Dunia, Apa Kuncinya?

Memasuki bulan ke-4, persentase kesembuhan COVID-19 semakin menunjukkan angka yang positif.

Liputan6.com, Jakarta Meski jumlah orang yang positif terinfeksi COVID-19 terus meningkat, angka kesembuhan dari serangan Virus Corona di Indonesia pun terus bertambah setiap harinya. Hingga Kamis, 2 Juli 2020, kasus sembuh harian bertambah 1.072, sehingga sudah 26.667 orang dinyatakan terbebas dari Virus Corona setelah melakukan swab test sebanyak dua kali.

Juru Bicara Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menyebutkan, meski persentase kesembuhan nasional masih di bawah rata-rata dunia, angka di beberapa provinsi dalam seminggu terakhir sudah mencapai lebih dari rata-rata global. 

"Kalau kemudian kita teliti lebih lanjut pada tiap provinsi, maka sebenarnya ada 18 Provinsi yang memiliki persentase kesembuhan di atas angka rata-rata dunia, di atas 54,23 persen. Bahkan 13 provinsi memiliki persentase kesembuhan di atas 70 persen," ungkap Yuri di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Rabu (1/7).

Adapun 13 wilayah provinsi yang persentase kesembuhan COVID-19 berada di atas 70 persen hingga 1 Juli 2020 meliputi; Sumatera Barat 81,1 persen, Riau 73,5 persen, Bengkulu 71,2 persen, Lampung 97,3 persen, Bangka Belitung 86,8 persen.

Lalu ada Kepulauan Riau 81,6 persen, DI Yogyakarta 85,3 persen, Kalimantan Barat 81,9 persen, Kalimantan Timur 73,7 persen, Kalimantan Utara 75,5 persen, Sulawesi Tengah 82,3 persen, Gorontalo 80,2 persen dan Sulawesi Barat 72,8 persen. Menurut Yuri, kesembuhan tersebut dicapai setelah tiap-tiap wilayah provinsi menemukan kasus COVID-19 secara dini dan melakukan penanganan secara cepat.

"Kesembuhan ini bisa dicapai, karena memang secara dini kita bisa menemukan kasus COVID-19 terkonfirmasi dengan gejala ringan-sedang yang segera kita tangani di rumah sakit," jelas Yuri.

Yuri mengatakan, ada beberapa faktor yang berperan dalam kesembuhan pasien COVID-19 di Indonesia. Faktor-faktor tersebut di antaranya perawatan di rumah sakit-rumah sakit telah lebih baik dan respons masyarakat semakin bagus. Hal-hal tersebut dinilai sebagai kunci bagi angka kesembuhan COVID-19.

"Kita bersyukur bahwa banyak sekali yang sudah menjadi sembuh karena memang, satu, rawatannya memang lebih bagus lagi. Perhatian rumah sakit di dalam memberikan rawatan kepada pasien menjadi lebih baik. Kalau kita lihat beban layanan rumah sakit, salah satu indikatornya BOR (bed occupancy rate), tingkat hunian rumah sakit, rata-rata nasional kan 55,6 persen. Artinya bahwa sumber daya yang ada, tenaga kesehatan dan lainnya, bisa memberikan layanan rawatan secara optimal," tutur Yurianto dalam acara Talk Show Info Corona, Kamis (2/7/2020) di Graha BNPB, Jakarta.

Respons masyarakat yang lebih baik dalam menghadapi pandemi COVID-19 tak hanya tampak pada kasus-kasus ringan sedang saja, melainkan juga pada kelompok berisiko seperti individu dengan penyakit komorbid.

"Kita sudah melihat bahwa masyarakat semakin bagus merespons sehingga yang masuk ke rumah sakit pada umumnya adalah kasus-kasus yang ringan sedang, enggak sampai berat. Dan kemudian untuk kelompok-kelompok yang memiliki komorbid sebelumnya mereka sudah betul-betul menyadari bahwa mereka harus dilindungi bersama, sehingga yang jatuh menjadi sakit untuk kelompok yang sudah dengan penyakit komorbid ini juga relatif lebih sedikit. Inilah yang jadi faktor angka sembuh ini menjadi semakin banyak," lanjutnya.

Yuri mengakui bahwa kesembuhan tersebut tidak bisa didapat secara instan. Ada proses penyembuhan yang harus dilalui.

 

2 dari 5 halaman

Kriteria Sembuh dari COVID-19

Mengenai kriteria kesembuhan pasien, Dr dr Soroy Lardo, SpPD FINASIM menjelaskan, berdasarkan pola perawatan pasien COVID-19 di RSPAD Gatot Soebroto, tempatnya berpraktik, pasien dikatakan sembuh jika telah melalui perjalanan penyembuhan dari kondisi berat ke baik dan rawat jalan dengan perubahan klinis ketika pasien mampu beradaptasi dan hasil tes usap (swab) dua kali negatif.

