Liputan6.com, Jakarta Setelah melalui masa-masa sulit dirawat di rumah sakit karena COVID-19, pasien biasanya diperbolehkan pulang. Namun menurut ahli, proses pemulihan mereka belum selesai. Ada sejumlah penyakit yang muncul dan mungkin mengintai seumur hidup.
Seperti disampaikan Dr. David Putrino, Direktur Inovasi Rehabilitasi di Mount Sinai Health System di New York City mengatakan, pasien-pasien yang sembuh dari COVID-19 menyisakan masalah seperti jaringan parut, peradangan di paru-paru, jantung, ginjal, hati, atau kerusakan organ lainnya, termasuk masalah kemih dan metabolisme.
Baca Juga
Zijian Chen, seorang Direktur Medis New Center for Post-Covid Care di Mount Sinai Health System pun menambahkan bahwa masalah terbesar adalah sesak napas yang dapat menyebabkan gangguan pada paru-paru atau jantung atau masalah pembekuan darah.
Advertisement
"Beberapa orang mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh yang membuat mereka sulit bernapas," katanya, seperti dikutip Nytimes.
Beberapa bahkan menggunakan oksigen di rumah, tetapi itu tidak cukup membantu mereka.
Banyak pasien juga mengalami kelemahan otot setelah berbaring di ranjang rumah sakit begitu lama, kata Dr. Dale Needham, seorang dokter perawatan kritis di Fakultas Kedokteran Johns Hopkins dan pemimpin dalam bidang pemulihan perawatan intensif. Akibatnya, mereka bisa kesulitan berjalan, menaiki tangga atau mengangkat benda.
Pasien yang kembali ke rumah setelah dirawat di rumah sakit karena kegagalan pernapasan yang parah dari virus penyebab COVID-19 pun menghadapi masalah fisik, neurologis, kognitif dan emosional.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Kerusakan saraf
"Kerusakan saraf atau kelemahan juga dapat mengurangi kekuatan otot, kata Dr. Needham. Masalah neurologis dapat menyebabkan gejala lain juga.
Dr. Chen mengatakan bahwa rumah sakit di Mount Sinai telah merujuk hampir 40 persen pasien sembuh COVID-19 ke ahli saraf karena kelelahan, kebingungan, dan gangguan mental.
Kebanyakan pasien yang ditemui Dr.Chen mengatakan tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan. "Saya sudah pulih, saya tidak punya masalah pernapasan, saya tidak sakit dada, tapi saya tidak bisa kembali bekerja karena saya tidak bisa berkonsentrasi."
“Sangat umum bagi pasien mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan kecemasan pasca-trauma setelah melalui fase pengobatan COVID-19. Seperti misalnya mimpi buruk, depresi dan cemas karena mengingat apa yang terjadi sebelumnya,” kata Dr. Lauren Ferrante, seorang dokter paru dan perawatan kritis di Yale School of Medicine yang mempelajari post-ICU hasil pemulihan.
Masalah emosional ini diperparah bila pasien tidak mendapatkan kunjungan dari keluarga dan teman, kata para ahli.
Adapun pasien yang rentan pulih pasca-trauma COVID-19 ini seperti:
- Pasien yang sudah lemah dan membutuhkan rawat inap lebih lama,
- Sudah tua dan memiliki kondisi medis lain,
- Siapapun yang dirawat di ICU dan dipakaikan ventilator dalam waktu lama,
- Pasien yang menjalani sedasi (terapi obat berkepanjangan),
- Memiliki interaksi sosial yang terbatas dan tidak dapat bergerak. Karena dapat menimbulkan fenomena yang disebut delirium rumah sakit, yaitu suatu kondisi yang dapat melibatkan halusinasi paranoid dan cemas kebingungan.
Advertisement
Berapa lama masalah ini bertahan?
Bagi kebanyakan orang, masalah paru-paru cenderung pulih dalam beberapa bulan. Tetapi masalah lainnya dapat bertahan tidak bisa pulih seutuhnya, kata para ahli.
