Liputan6.com, Jakarta Tes COVID-19 serologi antibodi Electro-Chemiluminescence Immunoassay (ECLIA) mulai diminati sejumlah rumah sakit, salah satunya Siloam Hospitals Group. Wakil Direktur Utama Siloam Hospitals Group Caroline Riady menyampaikan, keunggulan tes serologi antibodi tersebut antara lain, tingkat sensitivitas hingga 100 persen dan spesifisitas lebih dari 99,81 persen.
Pemeriksaan pun relatif cepat dan berakurasi tinggi yang dapat dilakukan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit, mobile testing atau on site atau di tempat. Tes serologi antibodi ini mendeteksi antibodi seseorang untuk mengetahui, apakah seseorang terinfeksi oleh SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 atau belum. Harganya jauh lebih murah ketimbang tes PCR dan Tes Cepat Molekuler (TCM).
Advertisement
Baca Juga
Menyentil pernyataan akurat atau tidaknya suatu tes COVID-19, baik PCR, antigen, dan serologi antibodi, Wakil Direktur Pendidikan dan Penelitian, Juru Bicara Satuan Tugas COVID-19 RS Universitas Sebelas Maret (UNS) Tonang Dwi Ardyanto memberikan penjelasan.
Bahwa untuk menilai keakuratan setiap jenis tes COVID-19 perlu menyesuaikan pemeriksaan dengan waktu yang tepat.
“ECLIA itu lebih sensitif daripada tes lateral chromatografi (seperti tes kehamilan yang disebut Strip Test dengan metode Lateral chromatography). Dikatakan lebih sensitif (dibanding rapid test antibodi) dalam arti, dapat mendeteksi adanya antibodi dalam kadar lebih rendah,” jelas Tonang saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan tertulis, ditulis Kamis (27/8/2020).
“Hanya saja berbeda dari tes antibodi biasa (rapid test antibodi). ECLIA membutuhkan mesin, jadi tidak bisa dilakukan di sembarang tempat.”
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Jenis Tes COVID-19
Untuk memahami keakuratan tes COVID-19, Tonang menerangkan setiap jenis tes yang dilakukan untuk menangani COVID-19. Tes COVID-19 menargetkan RNA virus Corona (molekuler) dan protein (serologi).
“Yang menargetkan RNA virus Corona menggunakan metode PCR dan Tes Cepat Molekuler (TCM), sedangkan yang menggunakan target protein terbagi dua juga, yakni antigen dan antibodi. Antigen itu protein dari virus yang masuk tubuh manusia. Kalau kita menargetkan tes antibodi yakni mendeteksi adanya protein manusia, baik respons terhadap masuknya virus COVID-19,” terangnya.
Dalam penyebutan tes COVID-19, Tonang meluruskan, seringkali orang menyebut dengan tes swab. Padahal, swab adalah cara pengambilan sampel dilakukan melalui nasofaring (bagian atas tenggorokan) dan orofaring (bagian tengah faring). Untuk penyebutan rapid test, yang berarti tes cepat juga bisa membuat bingung. Kalau hanya menyebut rapid test, maka TCM, antigen, dan antibodi juga termasuk kategori rapid test.
“Yang disebut rapid test maksudnya hasil pemeriksaan keluar tidak sampai dalam hitungan jam, tapi cukup hitungan menit. TCM yang juga rapid test ya sekitar 50 menit. Antigen juga begitu, proses 20 sampai 22 menit sudah keluar hasilnya. Antibodi sama seperti antigen, ya maksimal 20 menit,” ucap Tonang.
“Kita sepakati, boleh menyebut tes PCR, tes cepat PCR, tes antigen, dan tes antibodi. Jangan nyebut tes rapid, bingung. Jangan juga nyebut tes swab, ini harus dihindari. Karena rapid dan swab adalah penyebutan metodenya.”
Advertisement
Tes PCR/TCM dan Antigen
Keakuratan jenis tes COVID-19 didukung cara pengambilan sampel sesuai waktu yang tepat. Oleh karena itu, membaca perjalanan penyakit COVID-19 perlu dipahami. Perjalanan COVID-19 yang dimaksud yakni dari masa inkubasi, timbulnya gejala, dan masa penyembuhan.
Riwayat kontak dengan individu yang terpapar atau positif COVID-19 juga menjadi faktor utama dalam menentukan waktu pengambilan sampel dengan jenis tes yang tepat.
“Kita lihat sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada hari ke-0 sampai hari ke-5, RNA coronavirus sudah mencapai puncak pada hari kelima. Artinya, sudah ada virus, tapi belum ada gejala. Pada fase ini, kita bisa lakukan tes dengan TCM atau PCR, hasilnya akan positif," Tonang menerangkan.