"Kita melihat pasien COVID-19 yang melalui perjalanan penyembuhan dari kondisi berat kemudian kondisi baik dan rawat jalan, kemudian terjadi perubahan klinis ketika pasien mampu melakukan suatu adaptasi secara mandiri lalu dengan hasil tes swab dua kali negatif, artinya pasien tersebut telah sembuh," ujar Kepala Divisi Penyakit Tropik Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto itu dalam talk show Info Corona di Jakarta.

Soroy mengatakan, durasi rata-rata perawatan pasien COVID-19 bervariasi, tergantung pada kondisi masing-masing pasien. Menurutnya, pasien dengan penyakit komorbid tertentu akan menjalani perawatan yang cukup lama. Sementara pasien tanpa penyakit penyerta, lama perawatan umumnya dua minggu.

Peneliti bidang mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra mengatakan bahwa respons setiap pasien terhadap Virus Corona penyebab COVID-19 berbeda-beda.

"Mungkin banyak juga kasus-kasus asimptomatik yang tidak menimbulkan gejala sama sekali. Itu mungkin viral clearance-nya lebih cepat daripada mereka yang memiliki gejala sedang atau lebih parah," kata Sugiyono saat dihubungi Health Liputan6.com pada Kamis (2/7/2020).

Sugiyono mengungkapkan, rekomendasi dari World Health Organization (WHO) beberapa waktu lalu telah merevisi ketentuan syarat seseorang dinyatakan sembuh COVID-19, usai dua kali negatif dari tes swab. Langkah ini yang menurutnya juga diambil oleh Indonesia.

"Karena ada yang sampai berminggu-minggu ternyata masih positif terus padahal dia sudah tidak ada gejala sama sekali."

Sugiyono mengatakan penelitian terbaru menemukan bahwa setelah sekitar 8 atau 10 hari, virus tersebut sudah tidak infeksius (menular) meskipun masih terdeteksi dalam tubuh.

"Memang kalau menunggu sampai betul-betul virusnya hilang dari tubuh mungkin agak lama, tapi sebetulnya fase infectious-nya sudah hilang," ujarnya.

Namun ia menambahkan, hasil studi tersebut kemungkinan bisa berbeda-beda. Selain itu, penelitian terkait Virus Corona juga masih terbilang dinamis dan bisa mengubah kesimpulan tersebut.

"Tapi itu hasil penelitiannya mungkin berbeda-beda ya. Tapi ada yang menyatakan setelah 8 atau 10 hari kalau tidak salah memang sudah tidak lagi infectious, jadi sudah tidak bisa lagi menularkan."

Terkait kekebalan tubuh atau imunitas seseorang, Sugiyono mengatakan hal itu memang berpengaruh.

"Kalau dia kuat, dia bisa melawan virus itu. Misalkan dia immunocompromised patient ya agak susah juga, bahkan bisa menimbulkan komplikasi," ujarnya.

Sementara terkait apakah kemungkinan ada pelemahan dari Virus Corona SARS-CoV-2 yang juga berpengaruh pada kesembuhan seseorang, Sugiyono tidak bisa memastikan hal tersebut. Apalagi, setiap wilayah atau kasus mungkin saja memiliki perbedaan pada virus yang ditemukan.

"Itu tidak bisa disimpulkan secara global sih. Mutasinya kan juga berbeda-beda. Virus di Indonesia bagaimana, virus di Amerika dan Brasil dengan angka kematian tinggi bagaimana. Karena sudah bereplikasi berkali-kali, turunannya juga bisa lebih banyak lagi." 

 

3 dari 5 halaman

Upaya Penanganan COVID-19 Melalui Obat

Dokter spesialis Paru, dr. Erlina Burhan mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 faktanya menyebabkan lebih dari 51 ribu orang Indonesia dilaporkan terjangkit dan berbahaya, karena lebih dari 2.600 orang Indonesia yang meninggal.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Jakarta ini juga menjelaskan, bahwa pada kasus COVID-19 setiap orang bisa memiliki gejala yang kadang-kadang tidak khas atau bisa terjadi tanpa gejala.

"Semua sudah tahu, karena ini virus gejalanya demam, nyeri kepala, nyeri otot, gangguan penciuman, pengecapan, nyeri tenggorokan, batuk, dan sesak yang terjadi tiba-tiba. Demikian juga kalau virusnya mengenai dinding di saluran cerna akan timbul gejala mual, muntah, nyeri perut atau diare," terangnya dalam acara Diskusi Publik Polemik Beragamnya Klaim Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal COVID-19 yang ditengahi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Tak hanya itu, gejala pada organ lain juga bisa muncul seperti gangguan pada otak berupa stroke, kejang, inflamasi pada otak. Pada mata terjadi konjungtivitis, ada gangguan kardiovaskular, gangguan ginjal dan neurologis.

