Liputan6.com, Jakarta Mutasi Virus Corona penyebab COVID-19 terdeteksi di Malaysia. Otoritas kesehatan Negeri Jiran mengidentifikasi adanya strain baru Virus Corona yang dinamai D614G. Deputy General of Health Malaysia Noor Hisham Abdullah menulis dalam media sosial Facebook, Sabtu (15/8/2020) bahwa strain baru Virus SARS-CoV-2 itu sepuluh kali lebih menular dibandingkan strain-strain lainnya.
Mutasi SARS-CoV-2 itu ditemukan di Malaysia ketika seorang pria yang kembali dari India melanggar aturan isolasi mandiri dan menularkan pada setidaknya 45 orang lain. Hasil penanganan 45 kasus infeksi baru itu menunjukkan bahwa setidaknya 3 dari sampel yang diteliti mengandung virus COVID-19 yang bermutasi lebih parah.
Baca Juga
Dalam unggahannya di Facebook, Abdullah juga menyebut temuan tersebut kemungkinan juga berarti bahwa vaksin apa pun yang tengah dikembangkan saat ini bisa jadi tak akan efektif terhadap strain baru tersebut.
Advertisement
Strain virus D416G ini juga disebut mutasi "G". Strain ini merupakan variasi strain Virus Corona baru yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada Desember 2019.
Mengutip South China Morning Post, Virus Corona baru telah bermutasi beberapa kali. Sebuah studi yang dilakukan University of Bologna Italia menemukan bahwa setidaknya ada enam strain dari Virus Corona asli yang menyebabkan pandemi COVID-19. Mutasi pertama Virus Corona itu adalah strain S yang muncul pertama kali pada awal tahun 2020. Kemudian, strain G muncul pada pertengahan Januari hingga sekarang.
Mutasi strain ini tak hanya ditemukan di Malaysia, melainkan juga terdeteksi di Filipina. Genome Center Filipina di Quezon City menemukan mutasi virus tersebut dalam jumlah kecil pada kasus positif baru.
"Pada Juni, baik D614 dan G614 telah terdeteksi pada sampel kecil dari kasus positif," ujar Pusat Genom tersebut, seperti dikutip dari laman Vice. "Meski informasi ini mengonfirmasi keberadaan G614 di Filipina, kami mencatat bahwa semua sampel yang diuji berasal dari Quezon City dan mungkin tidak mewakili gambaran mutasi keseluruhan negara."
Pada 12 Agustus, sebuah hasil penelitian yang diterbitkan oleh Institut Penyakit Menular Nasional Jepang juga menunjukkan bahwa sejak akhir Mei, Virus Corona versi mutasi yang sebelumnya tersebar luas di Eropa merambah Jepang.
Sebagian besar pasien yang baru-baru ini dikonfirmasi positif di Jepang diyakini telah terinfeksi virus akibat mutasi itu, demikian media lokal Jepang.
Satu tim peneliti genomik mengidentifikasi 73 jenis virus corona di Odisha, India, setelah melacak 1.536 sampel, termasuk 752 sampel klinis, seperti dilaporkan media India.
Konsekuensi dari mutasi virus SARS-CoV-2 itu belum jelas. Menurut artikel yang ditulis peneliti di Yale University, Nathan Grubaugh dan rekan-rekannya dan diterbitkan dalam jurnal Cell, dampak mutasi D614G pada penularan, penyakit, dan perkembangan vaksin sebagian besar belum diketahui.
Saksikan juga video menarik berikut ini
Strain D416G, Variasi Virus Corona Baru yang Kini Dominan
Strain virus D416G ini juga disebut mutasi "G". Strain ini merupakan variasi strain Virus Corona baru yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada Desember 2019. Penamaan D614G merujuk pada perubahan asam amino di posisi 614 dari asam aspartik (disingkat menjadi D) menjadi glycine (disingkat G).
