Sukses

Studi Baru Ungkap Sindrom Broken Heart Meningkat saat Pandemi COVID-19

Menurut penelitian baru-baru ini yang diterbitkan di Journal of the American Medical Association (JAMA) Open Network pada 9 Juli, insiden stres kardiomiopati (umumnya dikenal sebagai sindrom patah hati) meningkat

Liputan6.com, Jakarta Sejak kasus COVID-19 pertama ditemukan, sudah banyak warga yang mengalami peningkatan kecemasan psikologis, sosial dan ekonomi. Ternyata stres ini berdampak pada kesehatan jantung.

Menurut penelitian baru-baru ini yang diterbitkan di Journal of the American Medical Association (JAMA) Open Network pada 9 Juli, insiden stres kardiomiopati (umumnya dikenal sebagai sindrom patah hati, sindrom Takotsubo, atau kardiomiopati Takotsubo) meningkat di antara pasien yang mengalami sindrom koroner akut (ACS), atau berbagai kondisi yang menyebabkan aliran darah ke jantung mendadak berkurang, dilansir dari Health.

“Pandemi COVID-19 telah meningkatkan stres dalam kehidupan orang di seluruh dunia. Orang-orang tidak hanya khawatir tentang diri mereka sendiri atau keluarga mereka menjadi sakit, mereka juga berhadapan dengan masalah ekonomi dan emosional, masalah sosial dan potensi kesepian dan isolasi,” kata Ankur Kalra, MD, ahli jantung Klinik Cleveland di Bagian Kardiologi Invasif dan Intervensional dan Pengobatan Kardiovaskular Regional, sekaligus penulis utama studi tersebut.

Menurut Ankur, stres dapat berdampak fisik, baik pada tubuh maupun pada jantung kita, sebagaimana dengan adanya bukti meningkatnya diagnosis stres kardiomiopati yang kita alami.

Studi ini meneliti data dari dua rumah sakit Cleveland Clinic yang berbeda di Northeast Ohio. Peneliti mengamati kasus stres kardiomiopati pada pasien sindrom koroner akut yang ada pada saat puncak pandemi Covid-19, Maret-April 2020 di Amerika, bersama empat kontrol periode pra-pandemi (Maret-April 2018, Januari-Februari 2019, Maret-April 2019, dan Januari-Februari 2020).

Para peneliti mengidentifikasi total 20 kasus stres kardiomiopati selama pandemi coronavirus, peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan 5 hingga 12 kasus stres kardiomiopati selama masa pra-COVID.

Perlu dicatat bahwa semua pasien selama pandemi COVID-19 dinyatakan negatif penyakit COVID-19. Pasien dengan stres kardiomiopati juga lebih lama tinggal di rumah sakit selama pandemi coronavirus, dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit sebelum terdampak COVID-19.

 

Simak Video Menarik Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Mirip gejala serangan jantung

Siaran pers Klinik Cleveland mencatat bahwa stres kardiomiopati, mirip gejala serangan jantung tetapi biasanya tidak berakibat fatal, tidak sepenuhnya dipahami.

Kondisi ini pertama kali dijelaskan dalam literatur medis Jepang pada tahun 1990 sebagai Takotsubo cardiomyopathy, Richard Stein, MD, seorang ahli jantung dan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas New York, sebelumnya mengatakan kepada Health.

Referensi tersebut berasal dari pot berbentuk vas bernama serupa, yang digunakan untuk menjebak gurita di Jepang, yang memiliki leher tipis dan keluar balon di area tubuh gurita yang tersangkut. Bagian bawah jantungnya dapat mengembang keluar dan menyerupai bentuk perangkap, jelas dr. Richard.

Sementara ini para peneliti dan dokter tidak sepenuhnya yakin tentang apa yang menyebabkan kardiomiopati stres atau sindrom patah hati. Namun, mereka percaya itu dipicu oleh reaksi seseorang terhadap peristiwa stres secara fisik atau emosional.

Respons tubuh terhadap stres itu adalah pelepasan hormon stres yang sementara waktu mengurangi kemampuan jantung untuk memompa, pada akhirnya menyebabkannya berkontraksi kurang efisien atau lebih tidak teratur daripada pola umumnya.

American Heart Association juga mengatakan bahwa wanita lebih cenderung menderita sindrom patah hati dibandingkan pria yang kemungkinan besar terkait dengan stres akibat kematian orang yang dicintai atau perceraian.

Untungnya, pasien dengan stres kardiomiopati atau sindrom patah hati umumnya sembuh dalam hitungan hari atau minggu. Kondisi ini memang jarang berakibat fatal dan biasanya dapat diobati dengan obat jantung untuk menurunkan tekanan darah dan memperlambat detak jantung selain obat yang dapat membantu mengelola stres.

Namun dengan kondisi pandemi yang terus mengalami peningkatan menunjukkan bahwa selain menjaga kesehatan fisik, penting juga untuk memprioritaskan kesehatan mental dan tingkat stres.

"Sementara pandemi terus berkembang, perawatan diri selama masa sulit ini sangat penting bagi kesehatan jantung kita, dan kesehatan kita secara keseluruhan. Bagi mereka yang merasa kewalahan oleh stres, penting untuk menjangkau penyedia layanan kesehatan," kata Grant Reed, MD, MSc, direktur program STEMI (ST-elevation myocardial infarction) Cleveland Clinic dan senior penulis untuk penelitian ini.