Liputan6.com, Jakarta Pandemi flu Spanyol 1918 rupanya dapat menjadi pijakan cara menangani COVID-19 yang tengah melanda dunia saat ini. Informasi menyeruak seputar pemberitaan hoaks, konspirasi, dan penyebutan rekayasa pandemi saat flu Spanyol juga serupa dengan apa yang kita alami di tengah COVID-19.
Namun, pemerintah Hindia-Belanda melalui Dinas Kesehatan Hindia Belanda dan Komisi Antiflu bersikap tanggap dan sadar. Bahwa melawan pandemi flu Spanyol harus dengan kolaborasi erat antar lembaga dan komunikasi publik berbasis sains. Adanya komunikasi publik berbasis sains menjadi benteng melawan penyebaran informasi hoaks.
Advertisement
Komisi Anti Flu di Hindia-Belanda dibentuk untuk menangani pandemi flu Spanyol. Sejumlah kebijakan tegas yang dikeluarkan, dari karantina sampai edukasi pengetahuan kepada masyarakat. Upaya ini juga menekan terjadinya korban yang berjatuhan.
"Ada pelajaran sejarah (pandemi flu Spanyol) yang bisa kita ambil. Harus dibentuk sebuah lembaga/institusi yang khusus menangani pandemi. Kalau sekarang kan kita ada Satgas COVID-19. Fungsinya sama, bagaimana sebuah badan pengatur koordinasi antar lembaga," tutur penulis buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda (2019), Arie Rukmantara saat talkshow di Media Center Satgas COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, kemarin (3/8/2020).
"Karena ternyata yang namanya pandemi, bukan hanya urusan kesehatan, tapi melingkupi aspek-aspek lain. Pertama, urusan pelabuhan. Di sini, kan ada pergerakan orang masuk dan keluar. Ini kan berbahaya. Kedua, urusan masyarakat. Bagaimana cara menerangkan pengetahuan soal pandemi kepada masyarakat. Ketiga, urusan peraturan, yang juga ada ketegasan."
Komisi Anti Flu Hindia-Belanda melakukan kegiatan yang mengatur karantina; sosialisasi kesehatan masyarakat, yang mana pengetahuan masyarakat ditingkatkan lewat pamflet, ambulans yang keliling-keliling, dan lain-lain; serta peraturan sanksi.
Peraturan yang dikeluarkan pada 1971 mengatur edukasi dan rekayasa keluar masuk orang dan lain-lain. Kemudian ada juga sanksi, baik sanksi kepada petugas maupun sanksi kepada orang yang melanggar.
"Seperti sekarang COVID-19 ini, harus tegas juga peraturannya. Kan sudah dikasih tahu soal jaga jarak dan pakai masker. Kalau sakit ya harus berobat," lanjut Arie.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Tekan Kepanikan Masyarakat
Upaya pembentukan Komite Anti Flu yang khusus menangani pandemi flu Spanyol juga mengatasi kepanikan masyarakat. Dalam hal ini, diperlukan kerjasama yang erat untuk menangani pandemi. Apalagi pandemi flu Spanyol juga cepat dalam penyebaran dan penularannya seperti COVID-19 yang kita hadapi sekarang.
"Kalau kita lihat, pada waktu pandemi flu Spanyol, jumlah penduduk yang padat mendukung adanya polanya penyebaran yang besar. Dengan melihat sejarah kembali soal pola kebijakan dan perilaku masyarakat seperti apa yang menyebabkan korban semakin banyak berjatuhan, upaya untuk menanganinya, itu tidak boleh menjadi tanggung jawab satu orang atau satu lembaga saja," tambah Arie.
"Kenapa begitu? Pertama, terkait dengan kepanikan masyarakat yang terus mencari informasi. Kalau informasinya salah, biasanya akan terjadi kecuekan, ketidakpatuhan atau ketidakacuhan. Jadi, sangat bahaya. Ini bisa sering dilupakan, seperti sekarang ini, orang ada yang lupa pakai masker."
Pandemi flu Spanyol yang terjadi tiga gelombang sejak awal Maret 1918 sampai 1919 juga menjadi cikal bakal terbentuknya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sebuah lembaga yang berfokus dalam penanganan pandemi serta kinerja berbasis sains. Terobosan-terobosan ilmu pengetahuan dan cakupan jalinan antar negara menjadi upaya kuat melawan pandemi.
"Salah satu yang diuntungkan dengan pandemi flu Spanyol 1918 adalah terbentuknya Organisasi Kesehatan Dunia. Ini memastikan bahwa kita berbagi ilmu, berbagi sampel, kita juga berbagi informasi karena selalu ada terobosan ilmu pengetahuan yang baru, termasuk vaksin, obat, dan lain-lain. Saat ini terbukti nyata bahwa dengan ditemukannya beberapa vaksin akan memudahkan bagi kita untuk melihat kanan ke kiri gitu ya, negara mana saja yang sudah lebih maju," jelas Arie.
"Lalu bagaimana kita kolaborasi, tidak harus sendiri ya karena vaksin berguna bagi seluruh bangsa dan masyarakat di seluruh dunia, tidak hanya Indonesia. Kita juga mengetahui perubahan-perubahan si virus setiap harinya. Nah, ini bisa difasilitasi dengan adanya Organisasi Kesehatan Dunia."
