Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, terpaksa tarik rem darurat. Kasus COVID-19 di Jakarta yang terus bertambah membuat Anies harus melakukan pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang rencananya dimulai pada Senin, 14 September 2020.
Kabar ini disiarkan melalui kanal Youtube Pemprov DKI Jakarta pada Rabu malam, 9 September 2020.
Media sosial Twitter mendadak ricuh. Tidak sedikit yang menyayangkan langkah tersebut, tapi banyak yang justru mendukung keputusan yang diambil orang nomor satu di Ibu Kota tersebut.
Advertisement
Bahkan, warganet berharap agar pemerintah pusat dapat mengambil kebijakan yang sama seperti Anies Baswedan.
Baca Juga
Menanggapi hal tersebut, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI), dr Syahrizal Syarif MPH PhD, menilai bahwa selama ini pemerintah pusat 'tak jelas'.
Syahrizal, mengingatkan, pengendalian COVID-19 di seluruh negara harus sesuai arahan dari pusat. Namun, arahan itu harus jelas, tidak sekadar kiasan 'gas-rem-gas-rem' yang justru membingungkan pemerintah daerah.
"Pemerintah daerah tinggal menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tapi di Indonesia ini aneh," kata Syahrizal saat dihubungi Health Liputan6.com pada Kamis pagi, 10 September 2020.
"Pusat selalu kasih teka-teki saja, tapi bagaimana itu diselenggarakan tidak jelas," Syahrizal menekankan.
Â
Simak Video Berikut Ini
Infografis Penanganan COVID-19 di Indonesia
Advertisement
Penanggulan COVID-19 Tidak Cukup Dengan Instruksi Gas-Rem-Gas Rem
Pusat, lanjut Syahrizal, jangan sekadar gas-rem tanpa memberitahu kapan harus nge-gas dan kapan harus nge-rem,"Pusat itu harusnya kasih instruksi saja, kan data ada semua.".
Termasuk saat pemerintah pusat mengatakan bahwa kesehatan masyarakat Indonesia di atas segala-galanya.
"Tapi terjemahannya seperti apa? Di Indonesia seringkali implementasi dari kebijakannya itu tidak jelas," ujarnya.
Ketidakjelasan ini yang akhirnya membuat pemerintah daerah kebingungan karena berusaha keras menerjemahkan kata-kata tersebut, kata Syahrizal.
Menurut Syahrizal, praktis penanganan COVID-19 di Indonesia benar-benar terlambat. Lantaran ketidakjelasan langkah-langkah yang harus diambil.
"Ini seolah-olah enggak ada orang pintarnya. Padahal, penanggulangan COVID-19 itu hal yang sudah jelas langkah-langkahnya," katanya.
Â
Contoh Penanggulangan COVID-19 di Korea Selatan dan Jepang
Lihat saja Korea Selatan, Jepang, dan Australia. Syahrizal, mengatakan, karena pemerintahnya tahu dan mengerti langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menanggulangi permalasahan COVID-19, mereka jadi 'santai' sekalipun gelombang kedua menyerang.
"Mereka mengerti apa yang mau dilakukan walaupun terjadi second wave. Mereka bisa mengendalikannya karena langkah-langkahnya tidak ada langkah ajaib," ujarnya.
Â
Advertisement
Penanggulangan COVID-19 di Indonesia Sebaiknya Dilakukan Pemerintah Daerah
Bila memang merasa Indonesia ini terlalu luas, beri instruksi yang jelas kepada masing-masing kepala daerah. Sebab, kata Syahrizal, kunci dari keberhasilan penanggulan COVID-19 sebenarnya bukan di pusat, bukan juga di Gubernur kecuali DKI Jakarta. Melainkan kepala daerah, walikota, dan bupati.
"Jadi, mereka harus menjalankan instruksi, bukan dikasih teka-teki yang enggak jelas. Mereka juga nggak mengerti cara ngerem, ngegas, apa sih maksudnya? Jauh lebih baik pusat itu memberikan instruksi kepada derah, karena daerah itu tidak mengerti juga bagaimana mengendalikannya," katanya.
Syahrizal pun mencontohkan yang terjadi di Aceh, Sumatera Barat, dan Riau. Semula angka kasus COVID-19 di wilayah tersebut tergolong kecil, tapi sekarang ketiganya masuk di dalam daftar lima daerah yang tinggi peningkatan kasus positifnya bersama Kepulauan Riau (Kepri) dan Bali.
"Pertama Riau, kedua Kepri, ketiga Sumbar, keempat Bali, dan terakhir Aceh. Itu wilayah yang dalam dua minggu ini meningkat lebih dari 60 persen," kataanya.
"Kenapa mereka begitu, karena pemerintah daerahnya pada dasarnya tidak mengerti cara menanggulangi wabah COVID-19 yang benar," katanya.