Saat ini strain D416G menjadi jenis mutasi virus Corona baru yang paling dominan dalam pandemi COVID-19. Strain ini ditemukan hingga 70 persen pada sekitar 50 ribu genom virus yang diunggah dalam database mutasi SARS-CoV-2.
Umumnya D416G ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa. Namun kini kehadirannya pun meningkat di Asia sejak Maret 2020.
Bagaimana D416G menyebar hingga Asia? Profesor Gavin Smith dari Duke-NUS Emerging Infectious Diseases Programme mengatakan, semua virus menggandakan diri (replikasi) saat menginfeksi inang/manusia.
Virus, seperti Virus Corona atau virus penyebab influenza, melakukan kesalahan dalam proses replikasi. Kesalahan inilah yang muncul sebagai mutasi, jelas Smith.
Belum Ditemukan di Indonesia
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Soebandrio, mengatakan, strain Virus Corona D614G yang terdeteksi di Malaysia dan disebut 10 kali lebih menular belum ditemukan di Indonesia.
"Sampai saat ini belum ditemukan di virus-virus yang ada di Indonesia. D614G itu belum ada," kata Prof Amin saat dihubungi Health Liputan6.com pada Rabu, 19 Agustus 2020.
Namun, Prof Amin tak bisa menyebut mutasi Virus Corona D614G tidak ada di Indonesia, "Kita belum tahu, karena kan virusnya enggak cuma 15, seperti yang sudah kita laporkan, tapi ada yang lain-lainnya."
Akan tetapi dari 15 tipe Virus Corona hasil penelitian Whole Genome Sequencing (WGS), yang Amin dan rekan-rekannya di Eijkman pelajari, tidak ditemukan adanya mutasi Virus Corona D614G.
Lagi pula, lanjut Prof Amin, mutasi Virus Corona yang menyebabkan lebih cepat menular itu baru diamati di laboratorium, "Jadi, belum ditemukan pada kasus-kasus manusia."
Advertisement
Virus Bermutasi Adalah Hal yang Normal
Mutasi adalah bagian dari siklus hidup virus. Meski demikian mereka jarang membawa efek samping yang mengancam ketika terjadi pandemi seperti saat ini. Pada beberapa kasus, mutasi virus bisa berujung pada berkurangnya penularan dan penyebaran, atau bahkan virus menjadi netral.
Terkadang perubahan yang terjadi sebagai bagian mutasi itu sangat kecil sehingga tak tampak. Jenis virus RNA seperti SARS-CoV-2, virus ini cenderung lebih sering bermutasi dibandingkan jenis virus lainnya.
Terkait mutasi Virus Corona D614G, pakar biologi patogen asal Universitas Wuhan, Cina bernama Yang Zhanqiu mengatakan kepada masyarakat bahwa hal tersebut adalah hal normal. "Adalah hal normal bagi virus untuk bermutasi di berbagai negara bahkan di berbagai wilayah dalam satu negara," kata Yang.
"Virus harus beradaptasi dengan DNA masyarakat lokal dan lingkungan setempat," lanjutnya seperti dikutip dari laman Global Times.
Bila China gagal dalam mengendalikan wabah COVID-19, maka bisa ada banyak mutasi Virus Corona di China.
Sejauh ini, Virus Corona baru bermutasi sangat lambat. Menurut para peneliti, alasan utama karena imunitas terhadap virus ini masih rendah terhadap infeksi serta belum tersedianya vaksin.
Meski demikian, belum jelas bagaimana dampak dari mutasi D614G terhadap lingkup sosial. Masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai mutasi terbaru Virus Corona penyebab COVID-19 ini.
Apa Pengaruhnya pada Pengembangan Vaksin?
Mutasi virus seperti D416G dikhawatirkan bisa memengaruhi vaksin yang kini tengah berusaha dibuat oleh banyak perusahaan farmasi. Jika strain membentuk strain baru lebih dari 20 persen mutasi genetik, maka besar kemungkinan vaksin yang dibuat saat ini tidak efektif. Namun, kemungkinan ini, menurut Yang Zhanqiu, sangat rendah.