Dari sisi komunikasi publik berbasis sains, Arie menegaskan, setiap informasi yang keluar harus berlandaskan ilmu pengetahuan. Perlu ada verifikasi dari lembaga/institusi yang didukung bukti-bukti ilmiah. Hal ini juga berkaitan kelengkapan edukasi kepada masyarakat.
Advertisement
Kesehatan dan Ekonomi Sama Pentingnya
Demi menekan korban akibat pandemi flu Spanyol, pemerintah Hindia-Belanda tidak membeda-bedakan antara permasalahan kesehatan dan ekonomi. Dampak pandemi flu yang menyasar kesehatan dan ekonomi ditangani secara bersama dan beriringan.
"Kalau belajar dari sejarah bagaimana cara menangani pandemi flu Spanyol menunjukkan bahwa tidak perlu didikotomikan (dibedakan, dipisahkan) antara ekonomi dan kesehatan. Dinas Kesehatan Hindia Belanda pada waktu itu menilai, antara kesehatan dan ekonomi sama pentingnya," jelas Arie, yang juga Koordinator Tim Komunikasi Publik Satuan Tugas Penanganan COVID-19.
"Mereka sadar bahwa penting melakukan upaya pencegahan pandemi supaya tidak meluas dan Hindia Belanda tetap berkontribusi memproduksi, terutama rempah-rempah dan sumber daya alam lainnya."
Dari dampak dari pandemi flu Spanyol terbentuk organisasi-organisasi yang sebenarnya fokus pada bidang kesehatan dan ekonomi. WHO terbentuk dari ide-ide karena terlalu banyak wabah. Seiring dengan itu, terbentuk organisasi bidang ekonomi dunia, yang membahas dampak pandemi berkaitan dengan ekonomi, misalnya munculnya World Bank.
Permasalahan pandemi yang menyasar kesehatan juga mengiringi perjalanan hidup manusia. Arie menyebut, pola pandemi yang terjadi dapat berulang, salah satunya pandemi flu.
Sebagaimana termaktub dalam buku sejarah pandemi flu Spanyol 1918, pandemi dapat muncul dengan rentang-rentang waktu tertentu di berbagai belahan dunia. Bahkan dikatakan bahwa bisa jadi setahun sekali atau 18 bulan sekali.
Di sisi lain, kemunculan pandemi memunculkan anggapan adanya konspirasi.
"Sebenarnya setiap bulan, kita bisa saja ketemu penyakit-penyakit baru. Tapi kita bisa lihat, paling tidak pada tahun 1700-an sudah terlihat intervalnya (kejadian pandemi berulang), antara 50 tahun sekali atau 11 tahun sekali. Kita ketemu mana nih pandemi flu, yang paling dekat itu terjadi 1957 dan 1968. Meski begitu pandemi flu 1918 yang paling luar biasa karena menewaskan puluhan juta orang," tutur Arie.
"Kemudian rentang 41 tahun antara 1968 sampai 2009 atau 11 tahun kemudian, muncul ebola pada tahun 2014 di Afrika, MERS-CoV di Arab Saudi tahun 2012. Jadi, sebenarnya pandemi berulang. Nah ini yang agak sulit mencari orang yang mau konsisten dari tahun 1700 sampai 2020 yang melakukan konspirasi dengan menaruh virus di mana-mana. Yang ditemukan justru semuanya sporadis."
Pola Penyebaran Pandemi Flu
Arie menambahkan, ada pembelajaran yang bisa dipetik dari pola penyebaran pandemi flu Spanyol 1918. Serupa dengan COVID-19, pola penyebaran flu lebih banyak terjadi pada area pemukiman padat penduduk. Kota-kota besar yang padat penduduk menjadi area rawan penularan.
"Bahwa penyebarannya di kota-kota besar dan pada masa Hindia Belanda juga banyak orang yang migrasi. Kita melihat pencatatan, misalnya, sekali lagi kita cross-reference dicek data antara arsip sejarah dengan tulisan lain. Dalam buku Pakujoyo Niti Sastra menunjukkan bahwa ada pertumbuhan penduduk di Jawa dan Madura," terang Arie.
"Lalu kita lihat lagi penyebaran penduduk di daerah-daerah di Indonesia, diperkirakan satu setengah juta. Tapi data yang baru menurut kawan kami, bisa sampai 4,2 juta. Mereka tersebar di kota-kota besar di Jawa, seperti Surabaya, Blitar, Kediri, Batavia, Semarang sampai Cirebon."
Adapun istilah pandemi sudah dikenal luas pada masyarakat dunia. Setiap negara dan daerah mempunyai penyebutan istilah pandemi yang berbeda-beda. Arie menyampaikan, dalam beberapa budaya lokal Indonesia juga ditemukan istilah pandemi.
"Di Jawa itu paling sering dikenal dengan istilah pagebluk. Di Tana Toraja disebut raaba byang, Bali grubug, Maluku Utara dikenal sapu rata, dan Lombok dikenal dengan istilah bahle korot. Tapi kita harus tanya lagi lebih banyak di Lombok, seperti apa sejarah pandemi di sana. Karena tantangan sejarah di Indonesia kebanyakan tradisi lisan," ujarnya.
"Istilah pandemi di Nigeria namanya lukuluku gitu. Di daerah Afrika Selatan namanya leroborobo atau semgamaga. Kalau di Namibia namanya kaapito hanga."
Advertisement