Sukses

Jubir Wiku Tegaskan Indonesia Tidak Terapkan Kebijakan Herd Immunity

Jubir Wiku menegaskan pemerintah Indonesia tidak menerapkan kebijakan herd immunity.

Liputan6.com, Jakarta Dalam upaya penanganan COVID-19, Pemerintah Indonesia tidak menerapkan kebijakan herd immunity (kekebalan kelompok). Hal ini ditegaskan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito.

Persoalan herd immunity mencuat dari sejumlah pandangan saat melihat kondisi yang terjadi di Indonesia. Bahwa tidak ada karantina wilayah (lokcdown), dianggap sebagai kebijakan herd immunity.

Apalagi kasus positif COVID-19 di Indonesia nyaris menembus 120.000 orang. Data Satuan Tugas Nasional per 6 Agustus 2020 mencatat penambahan positif COVID-19 ada 1.882, sehingga akumulatif 118.753 orang.

"Soal herd immunity sebagai kebijakan? Jawabannya, tidak. Saya memerhatikan orang-orang berpandangan, bahwa tidak ada lockdown itu berarti mengarah pada herd immunity. Itu keliru," tegas Wiku saat konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (6/8/2020).

Wiku melanjutkan, pengendalian COVID-19 dilakukan dengan hati-hati. Di masa Adaptasi Kebiasaan Baru, Pemerintah Indonesia berupaya mengedukasi masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan.

"Mitigasi COVID-19 selalu dilakukan hati-hati dan dimonitor, termasuk dalam pelonggaran pembatasan," lanjutkan.

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Risiko Herd Immunity

Herd immunity adalah kondisi saat sebagian besar populasi punya daya tahan terhadap penyakit infeksi tertentu. Dalam hal ini, semakin banyak mereka yang kebal pasca terinfeksi suatu penyakit, maka semakin sulit juga bagi penyakit untuk menjangkiti.

Untuk mendapatkan kekebalan kelompok tersebut dapat dilakukan dengan vaksinasi. Namun, sampai saat ini belum ada satupun vaksin COVID-19 di dunia yang tuntas uji klinis.

Pilihan lain penerapan herd immunity, yakni mengandalkan orang-orang yang sembuh dari COVID-19. Dari orang yang sembuh inilah herd immunity bisa terwujud.

Menanggapi herd immunity, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menentang kebijakan tersebut. Ini karena dianggap berisiko lantaran belum ada vaksin untuk COVID-19.

Terlebih lagi bila individu yang terjangkit, kemudian tidak dapat bertahan hingga sembuh, nyawa adalah taruhannya.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute Amin Soebandrio pernah menyampaikan, agar masyarakat tidak mudah terpapar virus Corona di tengah new normal, yakni berperilaku hidup sehat. Caranya, minum vitamin dan menjalankan protokol kesehatan termasuk memakai masker.

"Jadi kalau kita melakukan kehidupan new normal, berarti kita diberi kesempatan melakukan aktivitas, kesempatan produktif, tetapi kita melaksanakannya dengan menjaga agar kita sehat, tidak sakit. Ya, walaupun kita hidup berdampingan dengan virus tadi," pungkasnya.