Liputan6.com, Jakarta Psikiater Andreas Kurniawan berbagi cerita tentang anaknya, Hiro, yang lahir dengan Moebius syndrome di akun Twitter pribadinya, @ndreamon.
Kondisi tersebut membuat sang anak yang lahir pada 27 Juni 2020 tidak memiliki ekspresi wajah termasuk tidak menangis saat dilahirkan.
Baca Juga
Melansir Rarediseases.org, Moebius syndrome adalah kondisi neurologis langka yang ditandai dengan kelemahan atau kelumpuhan beberapa saraf kranial atau saraf otak yang berhubungan dengan pergerakan kepala, leher, dan saraf wajah.
Advertisement
Kelainan bawaan ini dapat membuat bayi tidak dapat tersenyum, mengerutkan kening, mengerutkan bibir, menaikkan alis, atau menutup kelopak mata. Termasuk kurang berkembangnya otot-otot dada dan kelainan pada tungkai.
Sindrom Moebius tidak progresif. Penyebab pastinya tidak diketahui. Sejauh ini diketahui terjadi secara acak (sporadis) dalam banyak kasus. Namun, beberapa kasus terjadi dalam keluarga yang menunjukkan bahwa mungkin ada komponen genetik.
National Organization for Rare Disorders menyebut bahwa angka dari kasus Moebius syndrome yang sesungguhnya tidak diketahui. Namun, beberapa mengestimasikan setidaknya kondisi ini terjadi pada 1 dari 50 ribu kelahiran di Amerika Serikat. Sementara menurut GHR, beberapa peneliti menyatakan kondisi ini terjadi pada 1 dari 500 ribu kelahiran.
Simak Video Berikut Ini:
Gejala Moebius
Kelainan dan keparahan sindrom Moebius sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain. Kriteria diagnostik yang diterima secara klasik meliputi kelumpuhan wajah atau kelemahan yang mempengaruhi satu atau kedua sisi wajah (saraf kranial VII). Sedang, masalah pada saraf kranial VI dapat menyebabkan kelumpuhan gerakan mata.
“Sayangnya, Hiro spesial. Dia mengalami lebih dari itu. Dia juga mengalami masalah saraf kranial X. Fungsinya: menelan. Makhluk hidup tanpa kemampuan menelan tampaknya bukan desain yang baik,” cerita Andreas.
Bayi dengan sindrom Moebius dapat mengeluarkan air liur secara berlebihan dan menunjukkan mata juling (strabismus). Karena mata tidak bergerak dari sisi ke sisi (lateral), anak terpaksa memutar kepala untuk mengikuti objek. Ulserasi kornea dapat terjadi karena kelopak mata tetap terbuka selama tidur.
Bayi yang tidak memiliki ekspresi wajah sering digambarkan memiliki wajah "seperti topeng" yang sangat jelas ketika tertawa atau menangis. Bayi yang terkena mungkin juga mengalami kesulitan makan, termasuk masalah menelan dan mengisap yang buruk.
Ada berbagai macam kelainan tambahan seperti rawan mengalami infeksi telinga (otitis media). Selain itu, dapat terjadi juga kurang berkembangnya bagian luar telinga (mikrotia) atau tidak memiliki bagian luar telinga sama sekali (anotia).
Jika saraf kranial VIII terkena, kemungkinan ada gangguan pendengaran. Kelainan gigi tidak jarang terjadi. Ada peningkatan risiko untuk gigi berlubang di masa kecil. Beberapa anak yang terkena dampak mengalami kesulitan atau keterlambatan dalam perkembangan kemampuan bicara.
Advertisement