Lalu, lanjut dia, derajat keparahan penyakit ini bervariasi 80 persen ringan, tapi 20 persen perlu perawatan di rumah sakit. "Dan yang mengkhawatirkan adalah lima persen yang butuh alat bantu napas, dan kemudian dua sampai tiga persen di antaranya meninggal dunia."

"Pemeriksaan penunjang yang dilakukan di rumah sakit adalah foto toraks, bilamana kita tidak jelas melihat pneumonia pada pneumotoraks, kita bisa melakukan CT scan," jelasnya.

Tapi jangan lupa melakukan tes darah perifer lengkap karena dokter bisa menskrining pasien. "Di sini kita menemukan kelainan-kelainan tertentu. Dan yang paling penting sebagai goal standar adalah pemeriksaan PCR, bukan rapid test," kata dokter yang mendapatkan gelar spesialis di Universitas Indonesia pada 2004 lalu ini.

Untuk pengobatan, kata Erlina, dokter berpatokan pada dua buku. Pertama adalah Informatorium Obat COVID-19 yang diterbitkan BPOM. Kemudian juga "Protokol Tatalaksana COVID-19" yang diterbitkan lima organisasi profesi yaitu PDPI, PAPDI, PERKI, IDAI, dan Perdatin. 

Hal senada mengenai pengobatan COVID-19 juga disampaikan oleh Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Prof. dr. Akmal Taher SpU(K), Ph.D. Dengan mengacu pada beberapa pengalaman negara-negara lain serta rekomendasi berbagai institusi kesehatan dalam menghadapi infeksi Virus Corona baru, para pakar di Indonesia yang berasal dari lima organisasi profesi merumuskan pengobatan yang paling cocok untuk diterapkan di Indonesia. Hal itu disampaikan Akmal Taher dalam talk show yang disiarkan daring, Senin (29/6/2020). 

Rumusan tersebut yang kemudian diberikan pada Kementerian Kesehatan RI untuk disahkan sebagai panduan tatalaksana COVID-19. Meski demikian, Akmal mengatakan panduan tersebut bisa berubah sewaktu-waktu kala ditemukan perkembangan terbaru mengenai pengobatan COVID-19, salah satunya dengan adanya temuan Dexamethasone yang dinilai efektif pada pasien COVID-19 dengan kondisi parah.

 

 

4 dari 5 halaman

Perkembangan Terapi COVID-19

"Karena kita belum ada obat yang spesifik, maka pemberian obat-obatnya adalah berdasarkan empiris, pengalaman dari negara-negara lain dan juga (dari) expert. Jadi saat emergensi, kita ada beberapa pilihan, yaitu azitromisin, pemberian klorokuin yang fosfat maupun hidroksiklorokuin," kata Erlina.

Beberapa opsi untuk terapi :

- Azitromisin

- Klorokuin fosfat / Hidroksiklorokuin

- Antivirus: Oseltamivir, Favipiravir, Kombinasi lopinavir + ritonavir, Remdesivir

Beberapa pilihan terapi lain (HostModifiers/Immune-Based Therapy):

- Stem cell therapy

- Plasma convalescent therapy

- Inhibitor IL-6 (Tocilizumab,Sarilumab, Siltuximab)

- Inhibitor IL-1 (Anakinra)

- Interferon

- Human immunoglobulin

- Imunomodulator lainnya

- Steroid

"Kita tawarkan sesuai dengan ketersediaan yang ada, yaitu Oseltamivir, Favipiravir atau avigan, kemudian aluvia yaitu kombinasi lopinavir dan ritonavir, demikian juga yang baru masuk yaitu Remdesivir," jelas Erlina.

Namun demikian pada kondisi tertentu--ketika pasien yang tidak merespons obat-obatan standar ini maka saat ini ada beberapa pilihan.

"Meskipun masih uji klinik, kita coba dengan stem cell therapy, plasma convalescent therapy, Inhibitor interleukin-6. Kemudian juga pemberian human immunoglobulin dan imunomodulator, dan terakhir adalah steroid. Nah, khusus untuk immunomodulator ini banyak sekali sekarang obat-obat memang yang ditawarkan, ya," katanya.

"Kalau di rumah sakit kita masih menggunakan vitamin C saja atau multivitamin. Tapi di luaran sekarang ditawarkan berbagai macam herbal atau jamu. Tapi tentu saja saya kira perlu uji klinis, ya," katanya lagi.

