Sukses

Keluarga Garda Utama Perlindungan Anak dan Pencegahan Pernikahan Dini

Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Lenny N. Rosalin, SE, MSc, Mfin mengatakan bahwa 79.5 juta anak Indonesia wajib mendapatkan perlindungan di keluarga.

Liputan6.com, Jakarta Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Lenny N. Rosalin, SE, MSc, Mfin mengatakan bahwa 79.5 juta anak Indonesia wajib mendapatkan perlindungan di keluarga. Perlinungan ini termasuk pencegahan perkawinan usia anak atau pernikahan dini. 

“79.5 juta anak ini perlu dilindungi pertama di keluarga karena keluarga adalah sebagai pengasuh utama dan pengasuh pertama,” kata Lenny dalam webinar Kemen PPPA, Senin (7/9/2020).

Seperti tercantum dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002, perlindungan anak adalah kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Terkait hak pengasuhan, pada pasal 14 disebutkan bahwa setiap anak berhak diasuh oleh orangtuanya sendiri. Kecuali ada alasan atau aturan hokum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pada pasal 26 disebutkan, orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Menumbuhkembangkan sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.

“Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, serta memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.”

Simak Video Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Bahaya Perkawinan Usia Anak

Pencegahan terjadinya perkawinan pada anak seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 pasal 26 bukan tanpa alasan.

Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) menyampaikan bahwa perkawinan usia anak atau pernikahan dini dapat memicu berbagai dampak negatif pada anak.

“Perkawinan anak berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Ketika mereka menikah, banyak proses pertumbuhan dan perkembangan yang tidak berlanjut sebagaimana mestinya,” ujar Hasto dalam webminar BKKBN, Kamis (2/7/2020).

Secara biologis, tambahnya, pertumbuhan tulang belum berhenti pada usia 15 tahun. Ketika anak mengalami kehamilan maka pertumbuhan tulang berhenti dan anak tersebut tidak memiliki kesempatan menjadi perempuan yang lebih tinggi badannya.

“Pada usia 32 tahun adalah puncak kepadatan tulang, maka itu pun tidak akan tercapai jika melakukan perkawinan usia dini. Sehingga nasibnya ketika menopause di usia 51 tahun dan indung telur sudah tidak memproduksi estrogen maka mereka yang hamil di usia anak akan mengalami keropos tulang lebih cepat.”

Terjadinya keropos tulang lebih awal akan menyebabkan kebungkukan lebih awal pula jika dibanding dengan perempuan lain.

3 dari 3 halaman

Kanker Mulut Rahim

Perkawinan anak juga berdampak pada sistem reproduksi. Di usia yang belum cukup, mulut rahim masih menghadap keluar sehingga ada daerah berupa batas luar dan batas dalam mulut rahim yang rentan menjadi tempat terjadinya kanker serviks.

“Pada usia anak-anak mulut rahim masih menghadap keluar dan apabila terkena trauma akibat sktivitas seksual maka di kemudian hari akan terjadi kanker mulut rahim.”

Selain dari sisi kesehatan reproduksi, perkawinan usia anak juga merenggut hak-hak anak untuk mendapat pendidikan yang layak. Lebih jauh lagi, anak tidak bisa menolak jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga karena belum memiliki sifat kedewasaan.

“Juga negara relatif dirugikan karena secara ekonomi perkawinan anak merugikan hampir 1,7 persen pendapatan negara bisa hilang hanya karena perkawinan pada usia anak.”

Menurut Hasto, usia yang cukup secara biologi adalah di antara 20 hingga 35 tahun. Ia pun menganjurkan untuk menghindari “4 terlalu.”

“Yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu banyak melahirkan. Karena inilah yang menjadi sumber kematian ibu dan bayi.”