Salah satu patokan adalah studi New England Journal of Medicine 2011 yang meneliti 109 pasien di Kanada yang telah dirawat karena sindrom gangguan pernapasan akut, atau ARDS (gangguan pernapasan berat yang menimpa banyak pasien COVID-19). Lima tahun kemudian, sebagian besar telah mendapatkan kembali fungsi paru normal atau hampir normal tetapi masih berjuang dengan masalah fisik dan emosional yang persisten.
Para pasien dalam penelitian ini menderita ARDS, termasuk pneumonia, sepsis, pankreatitis atau luka bakar. Mereka memiliki masa tinggal rata-rata 49 hari di rumah sakit, termasuk 26 hari di I.C.U. dan 24 hari dengan ventilator.
Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Needham dari Johns Hopkins menemukan bahwa pasien memiliki kelemahan otot fisik juga pernapasan mereka.
Berdasarkan penelitian lain, diperkirakan gejala psikologis dan kognitif pada pasien bertahan dua hingga lima tahun masa perawatan. Salah satunya penelitian terhadap pasien SARS tahun 2003, jenis lain coronavirus, menemukan bahwa setahun kemudian banyak yang memiliki tingkat depresi, kecemasan, dan gejala pasca-trauma yang mengkhawatirkan.
Apa konsekuensinya?
Kemungkinan pasien mengalami kesulitan untuk kembali ke pekerjaan mereka. Sebuah tim yang dipimpin oleh Dr. Needham menemukan bahwa hampir sepertiga dari 64 pasien ARDS yang mereka ikuti selama lima tahun tidak pernah kembali bekerja.
Beberapa orang mencoba tetapi ternyata mereka tidak dapat melakukan pekerjaan mereka dan berhenti bekerja sama sekali, sedangkan yang lainnya terpaksa harus mengubah pekerjaan mereka, khususnya untuk pekerjaan yang kurang menantang dan mungkin lebih sedikit bayarannya, kata Dr. Needham.
Dr. Chen mengkhawatirkan konsekuensi jangka panjang dari COVID-19 dapat menyerupai efek seperti pandemi AIDS.
"Mungkin ada ratusan ribu orang yang akan menderita sindrom kronis ini yang mungkin membutuhkan waktu lama untuk sembuh, dan itu akan menjadi masalah kesehatan yang sangat besar dan juga masalah ekonomi yang besar jika kita tidak merawat mereka," kata Dr. Chen.
Upaya rumah sakit di AS membantu pasien ketika mereka pulang?
Di Amerika, terdapat berbagai program pemulihan untuk pasien COVID-19 seperti di Mount Sinai, Yale, Johns Hopkins, dan di tempat lain, menawarkan pasien konsultasi via video call dan beberapa pasien kontrol dengan tatap muka.
Itu karena beberapa pasien memerlukan obat untuk mengatasi sesak napas, masalah jantung, atau pembekuan darah. Beberapa obat yang diberikan di rumah sakit juga mungkin tidak sesuai untuk pasien dengan perawatan lanjutan di rumah, ujar Dr. Ferrante.
Tetapi juga tidak semuanya diatasi dengan obat. Misalnya pasien membutuhkan spirometer, alat yang mengukur seberapa banyak udara yang bisa dihirup seseorang dan seberapa cepat, digunakan untuk pasien dengan pemulihan masalah pernapasan.
Lalu terapi fisik untuk membantu memulihkan kekuatan otot, gerakan, dan fleksibilitas. Kemudian ada juga terapi okupasi untuk membantu orang agar mampu kembali melakukan tugas sehari-hari, seperti belanja dan memasak. Lalu juga ada terapi wicara untuk membantu masalah menelan dan masalah pita suara.
"Karena masalah yang yang dialami pasca-perawatan COVID-19 beragam, semua masalah tersebut harus dikelola dengan benar," kata Dr. Putrino.