Sementara penggunaan obat hydroxychloroquine digunakan untuk pengobatan pasien COVID-19 dengan kondisi khusus. Obat ini digunakan terbatas, hanya dapat dibeli dengan resep dan sesuai petunjuk dokter karena termasuk dalam obat keras.

Di Indonesia, obat tersebut sudah memiliki izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk beredar namun dengan kriteria tertentu. “Hydroxycloroquine ini diberikan oleh BPOM izin penggunaan dalam kondisi emerjensi atau yang kita kenal dengan nama emergency use authorization,” ujar Direktur Registrasi Obat (BPOM) Dr.dr. Rizka Andalucia, M. Pharm., Apt. di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, Senin (29/6).

Selain hydroxycloroquine dan cloroquine, dexamethasone juga sudah lama memiliki izin edar BPOM untuk indikasi non-COVID. Dexamethasone pun termasuk kategori obat keras. 

Mengenai hydroxycloroquine, Rizka mengatakan, berdasarkan studi dari Universitas Oxford di Inggris, emergency use authorization untuk hydroxycloroquine sudah diberhentikan oleh WHO dan FDA. Hasil studi menunjukkan, penggunaaan hydroxycloroquine tidak bermakna. 

"Hasilnya memang menunjukkan tidak bermakna dibandingkan dengan yang tidak diberikan hydroxycloroquine. Tetapi kondisi dan pasiennya berbeda. Oleh karena itu, untuk sementara waktu kami masih memberlakukan emergency use authorization," terang Rizka. 

Di Indonesia, hydroxycloroquine masih digunakan dan masih diteliti oleh perhimpuan profesi. Sejauh ini, penggunaan obat tersebut tidak menunjukkan efek samping seperti di negara lain. Ketika hasil dari penelitian tersebut sudah muncul dan terbukti menunjukkan ketidakbermanfaatan emergency use authorization terhadap hydroxycloroquine akan dihentikan. 

Hal tersebut juga diungkap oleh Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Ketua Umum PDPI Dr. dr. Agus Dwi Susanto Sp.P(K). Ia mengatakan bahwa penggunaan obat ini masih cukup aman pada populasi di Indonesia. Hal ini dilihat dari data awal yang menunjukkan bahwa hydroxychloroquine hanya memberikan efek samping ringan dan tidak meningkatkan risiko kematian. Selain itu, data awal juga menunjukkan bahwa penggunaan hydroxychloroquine menurunkan lama waktu rawat.

"Tapi kita tentu menunggu hasil akhir dari riset yang sedang dilakukan, kalau hasil akhirnya ternyata memang tidak efektif, tentu kami akan merekomendasikan hal yang berbeda dan akan dihentikan," jelasnya.

Rizka menyebut, ada syarat penggunaan darurat ketiga obat tersebut. Ia menjelaskan bahwa penggunaan obat tersebut harus dengan pengujian uji klinik yang selanjutnya dilakukan pemantauan terhadap keamanan dari obat tersebut. Kedua, obat tersebut hanya dapat digunakan selama masa pandemi. Ketiga dan terakhir, dilakukannya peninjauan ulang setiap kali terdapat data terbaru terkait efektivitas atau khasiat dan keamanan dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap obat tersebut.

 

5 dari 5 halaman

Pasien Sembuh Berpotensi Tertular Lagi

Angka kesembuhan pasien COVID-19 di Indonesia menunjukkan tren positif. Namun bukan berarti virus telah tertangani. Faktanya, hingga kini belum ditemukan obat atau pun vaksin COVID-19. 

Erlina Burhan menekankan dalam diskusi publik beberapa hari lalu bahwa obat maupun vaksin untuk mencegah penularan COVID-19 masih belum ditemukan sehingga masyarakat tetap harus disiplin menerapkan protokol kesehatan.

Selain itu, Kepala Divisi Penyakit Tropik Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto Soroy Lardo juga menyampaikan, pasien COVID-19 yang sudah dinyatakan sembuh masih mungkin terinfeksi Virus Corona kembali. 

"Proses keilmuan (virus SARS-CoV-2) sampai saat ini masih kita teliti. Kalau seorang pasien sudah sembuh, kemungkinan terinfeksi dan positif kembali masih mungkin," jelas Soroy.

Penelitian virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 masih berjalan, sehingga pasien yang telah sembuh, masih berpotensi terinfeksi dan positif kembali.

Oleh karena itu, para pasien yang sudah sembuh wajib mematuhi protokol kesehatan. Penerapan pola hidup bersih dan sehat berkonsep high vigilance (kewaspadaan tinggi) pada masyarakat harus terus ditanamkan.

Perilaku masa Adaptasi Kebiasaan Baru, seperti social distancingphysical distancing, penggunaan masker, cuci tangan dapat mencegah penularan COVID-19.