Liputan6.com, Jakarta Para dokter dan peneliti mulai menyoroti kondisi yang disebut happy hypoxia pada pasien COVID-19. Situasi yang diawali dengan hypoxemia ini terjadi saat tubuh tidak memiliki cukup oksigen dan dapat berakibat fatal.
Beberapa peneliti pun tengah mencoba mencari tahu keterkaitan antara kedua hal ini demi mencegah prosedur intubasi atau ventilasi yang tidak diperlukan pada pasien COVID-19.
Dalam studinya, dokter Martin J. Tobin penulis utama "Why Covid-19 Silent Hypoxemia is Baffling to Physicians" yang dimuat di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine mengatakan bahwa kondisi ini 'sangat membingungkan para dokter karena bertentangan dengan biologi dasar'.
Advertisement
"Dalam beberapa kasus, pasien merasa nyaman dan menggunakan telepon pada saat dokter akan memasukkan selang pernapasan (endotrakeal) dan menghubungkan pasien ke ventilator mekanis," yang menurut Tobin,"Meski berpotensi menyelamatkan nyawa tapi tetap memiki risikonya sendiri.".
Baca Juga
Dikutip dari Medical Xpress pada Senin (7/9/2020), studi yang dilakukan Tobin melibatkan 16 pasien COVID-19 dengan tingkat oksigen yang sangat rendah hingga 50 persen (saturasi oksigen darah normal antara 95 hingga 100 persen) serta tanpa sesak napas atau dispnea.
Mereka juga menemukan bahwa beberapa mekanisme patofisiologis bertanggung jawab atas sebagian besar, jika tidak semua, dari kasus silent hypoxemia. Ini juga telah termasuk penilaian awal tingkat oksigen pada pasien dengan oksimeter.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Pelebaran Pembuluh Darah Paru
"Faktor lainnya adalah bagaimana otak merespons tingkat oksigen yang rendah. Saat kadar oksigen turun pada pasien dengan COVID-19, otak tidak merespons sampai oksigen turun ke tingkat yang sangat rendah, di mana pasien umumnya menjadi sesak napas," ujarnya.
Tobin juga mengungkapkan, lebih dari separuh pasien memiliki kadar karbondioksida yang rendah yang harusnya dapat mengurangi dampak kadar oksigen yang sangat rendah.
"Mungkin juga Virus Corona melakukan tindakan aneh pada bagaimana tubuh merasakan tingkat oksigen yang rendah," kata Tobin. Ia juga mengasumsikan keterakitan hal ini dengan berkurangnya indera penciuman pada pasien COVID-19.
Sementara itu, dalam studi percontohan yang dilakukan oleh Icahn School of Medicine di Mount Sinai menunjukkan bahwa COVID-19 menyebabkan pelebaran yang signifikan pada pembuluh darah paru-paru, khususnya pembuluh kapiler.
Dalam studi yang dimuat di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, para dokter mengatakan bahwa vasodilatasi ini berkontribusi pada tingkat oksigen yang sangat rendah yang terlihat pada kegagalan pernapasan akibat COVID-19.
Advertisement
Studi dengan Gelembung Mikro
Dalam studi di Mount Sinai, 18 pasien COVID-19 dengan ventilasi mekanis menjalani pemeriksaan menggunakan transcranial Doppler (TCD) robotik untuk apa yang disebut sebagai "studi gelembung."
TCD digunakan untuk melihat apakah gelembung mikro yang dimasukkan dalam tubuh muncul di pembuluh darah otak. Dalam keadaan normal, gelembung mikro ini akan melakukan perjalanan ke sisi kanan jantung, memasuki pembuluh darah paru dan akhirnya disaring oleh kapiler paru karena diameter gelembung mikro lebih besar daripada diameter kapiler paru.
Jika gelembung mikro terdeteksi di pembuluh darah otak, bisa diartikan ada lubang di jantung sehingga darah dapat mengalir dari kana ke sisi kiri jantung tanpa melalui paru-paru, atau pembuluh kapiler di paru-paru membesar secara tidak normal sehingga gelembung mikro bisa melewatinya.
Mengutip Science Daily, peneliti mendeteksi adanya gelembung mikro pada 15 dari 18 pasien yang menunjukkan adanya pembuluh darah paru yang melebar secara tidak normal.
Jumlah gelembung mikro yang terdeteksi oleh TCD berkorelasi dengan tingkat keparah hipoksemia, yang menunjukkan bahwa vasodilatasi paru dapat menjelaskan hipoksemia yang tidak proporsional yang terlihat pada banyak pasien COVID-19 dengan pneumonia.
"Semakin terbukti bahwa virus mendatangkan malapetak pada pembuluh darah paru dengan berbagai cara," kata penulis senior studi ini Hooman Poor dari Icahn School of Medicine di Mount Sinai.
"Studi ini membantu menjelaskan fenomena aneh yang terlihat pada beberapa pasien COVID-19 yang dikenal dengan happy hypoxia, di mana kadar oksigennya sangat rendah, tetapi pasien tampaknya tidak mengalami gangguan pernapasan," tambahnya.
"Jika temuan ini dikonfirmasi dalam penelitian yang lebih besar, transit gelembung mikro paru berpotensi berfungsi sebagai penanda keparahan penyakit atah bahkan titik akhir pengganti uji coba terapeutik untuk pneumonia COVID-19. Penelitian selanjutnya yang menyelidiki penggunaan konstriktor vaskular paru pada populasi pasien ini mungkin diperlukan."