”Kalau memang tidak memungkinkan pemeriksaan dengan PCR dan TCM, kita bisa gunakan tes antigen, yang hasilnya akan reaktif. Tapi kalau menggunakan tes antibodi atau serologi antibodi pada fase hari ke-0 sampai ke-5 akan menimbulkan hasil non reaktif. Nah, ini yang bikin salah paham. Kok rapid antibodi non reaktif, tapi PCR-nya positif.”
Tonang menjelaskan terkait salah kaprah tersebut. Ia menjelaskan, antibodi baru akan terdeteksi sepenuhnya sekitar hari ke-10 atau ke-12. Ketika individu terdeteksi positif dari hasil TCM/PCR dan reaktif hasil tes antigen, hari-hari berikutnya akan mulai muncul gejala.
Sementara gejala seperti batuk, pilek, dan flu akan muncul sekitar hari ke-6. Seiring hal waktu, jumlah antigen akan menurun pada rentang hari ke-7 sampai ke-9. Antibodi perlahan-lahan meningkat.
“Saat antigen mulai menurun, kita masih bisa mendapatkan hasil TCM/PCR positif dan tes antigen mungkin masih reaktif. Sementara antibodi muncul ya pada hari ketujuh dan kedelapan dengan kadar masih rendah. Biasanya antibodi mulai terasa terdeteksi sekitar hari ke-10 atau ke-12. Nah, itu baru akan mudah terdeteksi. Kemudian antibodi akan memuncak pada hari ke-14,” jelasnya.
“Pada hari ke-14 itulah, tes PCR/TCM bisa positif dan negatif. Tes antigen akan non reaktif. Kenapa begitu? Karena RNA virus dan antigen jumlahnya bisa turun, bahkan bisa turun sekali, sehingga tes dengan deteksi RNA dan antigen, hasilnya akan negatif. Sebaliknya, immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin G (IgG) antibodi justru reaktif dan semakin menguat.”
Tes Serologi Antibodi
Pada hari ke-21 dan selanjutnya, tes antibodi atau serologi antibodi akan reaktif. Antibodi yang reaktif ini berarti pasien sudah memasuki masa penyembuhan dan punya potensi kekebalan. Terbentuknya antibodi diiringi sistem imunitas yang terbangun untuk melawan virus.
“Kan pada tahap ini tes antibodi reaktif, seringkali membuat pasien tidak boleh ke mana-mana. Ini kurang pas ya. Karena sebenarnya pasien sudah pernah melewati fase sakit dan positif, lalu menjadi negatif (tes PCR/TCM) sekarang. Pakai rapid test antigen juga begitu, hasilnya akan non reaktif,” tambah Tonang dalam video unggahan di akun Youtube pribadinya.
“Apakah sudah pasti kebal? Bilamana terjadi proses reinfeksi, yang artinya infeksi berulang. Maka akan muncul sebentar RNA coronavirus. Deteksinya, kita bisa menggunakan TCM/PCR yang hasilnya bisa positif. Walaupun sempat muncul lagi RNA coronavirus, segera dilawan sistem imun.”
Dalam hal ini, sel memori yang terbentuk pada sistem imun berperan menyimpan data antigen. Ketika antigen tertentu kembali masuk, tubuh pun bisa mengenali si musuh ini, lalu sistem imun akan beraksi melawannya. Lebih lanjut, Tonang menyampaikan, soal anggapan penggunaan rapid test antigen lebih akurat dibanding tes antibodi.
Rapid test antigen disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 15 Juli 2020. Rekomendasi ini sudah mulai mencuat pada 8 April 2020. Seiring perjalanan, WHO memberikan rekomendasi bahwa rapid test antigen dapat digunakan bilamana memang tidak tersedia PCR/TCM untuk waktu yang lama sehingga dapat mengganggu penanganan pasien COVID-19 dan proses penanggulangan pandemi.
Untuk akurasi memang membutuhkan waktu. Pada awal penggunaan seringkali tidak sesuai harapan. Namun, setelah ditelisik lebih jauh, rapid test antigen akan bagus tatkala jumlah virus Corona tinggi. Waktu pengambilan sampel pun sebelum muncul antibodi.
“Menilai rapid test antigen bukan berarti tes antigen akan lebih akurat daripada antibodi atau serologi antibodi. Ya, harus sesuai dengan tujuannya. Kalau mau mendeteksi virus pada fase awal dan sebelum timbul gejala ya menggunakan tes antigen. Setelah muncul gejala, baru bisa menggunakan tes antibodi,” jelas Tonang yang merupakan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia (PDS Patklin).