Mutasi tidak akan mengurangi kemanjuran obat atau vaksin. Sebuah penelitian yang diterbitkan Japan's National Institute of Infectious Diseases memperlihatkan mutasi virus ini telah terjadi pada akhir Mei. Mutasi virus tersebut sudah sampai Eropa.
Peneliti dari Lembaga Biomolekuler Eijkman, Profesor Amin Soebandrio juga menjelaskan bahwa mutasi Virus Corona baru sama sekali tidak akan berpengaruh pada pengembangan vaksin seperti yang dikhawatirkan.
Menurut Amin, virus SARS-CoV-2 menempel pada manusia melalui reseptor ACE2 dengan menggunakan spike protein dan receptor-binding domain (RBD) atau domain pengikat reseptor.
Untuk kasus ini, Amin, mengatakan, RBD tidak memengaruhi ikatan protein spike itu ke reseptor manusia.
"Dan, biasanya, vaksin itu yang diarah juga RBD tadi. Jadi, adanya mutasi itu tidak memengaruhi pengembangan vaksin," katanya.
Peneliti Biotek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr Wien Kusharyoto menyebut bahwa mutasi Virus Corona D614G tidak akan berdampak signifikan pada vaksin COVID-19 yang tengah diuji.
"Sebetulnya, karena ada mutasi D614G itu membuat protein spike. Hal ini memungkinkan genom virus untuk masuk ke dalam sel manusia menjadi lebih stabil. Karena lebih stabil, dia akan terbentuk lebih banyak di permukaan virusnya. Kalau tidak salah ada penelitian yang mengatakan lima kali lebih banyak," kata Wien saat dihubungi Health Liputan6.com pada Rabu, 19 Agustus 2020.
Jumlah protein spike yang bertambah di permukaan virus, lanjut Wien, secara otomatis membuat kemungkinan virus menyerang sel menjadi lebih mudah. Virus akan lebih mudah berikatan dengan reseptor yang ada di permukaan sel manusia seperti sel paru dan semacamnya.
"Oleh karena itu, virus lebih mudah menular. Namun, dari lokasi mutasi yang saya lihat kemungkinan besar tidak akan berefek signifikan pada pengembangan vaksin. Jadi, vaksin nantinya akan tetap efektif."
Hal ini disebabkan lokasi mutasi tidak terlalu terekspos dan tidak akan terlalu banyak berpengaruh pada struktur protein tersebut.
"Kalau dikatakan vaksin COVID-19 menjadi tidak efektif, sebetulnya tidak demikian. Tetap vaksinnya akan menimbulkan respons kekebalan dan tetap bisa menetralisir virusnya," Wien menekankan.
Advertisement
Kemungkinan Lebih Mudah Dinetralisasi
Wien, menambahkan, ada sebuah studi yang menyatakan bahwa adanya mutasi Virus Corona malah membuat virus SARS-CoV-2 lebih mudah dinetralisasi.
“Ya, karena ada perubahan struktur, saya lebih suka menyebutnya perubahan konformasi dari proteinnya yang menyebabkan antibodi yang spesifik terhadap protein tersebut menjadi lebih mudah terikat karena otomatis dia lebih mudah menetralisir virusnya. Artinya, mengeliminasi virus dari kemungkinan dia menginfeksi sel yang memiliki reseptor virus tersebut yaitu AC2,” katanya.
Ada indikasi yang menyebutkan, mutasi ini membuat virus menjadi lebih jinak, tambahnya. Dengan kata lain, efek virus untuk menimbulkan penyakit menjadi lebih rendah.
Melihat hal tersebut, Wien menyimpulkan bahwa sejauh ini vaksin baru untuk menangkal mutasi virus ini tidak dibutuhkan karena pengembangan vaksin yang selama ini bisa dilakukan dan dapat bermanfaat untuk mencegah COVID-19.