Liputan6.com, New York - Studi terbaru menyebut wanita hamil dengan COVID-19 cenderung tak menunjukkan gejala dan punya risiko besar dirawat di ICU (Intensive Care Unit)Â daripada wanita yang tidak hamil dengan usia sama.
Ini merupakan analisis 77 studi yang dilakukan secara global dan diterbitkan di British Medical Journal, setelah mengamati 11.432 wanita hamil yang dirawat di rumah sakit dan diketahui positif Corona COVID-19.
Para peneliti mengaitkan kondisi ini dengan sistem kekebalan calon ibu yang juga dipakai untuk melindungi bayi di janin, serta paru-paru tempat virus SARS-CoV-2 bersarang sudah tertekan selama kehamilan.
Advertisement
Shakila Thangaratinam, profesor kesehatan ibu dan kehamilan di University of Birmingham, mengatakan, selama penelitian itu berlangsung ditemukan fakta bahwa wanita hamil dengan COVID-19 lebih kecil kemungkinannya menunjukkan gejala apa pun termasuk demam.
Beda dengan dua pertiga wanita yang sedang tidak hamil dan tengah dirawat di rumah sakit karena COVID-19, justru menampakkan gejala-gejala seperti demam, batuk, dan kesulitan bernapas.
Itu mengapa, kata Shakila, setiap 100 wanita hamil dengan COVID-19 membutuhkan perawatan intensif, seperti dikutip dari situs The Guardian pada Jumat, 4 September 2020.
Â
Simak Video Berikut Ini
Butuh Penelitian Lebih Lanjut Terkait Wanita Hamil Dengan COVID-19
Profesor Kesehatan Ibu dan Anak di Universitas Oxford, Marian Knight, menambahkan, temuan mengenai ibu hamil dengan COVID-19 butuh perawatan intensif sebagian besar berasal dari satu studi berisi kumpulan data di Amerika Serikat.
Shakila, melanjutkan, meskipun tingkat kematian ibu hamil dengan COVID-19 tidak sebesar SARS dan Mers, tapi seperempat bayi yang lahir dari ibu dengan COVID-19 akan dirawat lebih lama di unit neonatal dan berisiko tinggi juga untuk dirawat di rumah sakit.
Hanya saja, kata Shakila, butuh pembanding lebih banyak lagi untuk melihat dampak yang lebih besar dan pasti dari COVID-19 pada wanita hamil.
Sebab, risiko tingkat keparahan Virus Corona pada hamil dipengaruhi juga oleh usia, indeks massa tubuh, dan kondisi yang sudah sebelumnya.
"Biasanya para peneliti akan melakukan tinjauan lebih lanjut untuk mencapai konsensus, tetapi pada kasus COVID-19, para ilmuwan dibanjiri dengan data yang seringkali menjadi usang beberapa bulan setelah publikasi," katanya.
Advertisement