“Rapid test antibodi akan semakin menguat dan sensitif seiring perjalanan penyakit pada minggu kedua dan ketiga setelah timbulnya gejala. Kemudian pada minggu keempat sudah 100 persen akurasinya. Jadi, kalau menilai suatu tes COVID-19 akurat atau tidak sesuai dengan tempat dan waktunya. Tidak bisa membanding-bandingkan karena tempatnya (tujuannya) lain-lain.”
Advertisement
Pasien Tanpa Gejala dan Kontak Erat
Situasi COVID-19 saat ini tenaga kesehatan juga dihadapkan pada pasien tanpa gejala atau Orang Tanpa Gejala (OTG)--yang masuk dalam kasus suspek--dan kontak erat. Lantas pemeriksaan apa yang tepat untuk individu tersebut?
“Kita tidak pernah tahu kapan mulai terjadi infeksi. Enggak ada gejala, enggak ada kontak eratnya kapan. Entah dia pada posisi fase awal (hari ke-0 sampai ke-5) atau lebih dari waktu tersebut. Jadi, kita tidak bisa lakukan tes seperti biasanya, yang mana pasien jelas ketahuan kontak erat dengan siapa dan gejalanya timbul,” Tonang memaparkan.
“Yang kita lakukan dengan pertama-tama tes PCR/TCM untuk menilai apakah ada RNA coronavirus-nya. Kalau penggunaan PCR/TCM tidak memungkinkan karena tidak adanya akses, kita lakukan bisa lakukan dengan tes antigen. Kalau tes antigen sudah jelas hasilnya, baru kita cek dengan tes antibodi. Ini untuk menilai juga apakah orang tersebut pernah kena virus Corona. Tentunya, untuk konfirmasi diagnosis tetap menggunakan tes PCR/TCM.”
Penggunaan Tes COVID-19 Sesuai Tujuan
Tonang menekankan setiap jenis tes COVID-19 tidak bisa dibanding-bandingkan satu sama lain, tergantung situasi dan perjalanan penyakit. Tidak bisa membandingkan, lebih akurat tes antigen ketimbang antibodi. Ini karena memang titik waktu pemeriksaan dan perjalanan penyakit seseorang berbeda.
Senada dengan Tonang, peneliti biomolekuler Ahmad Utomo menegaskan, jenis tes COVID-19 yang akan digunakan sebagaimana tujuan penggunaan. Penggunaan tes PCR dan serologi harus mengingat dulu, apa yang menjadi fokus kita dalam pengendalian COVID-19.
Apabila kita ingin memutus rantai transmisi atau mengenali orang yang positif COVID-19 harus menggunakan tes RT PCR.
“Tapi kalau kita ingin menguji keberhasilan vaksinasi atau melihat beban wilayah yang terpapar COVID-19 tentu tes serologi lebih bagus. Tes PCR sangat sensitif dan bisa mendeteksi adanya virus COVID-19 dalam rentang waktu 5 hari sebelum gejala timbul (hari ke-0 sampai ke-5),” ucap Ahmad saat sesi diskusi virtual.
“Keakuratan tes rapid ternyata juga sangat bervariasi. Banyak sekali brand menyatakan 90 sampai 100 persen akurat, tanpa menampilkan kapan tes dilakukan, apakah pada fase awal (1-7 hari), tengah (8-14 hari), akhir (>14 hari) pasca gejala. Dari data yang saya himpun, tampak mayoritas tes serologi ini bagus digunakan di fase akhir (lebih dari 14 hari) setelah timbul gejala.”
Lebih lanjut, Ahmad menerangkan, setiap jenis tes COVID-19 yang digunakan juga melihat konteks waktu diagnostik dikerjakan. Dalam mengendalikan wabah COVID-19, kita harus mengetahui siapa saja yang telah terinfeksi aktif. Artinya, kalau kita melihat virus masih menginfeksi bisa menggunakan tes PCR.
“Karena pada fase awal ini belum terbentuk antibodi. Antibodi biasanya terlihat sekitar seminggu atau dua minggu pasca gejala. Antibodi ini terbentuk sebetulnya cukup lama. Apabila kita ingin menggunakan tes serologi antibodi memang seharusnya dilakukan bukan untuk penegakkan diagnosis, melainkan mengidentifikasi orang-orang yang sudah pernah kena COVID-19,” lanjutnya.
“Intinya begini, untuk menegakkan standar diagnosis, kita menggunakan tes PCR. Kegunaan tes serologi antibodi itu juga bagus, tetapi dia akan tepat digunakan untuk mengetahui, apakah orang-orang pernah terpapar atau tidak. Sebetulnya antara tes PCR dan serologi antibodi memiliki kegunaan masing-masing.”
Advertisement