Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu lalu, peneliti di Hong Kong mengonfirmasi adanya infeksi ulang atau reinfeksi COVID-19 pada seorang pasien yang sebelumnya juga pernah terkena penyakit itu.
Temuan ini dilanjutkan dengan konfirmasi dua kasus infeksi berulang lainnya di Eropa serta kasus reinfeksi lain di Nevada, Amerika Serikat.
Baca Juga
Namun dalam laporan kasusnya, para dokter menyatakan bahwa kasus di reinfeksi COVID-19 di AS berbeda dengan ketiga kasus lainnya.
Advertisement
Dikutip dari Live Science pada Minggu (30/8/2020), apabila tiga kasus reinfeksi pertama pasien mengalami gejala yang lebih ringan atau bahkan tidak bergejala, pasien di Nevada mengalami gejala yang lebih parah saat dia terkena virus corona untuk kedua kalinya.
"Penting untuk dicatat, bahwa ini adalah temuan tunggal," kata salah seorang penulis studi, Mark Pandori yang merupakan kepala Nevada State Public Health Laboratory. "Ini tidak memberikan informasi apa pun kepada kami terkait dengan generalisasi dari fenomena ini."
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Potensi Infeksi Berulang
Dalam laporan kasusnya di Social Science Research Network, yang belum mendapatkan peninjauan sejawat, pasien pria berusia 25 tahun itu pertama kali dinyatakan positif COVID-19 pada pertengahan April.
Saat itu, ia mengalami gejala seperti sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, mual, dan diare. 10 hari kemudian, ia dinyatakan negatif dari virus SARS-CoV-2 dan sembuh.
Namun pada akhir Mei, pasien lagi-lagi mengalami demam, sakit kepala, pusing, batuk, mual, dan diare. Kadar oksigen dalam darahnya turun dan ia harus dirawat di rumah sakit serta menerima bantuan oksigen.
48 hari setelah ia dinyatakan positif COVID-19 untuk pertama kalinya, ia kembali didiagnosis dengan penyakit tersebut sekali lagi.
Peneliti yang menganalisa genom virus corona dari infeksi kedua menemukan bahwa virus ini memiliki perbedaan pada beberapa gen yang disebabkan oleh mutasi alami.
Pandori dan rekan-rekannya mengatakan, temuan tersebut mungkin menjadi peringatan potensial bahwa COVID-19 bisa menular lebih dari satu kali dengan tingkat keparahan yang belum bisa diprediksi.
Advertisement
Belum Bisa untuk Generalisasi
Selain itu, kasus yang mereka temukan membuktikan bahwa kemungkinan paparan awal dari virus tersebut tidak menghasilkan kekebalan perlindungan 100 persen.
Namun, mereka menegaskan bahwa frekuensi fenomena semacam ini tidak ditentukan oleh oleh studi kasus yang tunggal. "Ini mungkin mewakili peristiwa langka," tulis para peneliti.
"Setelah seseorang sembuh dari COVID-19, kita masih belum tahu berapa banyak yang dibangun, berapa lama itu bisa bertahan, atau seberapa baik antibodi berperan dalam perlindungan terhadap infeksi ulang," ujarnya dikutip dari Nevada Today.
"Kami menyimpulkan bahwa ada kemungkinan seseorang untuk terinfeksi beberapa kali dari SARS-CoV-2, namun generalisasi dari temuan ini belum diketahui," tulis mereka dalam abstraksinya.
Pandori mengatakan, penelitian untuk penyakit ini masih terus dilakukan. Sementara itu terus dilakukan, kerja keras memerangi pandemi harus terus dilanjutkan melalui pemakaian masker, cuci tangan, menjaga jarak, serta pengujian berskala luas, pelacakan kontak, dan mengisolasi kasus baru.
"Ini adalah penyakit baru. Kita masih memiliki kurva pembelajaran yang curam di depan dan banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama saat kebenaran yang tidak nyaman muncul."